Dia memapahnya sampai ke kasur kecil yang menempati hampir separuh kamar. Kamarnya. Dia melambat di tengah jalan, terpincang-pincang, mengerang pelan dan membiarkan dirinya jatuh ke lantai.
"Ma," lagi, dan itu adalah rengekan yang menyedihkan, tangisan seorang anak minta tolong. Suaranya masih suara Mukjizat, tetapi, untuk pertama kalinya, dia bisa melihatnya sebagai putranya.
"Apa yang terjadi?" tanyanya.
Perlahan, dia berlutut di sampingnya. Sendinya nyeri. Seluruh hidup membungkuk, kembali ke lantai ketika semua yang dia ingin lakukan adalah bangun dan pergi. Hidupnya yang terbuang untuk menjaga pria yang menjaga kota mereka.
"Aku melihat mereka."
Tidak banyak lagi yang bisa dikatakan. Mata Udin masih kosong, tatapannya tidak mampu menetap pada satu fokus, tetapi tangannya mencari tangannya. Dan dia membiarkan tangan putranya menemukan tangannya, meremasnya dengan kekuatan yang tampaknya tidak pada tempatnya, bahkan pada manusia yang lebih kuat sekalipun.
Kekuatan yang goyah sedetik kemudian.
Terkejut, dia melihat lagi ke putranya. Lukanya sudah sembuh. Selalu. Yang tersisa hanyalah darah kering, tetapi kulitnya menjadi pucat, agak kekuningan, dan dia berkeringat dan mengerang tanpa sadar.
"Apa... Apa yang terjadi, Udin?" tanyanya lagi.
Dia tidak mengoreksinya. "Namaku Mukjizat," dia biasanya akan mengatakan, tapi kali ini dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menjilat bibirnya sebelum kehilangan genggaman tangannya.
"Aku melihat mereka. Aku melihat Bayangan."