Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mukjizat

19 Maret 2022   10:00 Diperbarui: 19 Maret 2022   10:10 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mama adalah kata asing. Mama, Mam, Ma. Sebagian dari dirinya bersyukur, menjauhkan diri dari pria seperti itu, dari makhluk seperti itu.

Ada sesuatu tentang Udin yang asli dalam tatapannya. Dia terluka. Tapi tidak ada luka yang terlihat nyata, hanya luka di kostumnya yang berwarna cerah, bercak hitam dan merah yang mengubah biru mengkilap menjadi ungu tanpa jiwa.

Hidungnya tidak lagi berdarah, kekuatan penyembuhan sedang bekerja. Namun ada sesuatu yang salah.

Selalu ada masalah dibalik kemudahan. Atau begitulah dia berkata pada dirinya sendiri. Ada masa sebelum Udin, ketika dia masih muda dan dunia aman, ketika belum ada Tembok.

Batas telah digambar di peta. Mungkin semacam pelindungan. Mungkin lebih dari sekadar kata, tetapi tidak nyata.

Dia ingin percaya. Bagian luar tidak selalu gelap dan berbahaya seperti neraka. Dia telah menceritakan kisahnya kepada putranya, ketika Udin masih kecil. Kisah-kisah tentang saat-saat ketika manusia-manusia seperti dia masih ... manusia. Ketika harapan akan rumah yang lebih besar dan mobil yang lebih bagus dan tidak khawatir tentang aanya makanan setiap hari.

Dan Udin, anak muda yang cerdas, telah mengajukan pertanyaan yang ditakutinya. Dan dia mencoba untuk tidak menjawab, dan itu saja sudah cukup.

Tapi telah terjadi, sayangku, pikirnya saat itu. Dia berpikir lagi kini.

Kamu mungkin tidak membangun tembok, Kamu mungkin tidak bersalah karena mengubah bentuk mereka yang masih mengintai di luar sana, tetapi kamu membuatku tumbuh dewasa. Menua. Sedih.

Dengan gerakan cepat, dia menempatkan dirinya di sebelah anaknya, mencoba menopangnya dengan tubuhnya. Dia kecil di sebelah Mukjizat, tidak begitu ketika dia hanya Udin biasa. Mungkin karena sikapnya. Cara dia membungkuk ketika dia menjadi dirinya sendiri, ketika dia mengenakan pakaian abu-abu yang harganya hanya sebagian kecil dari harga kostum biru yang dia suka. Cara dia berbicara lebih lembut, seolah-olah dia takut seseorang akan mendengarkan dan melihatnya.

"Kau begitu istimewa, Udin," mungkin dia pernah berkata padanya suatu saat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun