Sebuah teriakan kencang datang dari balik pintu tertutup. Resi Bagau meringis mendengar suara itu dan Olivinna membuka matanya.
"Rumbun di mana?" tanya Resi.
Ayah Rumbun, Oboi, mengangguk ke arah pintu yang tertutup. Senyum keriputnya melengkung ke bawah.
"Bersama Mawinei," katanya keras. Bungeh mengernyitkan dahinya, dan berbisik. "Masalah ini."
Wajah Resi menjadi bulat saat dia tersenyum. "Ayolah Oboi, ini seharusnya menjadi kesempatan yang membahagiakan. Dokter Sinna bersama mereka, bukan?"
"Tadi dua jam yang lalu," kata Oboi. "Tapi dia nda bilang laki-laki atau perempuan. Belum waktunya, katanya."
"Aku harap adik bayi perempuan!" seru Sindai. Jenta tertawa seperti ayam betina dikerjar jago, dan mencondongkan tubuh ke depan bangku dari kayu ulin. Rambutnya yang hitam ikal panjang jatuh di dahi Sindai saat dia melingkarkan lengan di bahu putrinya dan mencium pipinya.
"Kita semua berharap dia perempuan, sayang," Jenta tersenyum, "dan bukan karena supaya kamu, Manyang dan Hanjak bisa berbagi hadiah."
"Sayang sekali Purok tidak bisa berada di sini," kata Olivinna saat laba-laba mendarat di rambutnya, "tapi kawu tarawang terlalu banyak, sesak napasnya. Dua bulan lagi dia mungkin akan berebut hadiah dengan saudara perempuannya sendiri." Dia menepuk perutnya perlahan saat Jenta mendecakkan lidahnya dengan simpatik, dan Resi Bagau tersipu-sipu.
Olivinna memejamkan mata dan dengan santai menjentikkan laba-laba di kepalanya ke lantai.
"Aku tahu bayinya perempuan," kata Bungeh sebelum mengalihkan pandangannya ke Oboi. Wajahnya kurus dan muram, dibingkai rambut cokelat dan putih kusam, disanggul ke belakang kepala.