Aku mulai dengan gigi seri di rahang bawah. Akar gigi seperti itu lurus dan berbentuk kerucut, sehingga memudahkan pencabutan. Tuan Renfield sama sekali tidak tersentak saat tang meremukkan enamel, juga tidak berkedut ketika aku memutar gigi dari gusinya. Secara metodis, aku menarik sisanya, dan wajahnya tetap diam bagai topeng, meski mulutnya bersimbah darah.
Setelah selesai, aku mendorong gigi palsu ke dalam mulutnya. Umumnya, gigi tiruan harus dipasang sesuai pesanan. Alas dibentuk mengikuti kontur mulut pasien. Apa yang kulakukan untuk Tuan Renfield tidak memerlukan persiapan seperti itu. Gigi palsu itu membenam langsung ke gusinya, menyerap darah yang menggenang.
Dia bergidik dan napasnya yang terengah-engah berhenti. Dia tidak bernapas, dan tidak akan pernah lagi.
Dia belum mati, tentu saja, tapi menjadi sesuatu yang jauh lebih buruk.Â
Mata Tuan Renfield terbuka, dan dia berkedip, sekali, dua kali, lalu duduk. Wajahnya berubah menjadi putih pucat yang tidak biasa. Kulitnya menjadi lebih kencang, lebih halus, memberinya penampilan awet muda. Matanya berubah dari hijau menjijikkan menjadi merah kecokelatan, seperti darah tua.
"Aku merasa ..." katanya, mengangkat tangannya ke wajahnya. Jari-jarinya menjadi lebih panjang, lebih tipis. Kuku-kukunya meruncing. "...Kuat."
Dia melompat dari kursi bersorak kegirangan. Tubuhnya bergetar penuh dengan energi.
Aku melangkah mundur dan membuka dua kancing teratas kemejaku. Dia berbalik, mata barunya dipenuhi dengan keinginan, kebutuhan. Lapar.
"Kamu tahu, Dokter, aku melakukan beberapa penelitian tentangmu," katanya. "Stoker adalah nama keluarga ibumu."
Aku mundur selangkah lagi, menuju pintu. "Benar. Nama ayahku mengandung arti tertentu yang membawa nasib buruk."
"Tapi nama yang berpengaruh," kata Tuan Renfield, mengikutiku. "Van Helsing."