Kamu meletakkan kakimudi dasbor saat kita melaju melewati tikungan kompleks dan keluar ke jalan belakang tempat kerikil, rumput, dan nyamuk menunggu.
Aku mengemudi berpuluh kilometer dan kita tidak diam mengatakan apa-apa. Alismu rendah karena matamu tertutup. Jari-jariku mengetuk-ngetuk kemudi.
"Apa satu hal yang kamu takutkan? Apa yang akan menjadi yang terakhir tahun ini?" kamu memberanikan diri.
Akmu kaget dan menoleh ke arahmu. Sambil menggigit bibir, aku membelok dari jalan berkerikil dan parkir di sisi pantai. Kita baru saja mencapai pantai Leupung. Tempat yang indah di lapangan terbuka, pohon kelapa melambai dan debur ombak menyambut kedatangan kita.
"Bawa tikar?"
Aku mengangguk dan kamu mengambil selimut tua yang kusimpan di kursi belakang. Aku turun dan membukakan pintu untukmu.
Kamu mencicit ketika tanganku meraih pinggangmu. Wajahmu bersemu merah jambu dan jantungku berdetak kencang, napasku memburu seribu kupu-kupu menghempaskan badai.
Aku tertawa dan menusuk sekali di tulang rusukmu, membuatku mendapat pukulan di bahu.
Pipimu masih merah, tapi kamu tidak menolak tawaranku untuik kugendong hingga pasir putih di tepi pantai.
Kita memang bersahabat. Tetapi aku seperti merasakan ada sesuatu yang kurang. Karena aku menginginkan lebih darimu. Dan itu tidak akan pernah bisa. Aku menolak untuk jatuh cinta dengan sahabatku. Kamu adalah teman terbaikku.
Tetap saja, aku ingat bagaimana rasanya tanganku saat menggendongmu malam itu.