Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

10 Tahun Wabah

30 Juli 2022   09:43 Diperbarui: 30 Juli 2022   09:52 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perpustakaan terbuka dengan semua hal baik yang ada padanya. Sejauh ini, hanya ada dua ekor lalat yang masuk pagi itu.

Kamu tahu hampir tidak ada gunanya bagimu untuk membuka kunci pintu depan dan mengubah tanda di jendela menjadi BUKA, tetapi kamu menemukan kenyamanan dalam rutinitas, meskipun kamu menghabiskan sebagian besar waktumu di luar ruangan.

Taman Pembaca Ramah Anak lebih subur---dan lebih penting---dari sebelumnya. Meski tak ada anak-anak yang mampir hari ini.

Kota ini hanya didiami oleh kurang dari seribu manusia, dan seiring dengan berlalunya pekan, semakin banyak orang yang berhamburan pergi dibawa angin. Banyak desas-desus tentang kota-kota yang masih memiliki listrik dan infrastruktur yang stabil. Juga kota-kota lain yang situasinya jauh, jauh lebih buruk.

Kamu telah bergelut dengan keinginan untuk melakukan perjalanan ke utara seorang diri, ke keluarga adik perempuanmu. Namun siapa yang akan memelihara taman? Siapa yang akan membawakan buku bacaan berikut sayur dan buah segar ke panti jompo di Jalan Veteran?

Kamu senang merasa dibutuhkan. Namun mungkin adikmu juga membutuhkanmu.

Kamu menenteng ember plastik untuk menyiram tanaman tomat dan kecipir dengan air yang diciduk dari got.

Bunyi langkah sepatu di jalan kerikil di belakangmu membuatmu berbalik. Tanganmu meraba gagang pisau belati yang disarungkan di pinggangmu.

Seorang pria berdiri di sana. Kulitnya yang kecokelatan berkilau basah oleh keringat. Debu membuat pakaiannya berwarna cokelat. Dia memegang ransel dengan kedua tangan.

"Maaf. Apakah perpustakaan buka?" Dia bertanya. "Saya melihat ke dalam, tetapi saya tidak melihat seorang pun."

"Ya, buka. Saya pustakawati. Ratna Dewi. Ada yang bisa saya bantu?"

Kamu menatapnya dengan kecurigaan yang tak disembunyikan. Tidak banyak orang asing yang datang belakangan ini. Perpustakaan berada di sisi jauh kota dari jalan bebas hambatan. Lalu lintas sangat terbatas, sebagian besar dengan sepeda atau berjalan kaki.

"Saya datang," katanya, membuka ritsleting ransel, "untuk mengembalikan sebuah buku."

Kamu mengeringkan tangan di pinggul saat dia mengulurkan buku anak-anak dengan sampul bergambar---Bagai Bumi Berhenti Berputar.

Kamu tahu kamu harus lebih berhati-hati, tetapi tidak bisa menahan diri untuk tidak mendekat dengan tangan terjulur.

"Ini punya kami! Aku ingat!"

Kamu telah membaca sebagian besar koleksi buku anak-anak di perpustakaan kecil.

"Bagaimana kamu...? Dari mana kamu berasal?"

"Saya tinggal dua jam di utara. Ya ... akhir-akhir ini lebih dari dua jam. Nenek anak-anak saya tinggal di kota ini. Chicha Kuswara?"

"Aku mengenalnya! Dia meninggal...."

Kamu menyimpulkan kejadian baru-baru ini dengan lambaian tangan.

"Ya. Saya menemukan buku ini di tempat mantan istri saya dan saya pikir sudah sepatutnya untuk mengembalikannya." Suaranya serak, lalu berdehem.

Di mana anak anakmu? Kamu mengelus sampul buku yang licin, tiba-tiba sadar bahwa menanyakan keberadaan mereka akan membuat pria ini lebih cepat marah daripada kecepatanmu mencabut pisau yang disarungkan di pinggang.

"Ayo ikut denganku," katamu.

Kamu menggiringnya ke dalam. Keheningan perpustakaan saat itu tak terusik. Biasanya acara "Baca Dongeng untuk Balita" yang riuh berlangsung di atas permadani saat Kelompok Lansia Rabu Buku berkumpul di meja mereka yang biasa di dekat rak majalah, tempat mereka menggumamkan pertanyaan teka-teki silang dan membandingkan kesehatan masing-masing. Bunyi denting notifikasi komputer sebagai suara latar yang sumbang.

Kini, layar monitor komputer menatap kosong dan hitam. Kamu telah menggambar emotikon senyum di lapisan debu layar beberapa minggu yang lalu, dan sidik jarimu nyaris tak terlihat lagi. Akumulasi debu dan bunga mawar layu di meja membuatmu malu. Pria ini telah menempuh perjalanan jauh. Perpustakaan harusnya terlihat lebih baik dari ini.

Dia tampaknya tidak memperhatikan, hanya menjulurkan kepalanya dan seperti memaklumi semuanyamelalui senyum tipis di bibirnya.

"Aku ingat pernah datang ke sini bersama anak-anak."

Kamu berdiri di ambang pintu ke bagian buku anak-anak, terlambat bertanya-tanya apakah akan menyakitkan baginya untuk berada di sana, dan kemudian terus berjalan. Kamu menemukan rumah buku itu dan menyelipkannya ke rak.

"Aku akan mencatat bahwa buku itu telah dikembalikan," katamu. "Apakah aku boleh membantu Anda mencarikan buku lain?"

Perasaan akrab yang aneh menyelimuti. Mengucapkan kata-kata itu sama nyamannya dengan mengenakan daster usang. Orang-orang yang datang belakangan ini tidak membutuhkan bantuan. Mereka berbicara denganmu di taman, lalu langsung ke bagian ketrampilan dan hasta karya.

Pertanyaanmu mengejutkannya.

"Buku lain? Tapi saya tidak tahu apakah saya akan kembali. Saya tidak tahu apakah saya bisa kembali."

"Aku tahu apa yang bisa kita lakukan."

Kamu mengajaknya ke rak buku yang dikelilingi anyaman kawat.

"Ini buku sumbangan yang sudah dicoret dari daftar inventaris. Orang-orang dapat membacanya di waktu luang atau membawanya pulang."

Dia meraih sebuah buku. Jari-jarinya membelai stempel di halaman judul.

"Anda yakin?" Ada nada rindu yang lembut di sana.

"Tentu saja. Ambil yang itu. Baru saja terbit awal tahun ini. Bagus, banyak aksi, tapi penuh harapan."

"Semoga," gumamnya sambil memasukkannya ke dalam ranselnya yang penuh. Tanpa kesulita Buku kecil itu masuk dengan mudah. Dia menegakkan tubuh, ransel tersampir di bahunya.

"Saya harus pergi. Perjalanan saya masih panjang."

Dia tidak menyebutkan tujuan, dan kamu tidak bertanya.

"Terima kasih sudah mampir!"

Dalam ketidakhadirannya, semuanya kembali sunyi, kecuali dengungan lalat di kejauhan.

Kembali ke kenyataan membuatmu linglung. Kamu duduk di meja, dan bagai robot membuka jurnal kemudian menulis.

Bagai Bumi Berhenti Berputar, dikembalikan oleh... Chicha Kuswara.

Selesai.

Kamu meletakkan pena, ingat dirimu harus kembali ke taman. Namun kamu belum bisa bergerak.

Lagipula, perpustakaan sudah buka. Kursi ini adalah tempatmu.

Bandung, 30 Juli 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun