Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah dalam Rumah

27 Juli 2021   18:32 Diperbarui: 27 Juli 2021   18:44 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usiaku tujuh tahun dan Rosa sembilan saat pertama kali kami melihatnya.

Kami sedang bermain dokter-dokteran, dan Rosa yang berperan sebagai dokter. Tentu saja aku sebagai pasiennya.

Dia menyorotkan senter ke tenggorokanku, ketika melihat sekilas sebuah kepala hitam licin. Dia memaksakan membuka rahangku tanpa memberitahuku alasannya dan mencoba memasukkan jari-jarinya yang gemuk ke tenggorokanku. Dia mengatakan makhluk itu pterlepas dari tangannya sebelum dia berhasil membawanya melewati gigiku.

Kami tidak memberi tahu ayah. Dia dan ibu sedang bertengkar di ruang keluarga. Teriakannya menggetarkan rumah, piring pecah berdenting seperti lonceng angin di beranda.

Kami juga tidak memberi tahu ibu. Tangannya selalu gemetar.

Rosa bilang aku akan baik-baik saja dan aku memercayainya. Kadang-kadang, aku merasakan makhluk itu bergerak di dalam diriku, terutama di malam hari. Aku menyelinap ke kamar Rosa dan meringkuk di tempat tidurnya di bawah pendar cahaya lampu lima watt di langit-langitnya.

Seiring bertambahnya usia, peraturan rumah bertambah banyak. Pulang jam tujuh, harus memakai gaun ke gereja, jangan menceritakan tentang masalah keluarga ke orang lain, jangan makan terlalu banyak karena akan membuat sakit, dan sebagainya.

Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan kepada ayah dan ibu bahwa makhluk itu juga butuh makan. Rosa menyelundupkan sisa makanan untukku, membawakanku sekantong keripik atau cokelat yang dia sembunyikan di bawah kaus baju kaos yang kedodoran yang menurut ayah tidak cukup feminin.

Tubuhku berubah. Payudara dan pinggul membesar. Makhluk itu juga tumbuh.

Rosa memeriksanya sesekali, melaporkan kemajuan tentang berapa tebalnya, matanya yang sehat dan jumlah giginya. Dia akan membawa senter ke kamarku dengan buku stiker. Kami akan duduk bersama setelah dia selesai dengan pemeriksaannya. Dia akan melemparkan beberapa permen yang dicurinya dari minimarket dan aku akan membuka mulutku. Makhluk itu akan muncul dan mencoba menangkapnya. Kami bertepuk tangan jika dia berhasil.

***

Semakin hari, makhluk itu menjadi semakin rakus. Kadang-kadang, ketika aku sendirian di malam hari, dia akan merayap cukup jauh untuk memutar kepalanya dan menatapku. Aku tersedak karena otot-ototnya yang berat dan gerakannya. Tatapannya seperti mencelaku.

Kami sama-sama menderita. Dia menyebabkan luka di saluran kerongkonganku karena sisiknya yang tajam dan kadang-kadang, ketika meludah, keluar lendir bercampur darah berbau busuk.

Aku terus-terusan kelaparan.

Orang tuaku mulai menyuruhku berdiet. "demi kebaikanmu sendiri," kata ayah.

Mereka mencoba segalanya---keto, mayo, mentah, bahkan dalam bentuk cair. Rambutku semakin tipis.

Ketika umurku enam belas tahun dan Rosa delapan belas tahun, dia pindah indekos dekat tempat sekolah kecantikannya. Dia tinggal bersama seorang gadis kurus dengan rambut warna-warni.

Aku menggunakan mobil kecil ibu untuk menyelinap keluar minimarket dan membeli camilan manis dan cokelat dengan uang yang kucuri dari dompet ibu, keringatku membasahi jok kulit, mendengarkan musik selama berjam-jam sampai demam yang disebabkan kekurangan gula menghilang. Lalu pulang ke rumah dalam keadaan setengah sadar, makhluk itu kekenyangan di dalamku, diam tak bergerak.

Suatu malam, ayah membuntutiku ke minimarket dan melihatku sedang makan.

Aku juga melihatnya, di bawah cahaya lampu terang neon box. Rahasiaku terbongkar sudah, tetapi aku tak mampu menahan diri.

Ketika akhirnya ayah keluar dari mobilnya, wajahnya merah padam. Dia berteriak, tetapi karena darahku yang tak stabil mengganggu pendengaranku, aku tak mengerti kata-katanya. Ketika aku membuka mulut untuk menjawab, makhluk itu melesat keluar.

Ayah menangkapnya, mencengkeram lehernya. Sebagai seorang mantan atlet bela diri, refleksnya masih bagus. Dia melihat apa yang dia pegang, lalu kembali menatapku. Matanya dingin, hitam seperti mataku. Hitam seperti makhluk yang dipegangnya erat-erat. Tiba-tiba, ayah menariknya.

Aku ingin menyuruhnya berhenti. Aku ingin memberitahunya bahwa rasanya sakit sekali. Bahwa aku bisa merasakan tangannya seperti mencekik leherku. Aku tersedak.

"Ini untuk kebaikanmu sendiri," kata ayah. Kulihat air matanya mengalir deras.

Dia terus menarik. sosok panjang itu perlahan-lahan memperlihatkan tubuhnya secara utuh, tercerabut dari empedu dan saluran darahku.

"Kenapa kamu tidak bisa menjaga diri?" Ayah bertanya. "Mengapa kamu harus membiarkan makhluk ini di dalam dirimu? Mengapa kamu tidak memberitahu Ayah?"

Dia terus menarik.

Ketika akhirnya dia berhasil memaksa makhluk itu meluncur keluar dari mulutku, kami melihat gumpalan sisik dan daging berwarna hitam berminyak di kaki kami.

"Aku akan mati jika dia mati," kataku. AKu tidak tahu mengapa aku berkata begitu.

"Ayah tidak bisa mengembalikan itu padamu," kata ayah. "Kami tidak bisa tinggal bersamamu, kalau dia ada dalam tubuhmu."

Kemudian dengan satu gerakan cepat dia meremukkan tengkorak dengan sol sepatu botnya.

Aku mengambil tubuh makhluk yang tak bergerak itu dan berjalan menjauh dari ayah, menjauh dari mobil kami, ke lahan kosong di seberang jalan minimarket. Rumput ilalang panjang menyayat kakiku.

Aku tidak tahu apakah aku harus menguburnya. Saat itulah aku melihat tubuhnya lebih berat di tengah, ada sesuatu yang bulat padat di dalamnya.

Aku menggigitnya hingga terbuka, karena gigiku satu-satunya alat pemotong yang kumiliki, dan menemukan sebutir telur seukuran kepalan tangan.

Aku memasukkannya ke dalam mulutku. Terasa telur itu berdenyut, iramanya serupa dengan detak jantungku. Cerminan diriku sendiri.

Aku menelannya. Setengah tersedak saat benda itu turun ke tenggorokanku, rasanya nyaris enak. Aku bisa mengendalikannya.

Ketika usiaku delapan belas tahun, aku pindah ke tempat Rosa. Saya sedang belajar bahasa isyarat untuk mengistirahatkan tenggorokanku.

Di dalam tubuhku, seutas tali hitam kecil melilit dan bergulung dengan sendirinya, seperti sebuah rahasia, menunggu untuk tumbuh.

Bandung, 27 Juli 2021

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun