"Aku tidak bertanya," jawab Danar. "sebaiknya aku tanyakan dului."
Dia kembali ke telepon dan saya mendengar dia bertanya. Ketika kembali, dia berkata, "Katanya Namanya David Raja."
"David Raja?" kataku tidak percaya.
"Begitu yang dia bilang."
Aku pergi ke meja bar dan mengangkat gagang telepon. "Halo, David, ini aku, Handaka."
David bukanlah tipe orang yang berbicara dengan kalem, terutama di telepon. Aku langsung mengenali suaranya, tapi terdengar lebih tegang dari biasanya, khawatir, dan lebih seperti ketakutan. Dia berkata dengan terburu-buru, "Han, itu kamu? Dengar, kamu harus--"
Aku menyela. "Dari mana saja kamu?" aku menuntut. "Aku sudah mencarimu ke mana-mana. Kamu ada di mana? Mengapa tidak muncul di sini minggu lalu?"
Dia memotong dengan sederet kata-kata dengan terburu-buru. "Kamu harus berhenti mengejarku! Kamu harus melupakan bahwa aku pernah ada, mengerti?"
"Tidak, aku tidak mengerti!" jawabku. "Apa maksudmu, 'melupakan bahwa kamu ada'? Tidak gampang untuk melupakanmu, bro! Kamu lupa kalau berutang banyak padaku? Kalau kamu belum tahu, perusahaan peninggalan keluargaku sudah taka da lagi dan masih mempunyai kredit empat miliar di bank. Bagaimana dengan itu?"
"Apakah uang yang membuatmu khawatir?" kata-kata David terdengar ragu-ragu.
"Oh, sama sekali tidak, kawan!" kataku sinis. "David, kita harus berjumpa---dan segera. Banyak urusan yang harus kita selesaikan."