Nama ayahku meluncur dari lidahnya seperti kutukan.
Aku merogoh bajuku dan melepas salib emas. Tuan Renfield tersentak. Bibirnya terbuka memamerkan gigi taring barunya yang panjang dan runcing.
"Urusan kita sudah berakhir," kataku sambil mengacungkan salib, menjaga jarak di antara kami.
Seringai mengerikan Tuan Renfield berubah menjadi senyuman. "Tentu saja, Dokter."
Dia memutar menjauh dariku dan pindah ke pintu. "Aku harap kamu tidak meneruskan profesi ayahmu."
Aku tertawa, tetapi bukan jenis tawa ayahku. Hanya tawa kepahitan dan kesedihan.
"Profesi ayahku membuat kami bangkrut. Dia meninggal sebagai bahan lelucon dan miskin. Aku tidak punya keinginan untuk mengikuti jejaknya. Sekarang pergi."
Tuan Renfield meninggalkan tempat praktikku. Punggungnya tegak, gaya berjalannya cepat dan pasti seperti hewan buas yang mengintai mangsa.
Aku menggenggam salib ayahku dan melihatnya menghilang di malam hari. Sekantong berlian di mantelku beratnya bagai tiga puluh keping perak Judas.
Bandung, 22 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H