Aku tidak akan merindukannya. Bahkan, sekarang aku memikirkannya. Aku bisa hidup bahagia tanpa Indila bergema berkeliaran di selasar rumah bergaya Neo Renaisans, mengenakan tidak lebih dari kemeja lengan panjang garis-garis hijau pucat di atas dasar putih, dengan bukit kembarnya yang kecil dan kaku menonjol di balik kain katun seperti dua buah apel. Sesering mungkin dia bersenandung tanpa nada, mengerutkan kening, mondar-mandir, terkadang bergumam pada dirinya sendiri atau untuk 'Hiwal'.
Aku bahkan tidak yakin bagaimana kami bisa bersama.
Aku bertemu dengannya di suatu tempat, kafe atau resepsi perkawinan. Ingatan kabur tentang itu.
Wajahnya ramping dan mulus, dengan bibir penuh, gigi putih rapi dan mata bundar kelabu tua, dibingkai oleh 'v' terbalik dari ikal ketat di rambut berwarna burgundi jatuh mengalir ke bahunya.
Dia tidak terlalu cantik tetapi menarik, jika Anda tahu apa yang kumaksud.
"Halo, aku Indila, kamu siapa?"
"Mahiwal, Â orang-orang memanggilku Hiwal."
Dia duduk di hadapanku, membanting segelas besar koktail berwarna lemon di atas meja di antara kami, menumpahkan beberapa tetes isinya ke taplak meja. Dia terkikik. "Ups! Kebetulan, kucingku namanya juga Hiwal!"
"Kenapa kamu memanggilnya Hiwal?"
"Bukan aku yang ngasih nama. Dia sendiri yang bilang itu namanya."
Aku tertawa. "Kedengarannya seperti kucing yang cerdas!"
"Seseorang bilang kamu tinggal sendirian di rumah bergaya Neo Renaisans yang besarnya pakai banget. Apakah kamu enggak kesepian?"
Aku tersipu. Jangan-jangan di jidatku tertulis besar-besar dengan spidol, 'Duda Kesepian'? Sejak Tinneke pergi setahun yang lalu.
"Tidak juga."
"Boleh aku main ke rumahmu?" Dia menyunggingkan senyum manis yang menawan, merapikan rok hitam sedikit di atas dengkul. Kaki yang ramping panjang dengan kuku dicat oranye.
***
Jadi, sebagai kurator dan pelindung masyarakat seni di wilayahku, aku menunjukkan kepadanya galerku yang menampung sejumlah karya terbaik warga kota.
Dia menelusuri kukunya di atas pemandangan laut yang murung yang dieksekusi dengan cat minyak.
"Hati-hati! Itu lukisan mahal!"
"Ini dilukis oleh buyutku Mahmudi. Dia tinggal di Cilacap."
"Betulkah?"
Mahmudi Syarif memang tinggal di Cilacap dan lukisan itu ditandatangani oleh 'MS'.
"Kebetulan saja."
Kemudian perpustakaan. Ribuan buku dari lantai ke langit-langit yang tinggi tempat cahaya masuk melalui jendela kecil dengan ikon kaca di sisi kubah yang dicat putih.
"Aku pernah menulis buku," katanya.
"Betulkah? Tentang apa?"
"Tujuh Aturan Dunia Gaib ... Â seharusnya tentang humor."
"Berapa banyak yang terjual?"
"Satu. Yang beli suamiku."
"Oh ...."
"Sebenarnya, kamu kenal dia."
"Oh ya?"
"Tommy Prabu. Kalian pernah main bowling bareng di Siliwangi."
Yah ... aku memang mengenal Tom, lelaki sekitar tiga puluh tahun yang rfamah, tetapi kami biasanya bermain untuk tim yang berbeda. Lalu suatu hari dia menghilang. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi dan rumahnya terlihat terlantar. Aku belum pernah mendengar dia menyebut seorang istri.
***
Tapi semua itu adalah masa lalu. Indila pergi dengan tiba-tiba seperti saat dia pindah ke rumahku, membawa kucing Siamnya yang garang, Hiwal, bersamanya. Jujur aku sama sekali tak merasa kehilangan dia---Hiwal, maksudku. Tapi Indila?
Dia tidak selamanya buruk. Kami pernah bersenang-senang bersama. Dia adalah sumber pengetahuan yang aneh dan tidak relevan dan sering mengunjungi galeri dan museum yang aneh. Jenis yang tersembunyi di gang-gang kuno berhantu dan sepertinya hampir tidak pernah terbuka untuk umum.
Jariku melayang di atas nomornya di panggilan cepatku. Rasanya tidak ada salahnya untuk meneleponnya sesekali. Hanya untuk melihat bagaimana keadaannya, tidak lebih.
Aku baru saja menyentuh nomornya ketika mendadak bel pintu berbunyi. Rasanya aku mendengar kucing mengeong. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat dan aku tersenyum.
Kebetulan atau kutukan takdir?
Bandung, 6 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H