"Kalau begitu ambillah. Kalau waktunya tiba, tulis instruksimu di atasnya dengan korek api, tusuk gigi, apa saja yang bisa digunakan. Kertasnya akan tetap putih, tapi aku bisa membuat apa pun yang kamu tulis terlihat sebagai tajuk utama surat kabar pagi. Kamu akan sampai kota setelah pukul setengah enam pagi. Aku akan menahan instruksi sampai pukul delapan, siapa tahu orang-orang ini punya mata-mata di sini. Tapi setelah itu kamu dapat menjatuhkannya di dekat seorang polisi berseragam dengan peluang yang cukup untuk itu sampai padaku."
"Komandan akan membuntutiku juga?" tanya Prima.
Inspektur menyeringai malu.
"Tentu saja aku akan mencoba. Atau aku mungkin harus membiarkanmu begitu saja?"
"Ya," jawab Prima.
Setelah tawarannya diterima dan rencananya dimengerti, inspektur justru berubah gugup dan gelisah. Dia berdiri dan melangkah mengitari meja, meletakkan tangannya di bahu Prima.
"Hati-hati, jaga dirimu baik-baik," katanya terbata-bata. "Aku tidak ingin kasus Hastyo terulang lagi."
Nama itu meredam antusiasme Prima. Dia tidak pernah mengenal hastyo Manganan yang setahun lalu menjadi bintang divisi. Tapi kematian detektif muda itu sangat akrab baginya- ditikam tepat di jantung di sebuah rumah yang penghuninya tidak mendengar tanda bahaya. Kunci teka-teki itu tidak pernah ditemukan. Bahkan inspektur merahasiakan sifat tugas Hastyo pada malam pembunuhannya.
"Aku benci menugaskan anak buah yang kusukai tugas yang berisiko kehilangan nyawa," lanjut inspektur itu dengan nada penyesalan dalam suaranya.
Prima ingin menjawab engan kata-kata yang telah dia tahan selama berbulan-bulan dengan susah payah. Akan tetapi, tidak akan adil bagi komandannya. Tidak akan menjadi awal yang pas untuk tugasnya yang berat dan berbahaya.
"Jika saya punya waktu, saya mungkin mampir untuk mengobrol dengan Nuna."