Dan meskipun hari Jumat sore, Sindai mengenakan gaun peri bersayap favoritnya, dan berbaring di pangkuan ibunya. Gadis peri itu tak lagi gelisah dan memasukkan ibu jarinya ke dalam mulut.
Oboi mengedipkan mata pada Jenta dan tersenyum. Kerutan ramah muncul di sudut bibir dan matanya.
"Jaga bahasamu di depan anak itu," bisik Bungeh.
Beberapa saat kemudian, suara pasir yang diseka ke lantai terdengar dari balik tirai. Tangan yang lapuk dan kecokelatan mencengkeram tirai dan menarik ujungnya. Senyum Resi Bagau melayang dari kegelapan sebelum wajahnya yang retak, bulat, dan terbakar matahari mengikuti. Resi adalah damung mereka.
"Nama berita de?" kata Resi sambil berjalan hati-hati menerobos tirai hitam dengan kotak berbungkus putih. Ujung-ujungnya sedikit terkelupas, dan debu yang dibawa angin telah mencokelatkan sisi terjauh dari perut Resi yang gendut.
Sindai segera duduk ketika melihat kado di tangan lelaki tua itu. Sebelum dia mulai merengek, Jenta membungkuk ke depan dan menyuruhnya diam.
"Sayang, kamu tahu itu kado untuk adik bayi."
Bibir Sindai mengerucut cemberut.
"Kalau adik bayinya laki-laki," potong si bocah peri sambil memasukkan ibu jarinya kembali ke mulut.
Sesaat kemudian dia melihat seekor laba-laba turun ke dahi Olivinna Bagau. Olivinna hanya terusik sejenak dengan mata terpejam, di kursi goyang yang diterima Bungeh pada ulang tahun pernikahannya yang kedua puluh lima. Olivinna sedang hamil enam bulan dan cenderung tidur siang mendadak.
Jenta melihat sekeliling dengan seringai miring. Bungeh membuat suara berdecak dan kemudian menoleh ke arah kamar tidur.