Dia mulai menghindari sentuhanku dan menjauh jika aku berani menyentuhnya di tempat tidur. Kami seperti dua orang yang tak saling kenal.
Aku tak tahu berapa lama keadaan seperti ini bisa bertahan. Mungkin selamanya.
Seperti yang kukatakan, aku sangat mencintainya. Dan meskipun aku tidak bisa mengatakan bahwa aku bahagia, aku tetap tidak bisa mematikan perasaanku. Kami baru saja terjebak ke dalam cara hidup yang baru, meskipun 'tidak hidup' mungkin lebih tepat. Sebuah kenyataan baru telah menimpa kami seperti lahar Vesuvius menutupi mayat, dan kami menerimanya.
Kami kini adalah pemimpi yang berjalan dalam tidur, zombie yang tak lagi memikirkan tentang kehidupan. Ditakdirkan untuk menjalani siklus kerja, tidur, kerja, tidur, yang tak ada habisnya.
Aku masih ingat pagi ketika perubahan itu datang.
Aku masih tidur terlentang, beberapa menit sebelum alarm berbunyi, ketika aku mendengarnya menangis di kamar mandi. Aku melompat dari tempat tidur dan menemukannya duduk di toilet dengan air mata mengalir di pipi.
Aku panik, bahkan putus asa, ketika aku mencoba mencari tahu apa yang salah.
Kemudian aku sadar bahwa dia bukan menangis.
Karin sedang tertawa. Mata merahnya berseri-seri saat air mata mengalir.
"Dia di sini," katanya sambil mengelus perutnya yang kurus langsing seperti sebelum hamil.
"Siapa?"