Itu dia wanita lainku.
Aku berdiri membeku.
"Gun!" katanya dengan suara yang begitu memikat, melambai, tersenyum.
Datangi dia, Hans.
Tenggorokanku rasanya tersumbat. Aku berhasil menelan ludah, lalu maju selangkah.
Tunggu. Lagu yang dimainkan perempuan paruh baya itu.
Always.
"Lagu kita," bisikku. "Lagu di resepsi pernikahan kita."
Sebuah tanda. Pasti sebuah tanda. Dan bukan hanya bisikan, tapi teriakan. Berteriak. Berteriak menggedor gendang telingaku, "Pulanglah, Hans!"
Aku tidak bisa.
Kendalikan pikiranmu, Hans. Tutup telinga batinmu dari suara-suara itu.