Kulit Ghea yang lembut di ujung jari tanganku yang kapalan, selembut yang kukenal dari awal. Sudah lama sejak aku menyentuhnya seperti ini.
Aku berdeham dan bersenandung dengan suara serak:
"Aku dan Ghea berbaring di ranjang
Hujan badai datang menerjang
Namun dia sangat lembut layaknya hujan
kupeluk erat, takkan kulepas-"
"Lebih bagus dari yang tadi, tapi kedengaran lebih seperti sebuah lagu."
"Apa boleh buat. Kita hidup dari lagu."
Sebagai seorang penulis, aku juga pernah menciptakan beberapa lagu, dan dalam delapan tahun karir profesionalku, aku hanya sukses menjual satu lagu untuk artis penyanyi pop lawas yang kejayaannya telah lama memudar, tetapi rekamannya masih terjual ke generasi baby boomer.
Dengan berhemat, royalti dari buku-bukuku dan lagu itu cukup membuat asap dapur tetap mengepul. Meski bukan steak, lobster atau caviar. Dan liburan tahunan kami artinya menjaga rumah mertuaku saat berkeliling Nusantara diajak adiknya.
Ghea dulu bekerja, tetapi kemudian dia memutuskan untuk sepenuhnya membantu dalam hal penyuntingan naskah bukuku.
Aku lebih suka dia tidak bekerja, karena kebersamaan kami jauh lebih berharga. Seperti saat Ini salah satunya.
"Hei, Tuan Pencipta Lagu," katanya, "aku punya ide. Ayo pergi dari sini."
"Ide bagus. Dingin, dan kursi malas ini gatal."