Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nama yang Menolak Mati

20 Januari 2022   19:35 Diperbarui: 20 Januari 2022   19:46 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mikael Danuarta sudah mati, tetapi namanya masih hidup.

Kayla menutup pintu apartemennya, menguncinya, dan menarik napas panjang dalam keheningan studio yang gelap. Dia menyelinap keluar dari sepatu hak tingginya dan menyimpannya di rak, melepaskan jaketnya dan menggantungnya di dinding dengan tangan gemetar.

Lampu menyala, apartemennya bersih dan nyaman.

Satu tahun yang lalu, sebelum hormon dan elektrolisis, sebelum nama dan jenis kelamin berubah, sebelum dia melepaskan semua hal-hal yang berhubungan dengan dirinya yang lama, tempat itu sangat berbeda: berantakan, apak. Habitat sesuatu yang tidak sepenuhnya manusiawi.

Dia belum merasa menjadi manusia saat itu. Dia merasa aneh, seolah-olah dia terperangkap dalam labirin kulit, yang membuatnya ingin menjadi ular yang bisa berganti kulit dengan pola menggeliat yang sangat rumit.

Seharusnya aku juga pindah dari sini, pikirnya. Harus. Harus pindah.

Alamatnya adalah satu-satunya tanda dari kehidupan sebelumnya yang masih tertinggal.

Yah, masih ada waktu untuk itu. Tapi untuk saat ini, tidak ada jejak dari dirinya yang  lama di tempat itu yang tersisa.

"Mika?"

Suara Dodi. Dodi Sofyan dalam kehidupan sebelumnya, badut SMA yang penuh jerawat, pemain bass drum di marching band SMA.

"Mikael Danuarta?"

Kayla tersenyum erat ke sorot lampu senter. "Hai, Dod." Kemudian menambahkan, "Atau haruskah saya memanggil Anda Briptu Dodi Sofyan?" berharap si polisi akan menerima petunjuk itu.

Dia menyalakan stereo mobil dan memutar "Body was Made" dari Ezra Furman. Musik adalah salep kulit yang gatal.

Briptu Dodi tidak menerima petunjuk itu. Lampu belakang mobil Kayla mati, itulah sebabnya dia diberhentikan. Kayla baru saja menghabiskan dua gelas martini---tiga jika dihitung yang tumpah---di Venue dengan teman kencan yang baru dikenalnya lewat Tinder yang membuat gerakan berlebihan sehingga gelas martininya tersenggol dan jatuh.

Tapi Briptu Dodi lebih tertarik untuk memastikan bahwa dia adalah teman sekelasnya di SMA dulu daripada rasa nyaman Kayla. Mungkin sudah mendengar desas-desus. Tidak apa-apa, pikirnya. Namun sepanjang pertemuan itu "Mika" disebut lagi dan lagi.

Berkali-kali dia merasakan asam lambungnya bergejolak. Bukan karena kemarahan pada (Briptu) Dodi, tetapi perasaannya selama tiga puluh tahun terakhir hidupnya, sebelum Mika dikuburkan. Perasaan lengket seakan tubuhnya berlapis lendir yang kental.

"Mikael Danuarta?"

Saat dia menjerang air, dia masih bisa mendengar nada tidak percaya. Bisa melihat hujan menetes dari tepi topi seragam Dodi, berkilau kebiruan disorot lampu strobo.

Proses pembuatan tehnya tidak semulus dalam keadaan normal. Dia pergi ke lemari beberapa kali, berubah pikiran tentang cangkir, memutuskan untuk menambahkan susu dan kemudian membatalkan niat tersebut. Ketel bersiul.

"Mikael Danuarta."

Bukan pertanyaan lagi.

Lampu strobo padam.

Dia menuangkan air yang mengepul ke atas kantong teh, cangkir mug di meja menguarkan uap. Cangkir yang sumbing. Keramiknya pudar, suvenir dari perjalanan ke Bali yang dia bawa bersama mantan pacarnya sepuluh tahun lalu. Dalam upaya menghapus jejak masa silam, Kayla telah menyumbangkan atau membuang hampir semua hal dari kehidupan Mikael.

Termasuk cangkir mug ini.

Dan yang lainnya....

Dia membawa cangkir mug berisi teh ke ruang tamu, lalu berhenti di ambang pintu.

Di sini, masih tersisa hidupnya, kulit buangan yang tumbuh.

Sofa kulit imitasi menonjol keluar dari lapis berwarna krem di kursi empuknya. Cat merah menembus dinding abu-abu. Kaca meja kopinya dikawinkan dengan kayu mahoni cokelat tua milik Mikael Danuarta, menciptakan makhluk kayu tembus pandang yang aneh. Bola lampu lantai berkedip-kedip di antara kap lampu perunggu ke LCD yang biasa dibeli Mikael.

Semuanya masih sama. Derasnya hujan, deru lalu lintas dari jalan layang yang jauh, detak jam dinding analog yang dia beli beberapa tahun lalu.

Duduk di sofa, yang tumbuh adalah cangkang kulit kosong mengenakan celana jins dan kemeja berkerah--- seragam pramuniaga di gerai elektronik mal Senayan. Mulut dan matanya adalah lubang hitam yang menganga.

"Silakan duduk," kata cangkang Mikael. "Kita harus bicara."

Kayla terhuyung-huyung nyaris jatuh tertelungkup, seolah-olah lantai miring di bawahnya.

Seseorang telah membubuhi martiniku dengan obat bius, pikirnya.

"Minumlah, Mikayla."

Benda itu menggerakkan lengannya untuk melakukan pantomim aksi minum, dan tubuh Kayla seperti wayang yang digerakkan dalang hanya bisa patuh, menumpahkan sedikit ke gaunnya. Membakar bibir dan lidahnya.

"A-apa yang harus kita bicarakan?"

"Aku kembali. Tak perlu dibicarakan." Bibir cangkang kulit yang tidak pernah bergerak, mata tidak pernah berkedip. Suara itu bergema dari suatu tempat jauh di dalam.

"Tolonglah, Mika. Kamu harus pergi."

"Kamu tidak punya hak untuk membuangku seperti yang kau lakukan."

"Tapi-tapi ... kita orang yang sama."

"Namun kamu tetap bisa hidup tanpaku. Tidak, Kayla. Aku membutuhkan darah, tulang, dan jeroan, dan kita berdua tahu hanya satu orang di dunia ini yang pantas mendapatkannya---bahkan jika kita tidak bisa sepakat tentang... semuanya. Jadi minumlah."

Kembali dalang dari dalam menggerakkan tangan Kayla untuk menyesap teh panas.

Cangkir mug bagai hidup di tangannya, secangkir chamomile raksasa.

"Kurasa sudah cukup," bisik Kayla. Mug menjadi terlalu berat untuk dipegangnya, dan dia menjatuhkannya ke lantai, saat dia menyusut ke dalam lipatan gaunnya.

Dia berjuang untuk memanjat, bebas dari kerutan halus biru berkilauan yang tak berujung. Panik, yakin dia akan tenggelam di sini, di samudra kain, dia tiba-tiba terangkat bebas ke ruang tamu yang telah menjadi alam semesta yang sangat luas, sepenuhnya milik Mikael Danuarta.

Setiap milimeter Kayla dikonsumsi untuk menumbuh-ulangkan Mikael.

"Aku hanya harus terus hidup," kata cangkang Mikael menggantung tubuh mungil Kayla ke lubang mulut hitam yang menganga. "Aku dan kamu sebenarnya tidak ada masalah. Ini murni naluri bertahan."

Aku sudah gila, pikir Kayla, jatuh dalam kegelapan.

Aku bukan diriku lagi.

Bukan diriku.

Bandung, 20 Januari 2022

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun