Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nama yang Menolak Mati

20 Januari 2022   19:35 Diperbarui: 20 Januari 2022   19:46 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lampu strobo padam.

Dia menuangkan air yang mengepul ke atas kantong teh, cangkir mug di meja menguarkan uap. Cangkir yang sumbing. Keramiknya pudar, suvenir dari perjalanan ke Bali yang dia bawa bersama mantan pacarnya sepuluh tahun lalu. Dalam upaya menghapus jejak masa silam, Kayla telah menyumbangkan atau membuang hampir semua hal dari kehidupan Mikael.

Termasuk cangkir mug ini.

Dan yang lainnya....

Dia membawa cangkir mug berisi teh ke ruang tamu, lalu berhenti di ambang pintu.

Di sini, masih tersisa hidupnya, kulit buangan yang tumbuh.

Sofa kulit imitasi menonjol keluar dari lapis berwarna krem di kursi empuknya. Cat merah menembus dinding abu-abu. Kaca meja kopinya dikawinkan dengan kayu mahoni cokelat tua milik Mikael Danuarta, menciptakan makhluk kayu tembus pandang yang aneh. Bola lampu lantai berkedip-kedip di antara kap lampu perunggu ke LCD yang biasa dibeli Mikael.

Semuanya masih sama. Derasnya hujan, deru lalu lintas dari jalan layang yang jauh, detak jam dinding analog yang dia beli beberapa tahun lalu.

Duduk di sofa, yang tumbuh adalah cangkang kulit kosong mengenakan celana jins dan kemeja berkerah--- seragam pramuniaga di gerai elektronik mal Senayan. Mulut dan matanya adalah lubang hitam yang menganga.

"Silakan duduk," kata cangkang Mikael. "Kita harus bicara."

Kayla terhuyung-huyung nyaris jatuh tertelungkup, seolah-olah lantai miring di bawahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun