"Suara apa itu?" tanya istriku, Ghea. Dia dan aku berbaring di kursi malas menghadap balkon belakang lantai dua. Sinar redup dari senja berawan membuat dunia memainkan kisah bayangan melalui jendela yang tak tertutup di sisi barat ruang keluarga. Kami berdua duduk di sisi jendela tinggi di sisi kami, berpelukan seperti dua sendok, melawan dingin dari angin bulan Maret yang berhembus lubang ventilasi. Kemilau keringat yang tersisa baru saja berakhir menambah dingin menembus tulang.
"Suara hujan yang mulai turun," kataku padanya. "Suaranya keras di atap seng berkarat."
"Seperti senapan mesin di film Rambo."
"Enggak ada romantis-romantisnya."
"Oh, jadi kita masih romantis? Baiklah, Tuan Romantis, mengapa kamu tidak menulis sebuah puisi untukku?"
"Puisi? Hmmm, coba dengar ...
Dulu ada seorang gadis bernama Ghea
Yang oleh semua pria dianggap bukan wanita
Karena dia menaklukkan dunia dengan -"
"Hei, bukan puisi seperti itu. Buatkan aku puisi yang bagus."
"Oke, beri aku waktu sebentar."
Aku menarik napas dalam-dalam, mencium wangi jejak sampo bunga apel dari mandi paginya.
Kulit Ghea yang lembut di ujung jari tanganku yang kapalan, selembut yang kukenal dari awal. Sudah lama sejak aku menyentuhnya seperti ini.
Aku berdeham dan bersenandung dengan suara serak:
"Aku dan Ghea berbaring di ranjang
Hujan badai datang menerjang
Namun dia sangat lembut layaknya hujan
kupeluk erat, takkan kulepas-"
"Lebih bagus dari yang tadi, tapi kedengaran lebih seperti sebuah lagu."
"Apa boleh buat. Kita hidup dari lagu."
Sebagai seorang penulis, aku juga pernah menciptakan beberapa lagu, dan dalam delapan tahun karir profesionalku, aku hanya sukses menjual satu lagu untuk artis penyanyi pop lawas yang kejayaannya telah lama memudar, tetapi rekamannya masih terjual ke generasi baby boomer.
Dengan berhemat, royalti dari buku-bukuku dan lagu itu cukup membuat asap dapur tetap mengepul. Meski bukan steak, lobster atau caviar. Dan liburan tahunan kami artinya menjaga rumah mertuaku saat berkeliling Nusantara diajak adiknya.
Ghea dulu bekerja, tetapi kemudian dia memutuskan untuk sepenuhnya membantu dalam hal penyuntingan naskah bukuku.
Aku lebih suka dia tidak bekerja, karena kebersamaan kami jauh lebih berharga. Seperti saat Ini salah satunya.
"Hei, Tuan Pencipta Lagu," katanya, "aku punya ide. Ayo pergi dari sini."
"Ide bagus. Dingin, dan kursi malas ini gatal."
Aku mencari pakaianku, tapi dia menghentikanku. Kemudian, meraba-raba dalam kegelapan, dia menemukan tangga dan turun setengah telanjang. Aku mengikutinya. Dia turun ke pintu halaman belakang dan mendorongnya terbuka. Siluetnya yang ramping terlihat seperti bidadari tanpa sayap. Di luar langit kelabu yang semakin pekat.
"Aku ingin mandi hujan," katanya.
"Betulkah? Tapi kamu akan basah kuyup."
"Tidak apa-apa. Ayolah. Ini hanya hujan."
Aku mengikutinya keluar.
Hujan seperti kerikil tajam menusuk-nusuk kulit, tapi Ghea sepertinya tidak peduli. Dia mengangkat tangannya dan berputar-putar, memanggil kembali kenangan lama dari pelajaran tari balet masa kecilnya. Mencoba untuk berdiri tanpa alas kaki, gagal, tetapi tetap berputar, lalu menendang tinggi ke udara.
Ghea tertawa membuat hatiku mekar seperti mawar bertemu embun. Aku sangat menyukainya saat dia tertawa.
"Ayolah, tuan. Mari kita berdansa."
Dia menarikku mendekat, kulit kelopak buah persiknya berkerut kedinginan, tapi tetap lembut seperti riak air sungai nan jernih.
Kami jatuh terduduk setelah dua langkah di rumput basah. Salah satu kucing tetangga sebelah mengeong gelisah, tetapi selain itu, satu-satunya suara hanyalah bunyi derap hujan.
"Nyanyikan sesuatu untukku, Him," katanya.
"Lagu apa?"
"Aku tak tahu, kamu yang penulis lagu. Hei, nyanyikan aku lagu pengantar tidur itu."
Saya berpikir keras mencoba mengingat lagu yang dia maksud.
"Saat dia tertidur lelap
ku ingin tahu apa yang dia impikan
Saat dia tertidur lelap
ku bertanya-tanya apa yang dia inginkan
Gadisku, apa yang dia simpan di dalam jiwa
membiarkannya berlari jauh
saat dia tertidur lelap."
"Itu dia. Aku suka lagu itu."
"Tapi lagu itu tak laku, Sayang. Perusahaan rekaman menolaknya mentah-mentah."
"Persetan dengan mereka. Aku suka lagu itu. Aku suka semua lagumu. Sekarang nyanyikan sampai selesai."
***
Kemudian, kembali ke dalam rumah, Ghea tertidur lelap di ranjang seperti kucing di bawah selimut.
Aku membuat kopi hitam panas kental dan mengeluarkan gitarku. Pernah terasa tidak ada gunanya menulis lagu, tetapi aku melakukannya karena itulah yang harus kulakukan untuk bertahan hidup. Ghea bertahan, melalui hari-hari baik dan buruk. Jadi aku juga harus melakukannya.
Di luar, hujan masih turun, menabuh jendela dengan gendang alam. Mungkin ini yang membuatku tetap terjaga, tetapi aku memang tidak benar-benar mengantuk, jadi tidak terlalu menggangguku. Ini hanya hujan.
Memetik kunci G, dan mengulangi kata-kata itu dengan keras.
Euforia dari sebuah lagu baru datang padaku, satu dari ratusan bahkan ribuan yang telah datang sebelumnya, semua ditakdirkan untuk memudar menjadi tidak jelas setelah aku pergi. Namun saat ini aku tidak peduli. Untuk saat yang sangat singkat ini, semuanya baik-baik saja di duniaku dan dunia Ghea.
"Hanya hujan," aku bernyanyi, dan sisa kata-katanya mengalir seperti tetesan kristal jatuh dari langit malam.
"Hanya hujan."
Bandung, 14 Maret 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI