Alya mencoba meredam gemetarnya saat berdiri di jendela rumah pohon, menyeimbangkan balon air hijau bulat di ujung spatula. Dari bawah, terdengar gelak tawa parau rombongan bocah laki-laki.
"Mereka datang!" bisik Enin.
Alya meletakkan ujung jari tangannya yang bebas di ujung spatula seperti yang ditunjukkan Upi padanya. Butir-butir keringat menghias dahinya saat dia bersiap untuk menembak. Dia menelan ludah dengan susah payah.
Tiga anak laki-laki muncul, melompat-lompat seperti monyet. Dengan kedutan pergelangan tangannya, dia menjentikkan spatula ke atas dan ke depan, melontarkan balon. Benda itu meluncur dalam lintasan parabola di udara musim kemarau yang lembap dan mendarat tepat di ubun-ubun Arman.
Upi dan Enin tertawa terbahak-bahak.
"Tembakan jitu!" kata Upi.
Alya merunduk di bawah jendela dan merasakan otot-ototnya mengendur saat dia duduk di lantai papan dan ikut tertawa bersama anak-anak lain. Secara resmi dia sudah diterima menjadi anggota geng.
***
Beberapa menit sesudahnya, Arman yang basah tapi terbakar amarah, mondar-mandir di halaman belakang rumahnya. Pendi dan Ucup duduk di tangga teras, tidak dapat menahan tawa mereka yang semakin memicu kemarahan Arman.
"Aku muak dengan mereka! Kita harus membalas dendam!"