Saya menabraknya dengan tabrakan ganda yang ringan: bum, bum.
Tidak ada yang parah. Namun, seluruh bagian belakang perlu diganti. Pasti agak lumayan biaya perbaikannya.
Saya tetap duduk di kursi driver dengan sabuk pengaman terpasang. Dan itu dia! Turun dari mobilnya-cantik dan marah, bahkan lebih cantik dari saat saya melihatnya di perhentian lampu lintas tadi.
Dia mengetuk jendela. Saya menurunkan kaca.
"Apakah kamu buta?" dia bertanya dengan berapi-api.
"Maaf," jawab saya. "Saya rasa sebaiknya kita bertukar nomor telepon."
Dia menunjuk ke tempat parkir sebuah mal tak jauh dari situ.
"Ikuti aku ke sana," katanya.
"Baik," jawab saya dengan jantung berdebar kencang.
Lampu berubah menjadi hijau. Saya mengikutinya. Saya akan mengikutinya ke mana saja.
Kami parkir dan pulpen serta dokumen berpindah tangan. Dia menunjukkan saya SIM dan KTP. Namanya Dewi. Tinggi 162 cm, 55 kg, tinggal di apartemen, dan dia memakai softlens.
"Apakah mata Anda minus? Saya juga," kata saya, membenarkan letak kacamata.
Dia melotot. "Sepertinya kamu butuh kacamata baru. Ini benar-benar salahmu."
"Ya, saya tahu."
Kemudian dia memberi saya nomor teleponnya. Dan saya memberinya punya saya.
"Saya akan menelepon Anda," kata saya saat dia berjalan kembali ke mobilnya.
Dia berbalik, matanya menyipit. Saya tersenyum dan melambai.
Dia masuk ke mobilnya dan keluar dari tempat parkir. Ban berdecit. Saya berpikir tentang 'Takdir dan Kecelakaan'. Saya berpikir ketika jodoh tidak datang, kamu merencanakan kecelakaan. Bagaimana sebagai pengemudi saya mengendalikan Takdir Cinta.
Dewi ... Dewi ... Dewi ...
Saya akan meneleponmu malam ini, mengirim bunga besok, dan suatu hari saya muncul di depan pintumu memohonmu untuk pergi kencan. Sekali saja. Sekali saja ... sekali saja ...
Minggu lalu Sinta di mobil Mazda Hatchback--saya menghancurkan lampu remnya tepat saat dia memutar-mutar sehelai rambut ke luar jendelanya. Sebelum itu--si pirang Jodie di BMW yang pintunya saya buat penyok. Dan sebelum itu--si cantik dengan rok mini di 4X4 yang sepatbor belakang saya bikin copot dan seterusnya dan seterusnya.
Dalam enam minggu terakhir, premi saya naik empat kali lipat. Saya harus berganti perusahaan asuransi delapan kali. Mobil saya adalah bangkai logam yang amburadul, berbintik-bintik dengan tanda kapur dan dempul, penyok dan goresan, bempernya terlepas, pintunya susah untuk dibuka dan kapnya terlihat seperti keripik kentang. Dan jika kamu melihat mobil saya dari belakang, kamu akan melihat kerangka luar dari lakban yang menjaga bagasi tetap tertutup dan lampu belakang tidak hancur.
Tapi sekali lagi, gairah--gairah sejati selalu meninggalkan tanda.
Saya tersenyum saat memikirkan semua wanita cantik yang akhirnya akan saya temui. Kalimat pendekatan saya dibangun nerdasarkan kendaraan mobil: Ups, maaf --Astaga, saya tidak melihat Anda --Saya merasa tidak enak... ini salah saya --Tukang urut mahal. Biarkan saya memberi Anda gosok punggung dan ... Ini SIM dan nomor telepon saya. Telpon saya. Tolong. Lampu saya hampir tidak bersinar, tetapi ponsel saya selalu menyala.
Saya suka melatih kalimat-kalimat yang akan saya katakan kepada mereka di kepala saya, tepat sebelum momen tabrakan: Sebagai pejalan kaki, saya tidak terlihat oleh Anda. Tapi sebagai pengemudi, saya adalah pendobrak di hati Anda. Kalimat-kalimat seperti itu.
Taktik saya belum pernah menghasilkan kencan tetap jangka panjang. Tapi kemungkinannya menguntungkan saya. Saya hanya perlu memperbanyak kesempatan.
Saya berada di simpang antara Jl. Hayamwuruk dan Jl. Majapahit ketika saya menemukan calon yang lain.
Saya belum pernah melakukan dua aksi dalam satu hari, tetapi selalu ada saatnya untuk yang pertama.
Dia dengan cepat berbelok ke Jl. Gajahmada. Saya menekan pedal gas. Bodi mobil saya bergemerincing seperti sekumpulan kunci. Di belakang saya, terdengar knalpot mobil saya terkentut-kentut.
"Kamu bisa!" kata saya pada diri sendiri. "Jangan biarkan dia lepas dari pandanganmu."
Dia cantik, rambutnya kribo, ramping dan langsing. Saya belum pernah menabrak rambut kribo. Saya inginkan dia. Saya termotivasi....
Saya mengambil jalan pintas, melihatnya meluncur di blok berikutnya. Saya semakin dekat... semakin dekat ketika tiba-tiba kepala saya terbang ke arah kaca depan mobil saya yang sudah retak. Terdengar suara kaca pecah dan derak logam beradu logam.
Saya melambat untuk berhenti. Roda belakang bergesekan dengan sepatbor yang tertekuk.
Saya baru saja ditabrak.
Saya keluar dari mobil, geram.
Saya melihat si rambut kribo sudah sejauh tiga blok, menghilang dari hidup saya.
Saya mendekati mobil yang ujung depannya mengepulkan asap. Darah mengucur dari luka di dahi saya.
Berjalan ke sisi pengemudi--siapa pun dia--saya berteriak, "Kamu buta, ya!"
Tidak peduli apakah orang di balik kaca jendela gelap itu adalah pria dua kali ukuran saya atau membawa senjata.
Saya sangat kesal.
Jendelanya terbuka. Orang itu dua kali lebih besar dari saya. Berat badannya setidaknya seratus lima puluh kilogram. Mungkin lebih.
Dia seperti wanita raksasa Michelin yang dimasukkan ke dalam VW kodok. Dan wajahnya--
Penuh gores dan luka.
Saya bertanya-tanya, Berapa banyak kecelakaan yang telah dia alami?
Matanya menatap saya. Niatnya jelas.
"Ya ampun!" katanya. "Sebaiknya kita bertukar nomor telepon!"
Dan kemudian dia memonyongkan bibirnya.
Cikini, 19 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H