Panggilan mendadak membuat Prima bergegas menyusuri lorong dan membuka pintu ruang kerja inspektur. Ketika dia akhirnya berdiri di depan sosok tubuh kaku di belakang meja yang menatap ke dalam matanya dengan tatapan seperti orang ngantuk nyang menyembunyikan kewaspadaan, jantungnya berdegup kencang.
Dia ditugaskan ke biro detektif kurang dari enam bulan, tapi dalam waktu sesingkat itu, dia telah menyaksikan ribuan keeksentrikan dari komandannya itu. Tangan besar yang bertato mengetuk permukaan meja, bibir yang selalu mengunyah sesuatu, ragu-ragu yang menyelinap dari balik mata yang mengantuk, semuanya seperti sebagian besar surat tugas untuk Prima—surat yang menugaskan tugas yang rumit dan pelik untuknya, kalau bukan luar biasa berbahaya.
"Kamu mau kemana?"
"Pulang, komandan-"
Prima ragu-ragu sejenak lalu berdeham.
"Saya mungkin mampir sebentar ke Nuna."
Secara tiba-tiba, dagu inspesktur terangkat saat mendengar nama putrinya disebut, membenarkan kekhawatiran Prima.
"Seberapa besar kamu menyayangi nyawamu?"
Suara inspektur mirip geraman binatang buas. Lebih merupakan peringatan daripada raungan kemarahan, dikeluarkan dari tenggorokan yang bertahan dari jarak jauh di balik setumpuk daging dan otot.
Prima jarang mendengar inspektur bersuara seperti itu, atau, dalam hal ini, tidak membuatnya tertipu oleh keramahan dan kelembutan inspektur. Nada permintaan maaf yang keluar dari mulutnya sendiri yang justru mengejutkannya.
"Secara keseluruhan, saya menghargai hidup saya lebih tinggi saat ini," jawabnya, mencoba tersenyum.
"Kalau begitu lupakanlah apa yang hendak kusampaikan," lanjut inspektur. "Ini tugas sukarela. Tidak ada kepastian akan berhasil. Ini tentang siapa pun yang menanganinya apakah akan sarapan roti dan telur besok pagi."
"Tugas apa, komandan?" tanya Prima.
Inspektur mendongak.
"Kau pernah mendengar tentang manusia tanpa wajah?"
Prima menatap sambil berpikir.
"Kasus di Bekasi itu? Luka bakar yang parah?"
Kepala yang besar itu menggelengkan dengan tidak sabar.
"Bukan. Masduki di Surabaya beberapa tahun yang lalu, bereksperimen dengan bahan peledak baru di laboratorium. Dia mengangkat tangannya tepat waktu untuk menyelamatkan matanya dari kebutaan."
"Sepertinya aku ingat," jawab Prima.
"Selalu memakai topeng merah sejak kejadian itu," kata inspektur.
Dia menarik kertas faksimili dari tumpukan di sikunya, memakunya ke papan tulis dan mengetuknya dengan jari telunjuknya yang sebesar ibu jari Prima.
Prima bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya. Perasaan tidak enak memaksanya untuk mengalihkan tatapannya dari wajah komandan. Ada sesuatu yang luar biasa tentang topeng ini, yang selalu dipakai untuk menyembunyikan tampang yang mengerikan.
Ketukan inspektur berubah menjadi ekspresi kemarahan. Suaranya mengungkapkan kebencian yang ditahan-tahan.
"Tidak diragukan lagi kamu pernah mendengar tentang teman kita, Balakutak?"
Prima maju, kepalan tinjunya menempel di atas meja. Wajahnya memerah, tak percaya dengan pendengarannya.
"Maksud komandan apakah ada hubungan-"
Inspektur menghentikan ketukan jemarinya. Dia menatap Prima dengan wajah serius.
"Benar. Kamu tahu artinya apa. Inilah tugasnya. Ambil atau tinggalkan. Aku tidak akan memintamu pergi ke tempat yang aku sendiri mungkin tidak akan datangi saat seumurmu."
Prima berpikir cepat. Komandannya benar. Siapapun yang mencoba menghentikan Balakutak tidak perlu memikirkan besok sarapan apa sampai setelah matahari benar-benar terbit.
Prima dan setengah anggota divisi lainnya telah melacah setengah lusin lelaki sebagai anak buah sosok yang hampir mistis ini. seperti yang lain, telah sering menyelidiki kejahatan yang tidak terungkap sebagai hasil kerja kelompok Balakutak. Tetapi dia juga tahu bahwa tidak ada yang dapat membuktikan keberadaan kelompok penjahat yang unik ini. Selain kebrutalan biasa, tampaknya diorganisir oleh otak yang brilian dan tidak mudah dipahami.
"Berapa peluangnya?" tanya Prima.
Mata inspektur yang mengantuk itu terbuka lebar.
"Mungkin mereka akan bekerja sama besok malam. Kita belum pernah mendapatkan kesempatan seperti ini sebelumnya, dan ini adalah malam yang panjang. Salah satu bajingan ini membual. Dia berkata-dan aku mengutipnya apa ada adanya-‘besok malam kita akan memainkan kartu as.' Paham, Prima? Apa artinya kartu as, eh? Presiden ada di kota kita besok malam, tapi dia punya paspampres. Masih banyak orang besar di kota ini yang kematian mendadaknya akan membuat kehebohan lebih dari pemakaman seorang kepala negara. Atau, jika itu perampokan, pertimbangkan skalanya. Orang-orang ini akan merampok neraka saat setan tertidur di kamar depan. Aku telah berpikir seharian mencari tahu apa yang dimaksudkan dengan kartu as berikut susun kartunya, dan pada saat yang sama aku bertanya apa yang akan kulakukan tentang hal itu. Tetapi keberuntungan telah berubah."
Prima menghela napas.
"Apa yang akan komandan lakukan?"
"Berikan padaku," jawab inspektur itu perlahan, geramannya hampir seperti bisikan, "seseorang yang tidak banyak berbicara dan bertubuh seperti Masduki si Topeng Merah."
Matanya menatap lurus ke mata Prima, kembali mengantuk lagi.
"Kamu punya tubuh itu, Prima. Yang kamu butuhkan hanyalah setelan cokelat tua polos."
Dia mengangkat kertas faksimili.
"Ini adalah deskripsi Masduki saat dia meninggalkan Stasiun Gubeng baru saja. Dia akan berada di dalam Turangga malam ini. Dia menunggu seseorang untuk menemuinya dan membawanya ke markas Balakutak."
Wajah Prima menjadi cerah.
"Apakah dia punya catatan?"
"Seorang tersangka, terutama karena dia punya hubungan dengan kelompok anarkis. Seorang analis bahan peledak, ahli kimia, wajahnya hancur oleh kecelakaan eksperimen. Berbahaya seperti dinamit itu sendiri! Itu sebabnya komunikasinya diawasi sehingga geraknya bisa diketahui. Tapi mereka tidak memberikan detailnya kepada kita. Mungkin Masduki sendiri tidak tahu apa yang dia hadapi."
Dengan sikap penuh rahasia inspektur membuka laci dan mengeluarkan kain merah yang ditenun kasar. Dua lubang di atas sebagai tempat mata dan lubang sempit yang panjang di bawah. Dari tepinya empat karet elastis menjuntai.
"Aku yang membuatnya," katanya, mengulurkannya dengan ragu-ragu, "supaya, orang tak curiga bahwa kamu bukan Masduki."
Prima mengambil kain itu dan memasangkannya di wajahnya. Benda itu meninggalkan bekas luka kecil di lehernya. Inspektur menunjuk ini dengan senyum senang.
"Bekas luka itu akan membuat mereka yakin. Pakai setelan cokelat dan kamu akan lolos."
"Di mana Masduki turun?"
"Aku sudah meminta agar kereta diberhentikan di ujung jembatan sebelum stasiun Cipendeuy. Kecil kemungkinan ada mata-mata di sana. Beberapa orang kita akan membawanya pergi dan menjauhkannya dari keramaian saat kamu naik. Mengerti? Kamu akan naik dari Cipendeuy. Mengerti?"
"Tentu. Terima kasih atas kepercayaannya, Komandan."
Prima melepas topengnya. Inspektur menyodorkan secarik kertas putih lusuh.
"Kamu tahu apa gunanya kertas ini?" dia bertanya.
Prima menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu ambillah. Kalau waktunya tiba, tulis instruksimu di atasnya dengan korek api, tusuk gigi, apa saja yang bisa digunakan. Kertasnya akan tetap putih, tapi aku bisa membuat apa pun yang kamu tulis terlihat sebagai tajuk utama surat kabar pagi. Kamu akan sampai kota setelah pukul setengah enam pagi. Aku akan menahan instruksi sampai pukul delapan, siapa tahu orang-orang ini punya mata-mata di sini. Tapi setelah itu kamu dapat menjatuhkannya di dekat seorang polisi berseragam dengan peluang yang cukup untuk itu sampai padaku."
"Komandan akan membuntutiku juga?" tanya Prima.
Inspektur menyeringai malu.
"Tentu saja aku akan mencoba. Atau aku mungkin harus membiarkanmu begitu saja?"
"Ya," jawab Prima.
Setelah tawarannya diterima dan rencananya dimengerti, inspektur justru berubah gugup dan gelisah. Dia berdiri dan melangkah mengitari meja, meletakkan tangannya di bahu Prima.
"Hati-hati, jaga dirimu baik-baik," katanya terbata-bata. "Aku tidak ingin kasus Hastyo terulang lagi."
Nama itu meredam antusiasme Prima. Dia tidak pernah mengenal hastyo Manganan yang setahun lalu menjadi bintang divisi. Tapi kematian detektif muda itu sangat akrab baginya- ditikam tepat di jantung di sebuah rumah yang penghuninya tidak mendengar tanda bahaya. Kunci teka-teki itu tidak pernah ditemukan. Bahkan inspektur merahasiakan sifat tugas Hastyo pada malam pembunuhannya.
"Aku benci menugaskan anak buah yang kusukai tugas yang berisiko kehilangan nyawa," lanjut inspektur itu dengan nada penyesalan dalam suaranya.
Prima ingin menjawab engan kata-kata yang telah dia tahan selama berbulan-bulan dengan susah payah. Akan tetapi, tidak akan adil bagi komandannya. Tidak akan menjadi awal yang pas untuk tugasnya yang berat dan berbahaya.
"Jika saya punya waktu, saya mungkin mampir untuk mengobrol dengan Nuna."
"Tapi apa kamu tidak akan membuatnya khawatir dengan tugas ini?"
"Tentu tidak."
Inspektur menjadi sangat ramah.
"Tidak heran kalau Nuna menyukaimu."
Wajah Prima memerah. Dia berbalik.
Inspektur menghela napas.
"Baiklah. Ada banyak waktu untuk hal itu setelah kamu kembali ... hidup-hidup."
BERSAMBUNG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI