Sekitar lima kilometer dari Bogor, aku melihat dua mobil polisi dan ambulans berhenti di sisi jalan. Beberapa mobil berhenti dan aku menjulurkan kepala ke luar jendela untuk melihat apa yang terjadi. Di sisi kiri jalan ada mobil yang terguling di parit.
Antrean mobil maju dengan perlahan dan seorang polantas di atas sepeda motor melambai padaku. Kemudian antrean berhenti lagi dan aku menjulurkan kepalaku ke luar jendela sekali lagi.
"Apakah ada yang terluka parah?" aku bertanya pada polantas.
"Hanya satu, Pak, seorang ibu-ibu," jawabnya. "Sangat parah, paramedis baru saja akan mengeluarkannya dari dalam mobil."
Polisi itu bergerak untuk mengatur lalu lintas. Aku melihat tandu dibawa ke mobil yang rusak. Dari tempatku berada, saya dapat melihat bahwa pintu samping mobil itu hancur ke dalam hingga ke kursi pengemudi.
Di dekat mobil yang ringsek, aku melihat seorang anak laki-laki sekitar dua belas tahun memegang boneka harimau dan menunjukkannya kepada anak laki-laki lain. Segera saja mengingatkanku pada boneka harimau yang mirip dengan yang kulihat kemarin....
Aku pergi ke anak itu. "Dari mana kamu mendapatkan itu, Nak?" aku bertanya.
Bocah itu menunjuk dengan ibu jari ke arah bangkai mobil. "Keluar dari mobil yang kecelakaan," katanya.
Aku memarkir mobil di sisi jalan dan berjalan menuju sekelompok kecil orang yang berkumpul di dekat mobil yang kecelakaan.
"Apakah korban sudah diidentifikasi?" tanyaku kepada polisi.
Dia memandangku dengan rasa ingin tahu. "Kami belum punya kesempatan, Pak."
"Aku mungkin kenal dia," aku menjelaskan. "Bolehkah aku melihatnya sebentar?"
"Ikut saya, Pak," kata polisi itu.
Kami menerobos kerumunan menuju tandu di samping mobil yang rusak. Seorang wanita terbaring terbungkus selimut. Polisi itu menurunkan selimutnya sedikit dan menatapku dengan penuh tanya.
Meski darah dari dua luka di dahi menutupi wajahnya, aku segera mengenalinya sebagai Nyonya Ria Syarif.
"Ibu ini temanku, Pak," kataku. "Apakah aku boleh ikut bersamanya ke rumah sakit?"
Polisi itu tampak bingung. "Bapak tidak terlibat dalam kecelakaan ini, kan?"
"Tidak, aku hanya kebetulan lewat."
Polisi itu menunjuk seorang pria berpakaian preman. "Sebaiknya Anda bertanya kepada dokter, Pak."
Yang disebutnya sebagai dokter adalah seorang pria muda dengan kacamata setebal pantat botol. Menjawab permintaanku, dia berkata, "Saya sangat setuju jika Bapak ikut. Saya tidak tahu sampai saya melakukan pemeriksaan menyeluruh di rumah sakit, tetapi dia tampaknya terluka parah."
"Menurut dokter dia akan hidup?" tanyaku.
Dokter itu menatapku tajam. "Saya belum bisa memberi jawaban," jawabnya singkat.
Dia menoleh ke salah satu petugas ambulans. "Ayo, kita ke rumah sakit."
Aku duduk di kursi tarik di belakang ambulans, menatap tajam Nyonya Ria yang berbaring diam dengan mata terpejam. Dokter mengeluarkan peralatan dari tasnya yang tergeletak di tandu lainnya.
Tiba-tiba Nyonya Ria mendesah gemetar. Matanya berkedip terbuka dan dia mencoba berbicara. Aku mencondongkan tubuh ke depan.
"Ada apa, Nyonya?" tanyaku.
Dia memaksakan kata-kata itu keluar, tetapi hanya dengan teramat lemah. "Ratna ... Dadali ...."
"Ya?" kataku. "Ada apa dengan dia?"
Nyonya berkata dengan suara berbisik sehingga aku hampir tidak bisa mendengarnya. "Dia ... tidak ... bertemu ... David ... Raja."
"Dia tidak bertemu David?"
Nyonya Ria menggelengkan kepalanya dengan sangat lambat.
"Tidak ... dia berbohong ... Dia tidak ... lihat ... David ...."
"Di mana David?" tanyaku tegang.
Ekspresinya menjadi kosong.
Aku membungkuk lebih dekat padanya. "Tolong jawab pertanyaanku," desakku. "Ini sangat penting. Di mana, di mana David Raja?"
Dokter menuju ke arahku, memegang hiperdermik dan menyentuh lenganku.
"Saya sarankan korban jangan berbicara saat ini," katanya. Ada nada teguran lembut dalam suaranya.
Namun bibir Nyonya Ria bergerak lagi dan aku membungkuk ke depan untuk menangkap apa yang dia katakan. "Aku ... rasa ... Ratna ... tahu ...."
Kemudian dokter menusukkan jarum ke lengannya dan dia kembali jatuh pingsan.
Dokter menoleh kepadaku. Â "Dia tidak akan sadarkan diri setidaknya selama dua puluh empat jam. Tampaknya tengkoraknya retak."
Ambulans berhenti dengan sentakan lembut dan aku turun. Tidak ada gunanya aku ikut ke rumah sakit, jadi aku menebeng mobil yang lewat, kembali ke mobilku. Lalu kembali ke Jakarta.
Waktunya telah tiba, pikirku muram, untuk menerapkan bermain keras dengan Ratna Dadali …
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H