"Betulkah?" tanya Rano.
Sebuah ingatan melintas di benaknya dan dia teringat artikel yang pernah dia baca di internet tentang bagaimana mahasiswa baru diperas karena mereka belum akrab dengan lingkungan kampus.
"Baiklah. Bagaimana kalau kita berjalan ke pintu itu dan kamu menyerahkan map dan dokumen itu padaku sebelum aku membayar?"
Cowok itu ragu-ragu, bertolak pinggang dan menggelengkan kepalanya. Sialan, anak ini pintar juga rupanya, katanya dalam hati. "Eh, kau duluan. Aku harus ke toilet, nanti aku susul," katanya sambil mengangkat tangan melambai dan bergegas pergi.
Rano melihatnya dari belakang, yang terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Langkahnya lebar dan menarik celananya agar nyaman melangkah.
"Mungkin dia kira aku ini bodoh," kata Rano sambil tertawa.
Dia berjalan menuju Balai Serbaguna.
Memasuki aula, deretan kursi yang diatur di seberang meja dengan berbagai nama fakultas. Mahasiswa baru berdiri di dekat dinding mengatur berkas masing-masing. Rano berdiri dan menatap mereka, lalu melihat seorang gadis sedang menatapnya. Dia berjalan ke arahnya dan mereka berjabat tangan.
"Apakah kita pernah kenal sebelumnya?" gadis itu bertanya.
"Tidak, tapi aku pikir kamu yang mengenalku," jawab Rano dan tertawa.
Gadis itu kemudian tersipu malu karena tawanya bergema keras memantul di dinding aula.
"Berkas kamu sudah disusun sesuai urutan belum?" tanyanya sambil menunjuk pada petunjuk yang ditempel di dinding. "Itu dokumen apa saja yang diminta dan susunan urutannya dalam map."
Rano tersenyum. Dia mengeluarkan berkas-berkas dari map, menyebarkannya di atas kursi dan mulai mengaturnya satu demi satu. Gadis itu berjalan mendekat.
"Oh, namamu Valentino," katanya.
Pandangan gadis itu tertuju pada berkas-berkasnya. Rano ingin mengoreksinya tetapi gadis itu menyambung lagi, "Oh, Rano Valentino."
Meskipun Valentino merupakan nama belakangnya, pemberian Neneknya yang penggemar film klasik Hollywood, dia belum pernah dipanggil dengan nama itu sebelumnya.
Rano hanya mengangguk dan melanjutkan mengatur berkasnya. Setelah selesai, dia memasukkannya ke dalam amplop besar.
"Kau tidak menanyakan namaku?" tanya gadis itu.
"Oh, maafkan aku, namamu siapa?" jawab Rano.
"Aku Lola," jawabnya.
"Oh, Lola yang lain."
"Lola yang lain?"
"Ya, ada Lola yang aku kenal di SMP dulu."
"Oh. Fakultas apa?"
"Hukum. Dan kamu?"
"Sastra Inggris."
"Bagus."
Mereka berjabat tangan sekali lagi dan berjalan ke kursi di depan meja fakultas masing-masing. Rano duduk di antara anak laki-laki dan anak perempuan yang kelebihan berat badan. Mereka terus berpindah dari kursi ke kursi menggantikan tiga terdepan yang dipanggil ke meja. Akhirnya tiba gilirannya.
Di hadapannya duduk seorang wanita yang memiliki senyum lembut abadi yang terlihat jelas setiap kali mulutnya mengatup. Kacamatanya yang tebal menonjolkan penampilannya yang sesuai untuk seorang kutu buku yang cantik.
"Namamu?" dia bertanya.
"Rano Valentino."
Dia membaca lembaran berisi daftar di atas mejanya. Membolak-balikkan kertas perlahan, lalu berhenti dan mengangkat kepalanya. Dia mengulurkan tangannya.
"Berkas-berkas?" dia bertanya.
Rano mengeluarkannya dari amplop dan menyerahkannya. Dia memeriksa berkas-berkas tersebut dan mengangguk-angguk. "Saya suka dengan hasil UN-mu. Cukup jelek. Ups!"
Rano menyembunyikan senyum atas pujiannya.
"Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Sejarah, Sosiologi, Geografi, Ekonomi. Semuanya memuaskan, di atas rata-rata nasional. Saya terkesan. Saya harap Anda akan terus melakukannya di sini, dan lulus cum laude tepat waktu," katanya.
Rano tersenyum merendah. "Saya akan mencoba yang terbaik."
Setelah registrasi selesai, Rano berjalan menuju ke halte bus dengan earphone menempel di telinga. Sayup-sayup terdengar namanya dipanggil. Dia menoleh dan melihat Anhar berdiri di bawah pohon.
Dia melambaikan tangan. "Hei, Anhar," katanya.
Dia berdiri, menunggu sahabatnya mendekat. Anhar berjalan dengan senyum cerah di wajahnya dan berpelukan, kemudian berjalan bersama. Langit gelap tertutup awan tebal dan sepertinya akan turun hujan.
"Apakah kita takkan kehujanan di sini?" Anhar bertanya.
"Mungkin."
Mereka semakin dekat dengan halte dan bergegas masuk. Duduk di ujung lainnya dua orang gadis, yang satu berkonsentrasi pada ponsel blackberry-nya sementara yang lain terus mengobrol.
Rano dan Anhar berdiri, meletakkan tangan mereka di besi pembatas yang memisahkan penumpang datang dan naik.
"Kamu sebetulnya diterima di Kedokteran, kan?" Rano bertanya tanpa mengharapkan jawaban. "Selamat."
Anhar tersenyum. "Bukan Kedokteran, tapi Fisika Kedokteran. Fakultas MIPA."
"Wow. Kamu salah tulis di Formulir Pendaftaran?" tanyanya bingung, dan bertanya lagi, "Dan apa itu Fisika Kedokteran?"
"Fisika yang berkaitan dengan alat-alat kedokteran."
Rano berpikir, mengangguk dan tersenyum.
"Nah, adikku bilang aku harus kuliah, dan karena aku tidak menyukai Kedokteran, dia sarankan aku mengambil jurusan yang aku suka agar lulus universitas dengan cepat dan mendapatkan pekerjaan. Sejak Mama sakit, keadaan akan menjadi sulit bagi kami."
Rano menatap Anhar dan tersenyum. Anhar sadar bahwa harus kuliah dan untuk mewujudkan mimpinya dengan tidak mengambil jurusan yang akan sia-sia ketika akhirnya lulus.
Dia ingat kepada para tetangganya di rusunawa yang memberikan ucapan selamat padanya.
"Aku yakin kamu akan jadi lulusan terbaik dan takkan perlu lagi mengkhawatirkan soal uang setelah lulus dan bekerja."
Tapi apa yang dibacanya dari internet tentang hukum sebagai sebuah profesi tidaklah menggembirakan. Berapa banyak lulusan Fakultas Hukum yang menganggur? Terlalu banyak pengacara daripada yang dibutuhkan.
Dia mendesah.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H