"Yah, kurasa dia tahu." Maryam terdiam sejenak. "Dia tidak terlalu peduli apakah tetangga kami menyukai kami atau tidak. Aku percaya kami perlu menunjukkan kepada para tetangga bahwa tidak semua yang berpakaian sesuai syariat adalah teroris. Aku justru percaya bahwa kami muslim adalah korbannya. Aku tidak tahu mengapa mereka---"
Dia berhenti karena Mike tertawa. Maryam bahkan bisa melihat jakunnya yang menonjol naik turun saat dia tertawa terbahak-bahak.
"Aku serius Mike. Berhentilah tertawa, kamu tidak tahu bagaimana rasanya tinggal di sini."
"Maafkan aku." Tawa Mike berubah menjadi senyum. "Kalian tidak terlihat seperti teroris. Aku ingin tahu apa yang akan mereka lakukan ketika mereka melihat tato dan antingku. Mungkin aku harus datang dengan kepala terbungkus sorban dengan janggutku..." Dia mulai tertawa lagi. Kepalanya sedikit tertekuk saat dia menatap ponsel di tangannya.
"Jangan coba-coba Mike, atau aku yang akan memanggil polisi untuk menangkapmu. Sudah lima tahun kami menikah dan aku seharusnya terbiasa dengan tatapan sinis dari orang-orang, tetapi ... setiap ada berita tentang terorisme, kami semua harus menderita karenanya. Ini sangat tidak adil. Bagaimana jika Aisyah tumbuh dewasa---"
Maryam berhenti bicara ketika dia menyadari bahwa Mike tidak lagi memperhatikannya. Sebaliknya, mata dan mulutnya terbuka lebar karena terkejut.
"Mike! Ada apa? Kamu baik-baik saja?"
Mike menatapnya khawatir. "Kamu bilang Hafiz belanja---ke mana?"
"Ya, toserba dekat rumah. Ada apa?"
"Ya Tuhan!" seru Mike, seorang atheis, dengan bibir gemetar.
"Ada apa, Mike?" suara Maryam nyaris berbisik, tapi menuntut lebih banyak.