"Bagus sekali," kata Tuan Syarif. "Kalau begitu kita berdua sama-sama senang."
Dia memasukkan uang dariku ke dalam laci tanpa menghitungnya.
"Aku sebetulnya punya satu yang persis sama dengan kaleng beberapa hari yang lalu," kataku dengan sengaja untuk mengetahui rekasinya, "tetapi hilang. Itu sebabnya aku perlu penggantinya."
Aku memperhatikan Tuan Syarif dengan cermat, tetapi tidak ada tanda-tanda selain dari terkejut yang wajar dalam ekspresinya. "Benarkah?" katanya. "Maksud Anda dicuri?"
"Ya, kupikir juga begitu."
Nyonya Ria bergegas masuk ke kamar sambal membawa kotak kardus. "Ini sudah dimasukkan ke dalam kotak kardus," katanya. "Karena tidak melalui pengiriman, saya tidak menambah apa-apa seperti kalau dikirim lewat pos."
"Tidak apa-apa", kataku. "Aku harus kembali ke Jakarta sekarang. Anda berdua baik sekali. Aku berharap kita akan bertemu lagi suatu saat."
Nyonya Ria tersenyum. "Saya juga harap begitu, Tuan Handaka."
Aku masuk ke dalam Mercedes Benz dan meletakkan kotak berisi kaleng tembakau di kursi penumpang depan.
artika bergabung dengan Tuan Syarif dan Nyonya di pintu depan. Mereka semua melambaikan tangan saat aku pergi.
Sulit membayangkan keluarga yang lebih bahagia dan lebih normal: lelaki tua yang linglung dengan hasratnya terhadap koleksi militer, istrinya yang cepat dan efisien yang tampaknya memperlakukannya seperti anak kecil yang nakal dan berantakan, dan seorang gadis kecil bernama Kartika.