Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Angin Padang Pasir

21 Juni 2019   15:01 Diperbarui: 23 Juni 2019   01:27 1544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia mengintip dari balik kap mesin mobil jip - senyumannya selebar kawah Bromo - sangat gembira berada di luar hiruk pikuk kota metropolitan.

Dia adalah mawar di gurun pasir, gaun sutra musim yang dihembus oleh angin lembah Dieng yang liar - bertunas serupa kantil putih yang bergoyang oleh semilir angin sepoi-sepoi - bagai baling-baling kapal yang terdampar di terumbu karang.

"Mari kita tinggal di sini selamanya," katanya.

"Di tengah padang pasir?"

"Kenapa tidak? Kamu ingat gambar kincir angin di pedesaan di Eropah? Kita bisa membangun kincir angin sebagai rumah di sini."

"Oh ya, dan kemudian kita akan menjadi atraksi wisatawan pengganti kuda tunggangan."

Dia mengetuk-ngetuk tongkat swafoto, menatapnya tak serius.

"Lihatlah langit itu."

Matahari serupa gambar bocah di atas pasir. Jejak roda tegak lurus menuju cakrawala. Udara memuai membentuk ular fatamorgana di udara.

"Panas."

"Megah."

"Panas."

"Luar biasa."

"Pembawa sial."

Dia melengos dan berkacak pinggang. Seringai bibirnya mengkhianati kata-kata. Otot-otot pipinya berkedut. Dia berbalik membelakangi pria itu, menarik tangannya melingkari pinggangnya.

"Menurutku kita takkan diizinkan membangun kincir angin di sini, kecuali jika kita ingin menanam kincir modern pembangkit listrik, " kata pria itu. "Menurutmu?"

Diam. Mereka merenung dalam keheningan.

"Politisi sialan," kata pria itu.

Dia bisa merasakan tulang rusuknya bergetar saat perempuan di pelukan terkikik.

"Kota besar adalah mimpi buruk." Dia mengerang.

Pria itu membungkukkan kepalanya untuk mencium rambutnya.

"Semuanya sudah berakhir," kata pria itu.

"Keluarga," jawab sang perempuan. "Keluarga tidak pernah berakhir."

Pria itu memutar bola matanya.

"Bisa saja kalau kamu sungguh-sungguh menginginkannya."

"Tolong jangan memulai lagi. Kamu sudah berjanji."

"Kamu benar. Maaf."

Pria itu mencium ubun-ubunnya. Sekali. Kemudian sekali lagi.

"Kita bisa membangun rumah di sini," katanya, "kalau kamu mau."

"Sungguh?"

"Tentu. Aku bisa menebang beberapa batang pohon dari tepi jalan raya, kita bisa membuat pondok."

"Seperti film koboi."

"Betul," sahut pria itu, "seperti di Afrika."

"Mungkin kita akan berternak kambing. Setiap malam membuat suara yang aneh, kincir angin raksasa dari plastik."

"Menikmati apa yang alam berikan pada kita," kata pria itu.

Dia bisa merasakan tubuh perempuan itu bergetar dengan lembut.

"Maksudku, di mana kita sebenarnya setelah semuanya berakhir?"

"Kita akan pulang," katanya.

"Kamu tahu bukan itu maksudku."

Pria itu melepaskan pelukannya dan berbalik, menjauh beberapa langkah. Tangannya menempel di dahi.

"Apakah kita harus melakukan ini?" dia bertanya. "Apakah kita selalu harus datang ke sini?"

"Gurun pasir?"

Dia mencoba untuk menjawab, tapi tenggorokannya bagaikan berpasir. Maka dia diam saja. Matanya menatap garis kabur antara bumi dan langit.

"Aku bersumpah," pria itu akhirnya bersuara, "setiap kali kita mendekati kota, aku membayangkan ada tanda di batas kota yang bertuliskan Tetap Tersenyum atau Tengkorakmu akan Meledak. "

Dia tertawa kecil, tawa renyah yang merdu. Pria itu merasa senang ketika mendengarnya tertawa.

"Aaah!" dia berteriak, "Aaaah! Padang pasir akhirnya bisa membuatku meledak."

Pria itu berbalik dan melihat bahwa dia berputar-putar, lengannya terbentang, wajahnya menantang langit. Pria itu memperhatikannya berputar dan berputar, semakin cepat dan takjub karena dia tak kehilangan keseimbangan

"Dan kemudian secuil dirimu terbawa angin padang pasir," kata pria itu.

Dia berhenti berputar dan perlahan memiringkan wajahnya untuk menatap pria itu. Seringainya selebar kawah Gunung Bromo.

"Lalu," katanya lirih, "sepotong kecilku terbawa angin padang pasir."

TAMAT

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun