***
Semakin hari, makhluk itu menjadi semakin rakus. Kadang-kadang, ketika aku sendirian di malam hari, dia akan merayap cukup jauh untuk memutar kepalanya dan menatapku. Aku tersedak karena otot-ototnya yang berat dan gerakannya. Tatapannya seperti mencelaku.
Kami sama-sama menderita. Dia menyebabkan luka di saluran kerongkonganku karena sisiknya yang tajam dan kadang-kadang, ketika meludah, keluar lendir bercampur darah berbau busuk.
Aku terus-terusan kelaparan.
Orang tuaku mulai menyuruhku berdiet. "demi kebaikanmu sendiri," kata ayah.
Mereka mencoba segalanya---keto, mayo, mentah, bahkan dalam bentuk cair. Rambutku semakin tipis.
Ketika umurku enam belas tahun dan Rosa delapan belas tahun, dia pindah indekos dekat tempat sekolah kecantikannya. Dia tinggal bersama seorang gadis kurus dengan rambut warna-warni.
Aku menggunakan mobil kecil ibu untuk menyelinap keluar minimarket dan membeli camilan manis dan cokelat dengan uang yang kucuri dari dompet ibu, keringatku membasahi jok kulit, mendengarkan musik selama berjam-jam sampai demam yang disebabkan kekurangan gula menghilang. Lalu pulang ke rumah dalam keadaan setengah sadar, makhluk itu kekenyangan di dalamku, diam tak bergerak.
Suatu malam, ayah membuntutiku ke minimarket dan melihatku sedang makan.
Aku juga melihatnya, di bawah cahaya lampu terang neon box. Rahasiaku terbongkar sudah, tetapi aku tak mampu menahan diri.
Ketika akhirnya ayah keluar dari mobilnya, wajahnya merah padam. Dia berteriak, tetapi karena darahku yang tak stabil mengganggu pendengaranku, aku tak mengerti kata-katanya. Ketika aku membuka mulut untuk menjawab, makhluk itu melesat keluar.