Ayah menangkapnya, mencengkeram lehernya. Sebagai seorang mantan atlet bela diri, refleksnya masih bagus. Dia melihat apa yang dia pegang, lalu kembali menatapku. Matanya dingin, hitam seperti mataku. Hitam seperti makhluk yang dipegangnya erat-erat. Tiba-tiba, ayah menariknya.
Aku ingin menyuruhnya berhenti. Aku ingin memberitahunya bahwa rasanya sakit sekali. Bahwa aku bisa merasakan tangannya seperti mencekik leherku. Aku tersedak.
"Ini untuk kebaikanmu sendiri," kata ayah. Kulihat air matanya mengalir deras.
Dia terus menarik. sosok panjang itu perlahan-lahan memperlihatkan tubuhnya secara utuh, tercerabut dari empedu dan saluran darahku.
"Kenapa kamu tidak bisa menjaga diri?" Ayah bertanya. "Mengapa kamu harus membiarkan makhluk ini di dalam dirimu? Mengapa kamu tidak memberitahu Ayah?"
Dia terus menarik.
Ketika akhirnya dia berhasil memaksa makhluk itu meluncur keluar dari mulutku, kami melihat gumpalan sisik dan daging berwarna hitam berminyak di kaki kami.
"Aku akan mati jika dia mati," kataku. AKu tidak tahu mengapa aku berkata begitu.
"Ayah tidak bisa mengembalikan itu padamu," kata ayah. "Kami tidak bisa tinggal bersamamu, kalau dia ada dalam tubuhmu."
Kemudian dengan satu gerakan cepat dia meremukkan tengkorak dengan sol sepatu botnya.
Aku mengambil tubuh makhluk yang tak bergerak itu dan berjalan menjauh dari ayah, menjauh dari mobil kami, ke lahan kosong di seberang jalan minimarket. Rumput ilalang panjang menyayat kakiku.