Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Teka-teki Pelangi (Serial Saraswati: Pakar Makhluk Astral)

19 Maret 2022   16:32 Diperbarui: 19 Maret 2022   16:36 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

"Apakah kamu sudah pernah melakukan ini sebelumnya?" tanya Detektif Sanjo sambil terengah-engah, berjalan dengan susah payah menaiki bukit berumput. "Kita telah berjalan berjam-jam."

Profesor Doktor Saraswati, pakar makhluk astral, menunggu di depan.

"Kita sedang mencari ujung pelangi, sebuah lokasi ajaib. Dibutuhkan lebih dari sekadar jalan kaki untuk menemukannya."

"Punya kekuatan yang bisa membantu?"

"Kamu masih belum tahu siapa saya sebenarnya?"

"Kamu adalah teka-teki alam semesta yang paling membingunkan."

Saras tertawa dan melanjutkan mendaki. Di atas, lengkung warna-warni membelah langit.

"Akan ada serangkaian ujian gaib yang mengarah ke ujung pelangi. Setelah kita berhasil melaluinyaereka, semoga kita akan menemukan petunjuk yang membawa kita ke Sultan Andor."

"Ada yang tahu siapa Sultan ini?" tanya Sanjo. "Dia terlibat dalam terlalu banyak kejahatan, semuanya menargetkan makhluk astral. Dia pasti merencanakan sesuatu."

"Kita akan mencari tahu." Saras mencapai puncak bukit dan berhenti. "...setelah sedikit penundaan."

Sanjo menyusul. Mereka menatap ke seberang jurang yang teriris dari kaki bukit. Sanjo bersiul nyaring. "Tingginya setidaknya tiga lantai."

"Tidak ada cara untuk turun," gumam Saras. "Jurang ini tidak terbentuk secara alami. Ini gaib, ujian pertama."

"Bagus," kata Sanjo. "Apa yang kita lakukan?"

Saras mengeluarkan koin logam emas dari dompetnya. "Ini adalah koin tululleprechaun yang kita temukan, koin yang mengirim kita ke dalam petualangan ini. Mungkin bisa membantu."

Dia memegangnya di tepi ngarai, mengabaikan teriakan Sanjo, dia melepaskan benda itu ke dalam jurang.

Koin itu berhenti di udara setengah meter di bawah. Mendarat di tepinya, lalu mulai menggelinding menelusuri jalan tak terlihat ke jurang. Belok ke kiri, belok kanan, kanan, kanan, kiri, kiri, kanan, kanan, kiri. Begitu mencapai dasar, berputar tiga kali, dan tergeletak seolah lelah.

"Ini dia," kata Saras dan melompat dari tebing. Sanjo berteriak kaget. Namun kaki pakar makhluk astral itu mendarat di landasa yang kokoh meski tak tampak. Dia mulai menelusuri kembali jalur koin itu.

Dia berhasil turun, lalu menunggu Sanjo menyusulnya. Sambil mengantongi koin, dia menyeringai. "Satu rintangan terlewati."

"Ingatkan aku untuk tidak pergi bertualang lagi denganmu. Apa kau mendengar air mengalir?"

Sanjo menyingkirkan gerumbulan semak belukar dan menarik napas dengan tajam. "Aku rasa kita menemukan ujian kedua."

Saras mencondongkan tubuh melewati Sanjo. Di depan, air sungai berbusa mengalir deras melalui ngarai. Batuan bergerigi setajam pedang yang mematikan menyembul dari permukaan gelembung air. Percikan air memenuhi udara tempat sungai berakhir dengan air terjun yang luas, membiaskan pelangi mini serupa dengan pelangi besar di awan.

Sanjo berdehem. "Bukankah air seharusnya mengalir ke permukaan batu?"

"Sihir." Saras menyipitkan mata melihat ke sungai, lalu telunjuknya teracung ke depan.

"Lihat batu loncatan warna-warni itu? Begitulah cara kita menyeberang."

Saras melangkah turun ke sungai. Sanjo menariknya kembali.

"Jika salah injak satu saja, kamu akan jatuh dan hanyut entah ke mana."

"Jadi?"

"Jadi? Jadi, kalau sampai hanyut kemungkinan kamu akan mati. Arus sungai ini sepertinya bukan jenis yang suka melepaskan mangsa."

"Ini ujian kedua, Sanjo. Kita hanya perlu menginjak bebatuan dengan urutan yang benar."

"Dan apa urutannya?"

Saras mengamati batu-batu itu. Yang paling dekat dengan sisi mereka adalah jingga matahari terbit yang cerah. Selanjutnya, dua batu yang terletak dalam jangkauan warnanya hijau dan kuning.

"Urutan pelangi, tentu saja. Tidak ada merah, jadi kita mulai dari oranye." Dia melompat ke atas batu. Sanjo kaget, tapi diam bertahan.

"Ikuti aku," kata Saras, melompat dari batu ke batu. Berikutnya batu kuning yang sepertinya bertabur bijih emas. Tidak ada batu hijau yang bisa dijangkau, jadi Saras melompat ke batu berwarna biru, lalu menggunakan batu lembayung untuk melompat ke seberang.

Sanjo mengikuti, mengatur tempo setiap lompatan dengan hati-hati. Sesampai di darat, dia menyeka keringat dari dahinya. "Kamu sebenarnya seekor siluman kijang, ya?"

"Mungkin." Saras meraih tangannya. "Ayo. Masih ada satu ujian lagi."

"Tunggu." Sanjo mengerutkan kening ke langit. "Ada dua bulan purnama di atas sana."

Saras berhenti dan mendongakkan kepala. "Ha."

Keduanya saling menatap. "Jika kita gagal dalam ujian terakhir ini, apakah kita masih bisa pulang?" tanya Sanjo.

Saras menggigit bibirnya. "Sebaiknya kita tak usah memikirkannya."

Mereka menerobos semak-semak yang rimbun sambil memotong ranting dan daun, membuka jalan ke tempat yang terbuka. Di tengah, berkas cahaya terang menyentuh rerumputan, deretan warna merah hingga ungu.

Napas Saras tercekat. "Cantiknya."

"Begitulah," kata Sanjo. "Dan aku rasa kita sudah berhadapan dengan ujian terakhir kita."

Di bawah ujung pelangi, sebuah batu berukir tergeletak di rerumputan. Saras membaca tulisan ukiran itu keras-keras.

"In common amongst the hues.
Third of the first step.
Most turns,
Then least.
First in the second.
Say you are its opposite.

(Persamaan di antara warna
Ketiga dari langkah pertama.
Belokan terbanyak
Dan yang sedikit
Pertama di kedua
Katakanlah kamu sebaliknya)"

"Kurasa kita akan mati di sini," kata Sanjo.

Saras mencubitnya. "Diam. Saya rasa saya punya ide."

"Persana di antara warna. Itu berarti sesuatu yang dimiliki semua warna pelangi."

"Tapi berbeda di setiap bahasa."

"Puisi itu dalam bahasa Inggris. Jawabannya mungkin juga."

"Pelangi warnanya tak terbatas. Tidak ada jumlah warna yang terbatas."

"Anda benar. Mungkin tidak semua warna, hanya yang ada di batu loncatan."

"Oranye, kuning, biru, ungu. Orange, yellow, blue, purple. Atau lavender. Atau violet."

"Semuanya memiliki satu kesamaan, huruf E. Setiap baris puisi adalah huruf dalam kata sandi."

Mata Sanjo melebar. "Kalau begitu, kurasa aku tahu sisanya."

"Ketiga dari langkah pertama," kata Sanjo. "Batu loncatan pertama berwarna oraanye, orange. Huruf ketiga 'orange' adalah A. 'Belokan terbanyak, lalu paling sedikit' harus mengacu pada cara koin menggelinding waktu kamu melemparkannya ke jurang."

"Lima kanan, empat kiri," kata Saras. "R, lalu L. Pertama di kedua... batu loncatan kedua berwarna kuning, yellow. Y. Kalau diurut E-A-R-L-Y. Early. Terlambat."

"Say you are its opposite," Sanjo membaca puisi itu. "Kamu ingin melakukannya?"

Saras berseri-seri, lalu berbisik, "You're late."

"Betul," jawab sebuah suara. "Kamu terlambat."

Tanah runtuh di bawah kaki mereka, dan mereka jatuh ke dalam lubang hitam.

Bandung, 19 Maret 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun