"Sejuta?" kataku. "Tapi itu tidak masuk akal! Biarkan aku membayar setidaknya--"
Tuan Syarif mengangkat tangan. "Tidak, saya bersikeras," potongnya tegas. "Saya tegaskan, sejuta. Jika Anda tidak setuju maka jual beli batal."
Aku menatap Tuan Syarif dan kemudian istrinya.
"Yah, terima kasih banyak," kataku. "Tuan benar-benar baik hati, tetapi tampaknya terlalu sedikit."
"Itu sudah lebih dari cukup," kata Nyonya Ria cepat. "Saya akan memasukkannya ke dalam kotak untuk Anda, Tuan Handaka."
Dia mengambil kaleng dengan hati-hati dan membawanya keluar.
Aku mengeluarkan uang dari dompet dan menghitungnya.
"Tuan benar-benar sangat baik," kataku. "Tapi aku merasa harus membayar lebih."
"Omong kosong, temanku yang baik," kata Tuan Syarif. "Saya senang bahwa Anda yang memilikinya dibandingkan orang lain." Dia merentangkan tangannya dengan gerakan ekspresif. "Sebenarnya saya ingin memnberikannya saja kepada Anda. Ada begitu banyak permintaan untuk barang koleksi semacam ini, Anda tahu. Ini hampir satu-satunya mata pencaharian saya saat ini."
"Sekali lagi, terima kasih banyak. Selamanya aku takkan lupa," kataku.
"Bagus sekali," kata Tuan Syarif. "Kalau begitu kita berdua sama-sama senang."
Dia memasukkan uang dariku ke dalam laci tanpa menghitungnya.
"Aku sebetulnya punya satu yang persis sama dengan kaleng beberapa hari yang lalu," kataku dengan sengaja untuk mengetahui rekasinya, "tetapi hilang. Itu sebabnya aku perlu penggantinya."
Aku memperhatikan Tuan Syarif dengan cermat, tetapi tidak ada tanda-tanda selain dari terkejut yang wajar dalam ekspresinya. "Benarkah?" katanya. "Maksud Anda dicuri?"
"Ya, kupikir juga begitu."
Nyonya Ria bergegas masuk ke kamar sambal membawa kotak kardus. "Ini sudah dimasukkan ke dalam kotak kardus," katanya. "Karena tidak melalui pengiriman, saya tidak menambah apa-apa seperti kalau dikirim lewat pos."
"Tidak apa-apa", kataku. "Aku harus kembali ke Jakarta sekarang. Anda berdua baik sekali. Aku berharap kita akan bertemu lagi suatu saat."
Nyonya Ria tersenyum. "Saya juga harap begitu, Tuan Handaka."
Aku masuk ke dalam Mercedes Benz dan meletakkan kotak berisi kaleng tembakau di kursi penumpang depan.
artika bergabung dengan Tuan Syarif dan Nyonya di pintu depan. Mereka semua melambaikan tangan saat aku pergi.
Sulit membayangkan keluarga yang lebih bahagia dan lebih normal: lelaki tua yang linglung dengan hasratnya terhadap koleksi militer, istrinya yang cepat dan efisien yang tampaknya memperlakukannya seperti anak kecil yang nakal dan berantakan, dan seorang gadis kecil bernama Kartika.
Di ruang tamu apartemen, aku mengeluarkan kaleng tembakau dari Pertempuran Teminabuan dari kotaknya dan memeriksanya dengan cermat. Lalu aku meletakkan kaleng itu di atas meja dan berdiri memandanginya selama satu menit penuh.
Aku bertanya-tanya, rahasia jahat apa yang tersembunyi di dalam kaleng ini? Terlebih lagi, bagaimana benda ini berhubungan dengan David Raja?
Aku bisa membayangkan hubungan Davide dengan speedboat, mobil sport mewah, atau jet pribadi. Tapi dengan kaleng tembakau dari setengah abad lampau?
Sejarah perang dan David tidak nyambung.
Aku terus mengerutkan kening menatap kaleng itu, lalu mengambil kotak kosong dengan maksud meninggalkannya untuk Bu Sulis yang pasti akan menemukan kegunaannya Ketika kemudian aku melihat sebuah amplop tergeletak di bawah pintu. Sebuah amplop biasa dari jenis yang pasti berisi tagihan. Aku membukanya dan mengeluarkan secarik kertas.
Ditulis dalam huruf besar dengan bolpoin biru, tertulis:
DIEGO BELUM MATI.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H