Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lampu Tidur

13 Juni 2019   14:06 Diperbarui: 14 Juni 2019   15:03 2054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kirana Cahyarani tidak pernah tidur tanpa lampu malamnya yang dinamai Zarpa, jerapah berleher panjang kuning yang imut.

Suatu pagi dia terbangun tanpa Zarpa di atas meja rias di sisi ranjang. Kirana melemparkan selimut tebalnya, melompat ke lantai berkarpet dan berlari ke dapur menemukan suaminya, Giring, duduk bersandar di kursi memegang cangkir kopi.

"Sayang, di mana Zarpa?" Kirana bertanya. Napasnya terengah-engah.

"Maksudmu lampu tidurmu itu? Sayang, umurmu sudah 30 tahun. Kamu tidak butuh benda kekanak-kanakan itu lagi."

"Apa yang kamu lakukan?" Kirana merengut dengan butiran keringat menguraikan garis rambutnya yang hitam bersemu merah. Kebingungan, dia mondar-mandir di lantai dapur dengan tangan bersilang di dada.

"Aku menitipkannya ke tetangga depan yang sedang mengadakan garage sale," jawabnya sambil memasukkan roti sisir ukuran besar ke dalam mulutnya.

"Zarpa selama ini yang telah melindungi kita!"

"Dari apa?" tanya Giring dengan mulut penuh. "Aku lebih kuat dari lampu malam," sambungnya sambil memamerkan otot-otot lengannya.

***

Kirana menyambar gawainya, membuka pintu depan, berlari dengan masih mengenakan daster batik menyeberang jalan menuju halaman tetangganya yang sedang mengadakan garage sale.

Dia mencari-cari di semua meja.

Tidak ada.

Kirana merasakan bulu kuduknya berdiri tegak.

Bu Darmi yang berusia 78 tahun, pensiunan guru SMP dan tetangga paling ramah di komplek itu, bertanya, "Kirana Sayang, apa yang kamu cari?"

"Maaf," Kirana mengeluarkan gawainya dari saku daster. Dia membuka album foto dan menunjukkan sebuah gambar. "Apakah ibu ingat siapa yang membeli lampu yang serupa dengan gambar ini?"

Jerapah berleher panjang berwarna kuning dari akrilik dengan lampu di perut dan dagunya muncul di layar gawainya yang berpendar lemah di bawah mentari pagi.

"Oh ya. Tadi ada seorang pria ganteng yang membeli jerapah lucu itu, dan juga beberapa barang lainnya. Setelah itu dia pergi terburu-buru. Ibu belum pernah melihatnya sebelumnya. Dia membeli tanpa menawar, lho."

"Oh." Kirana terhuyung-huyung dan nyaris jatuh.

 "Sayang, kamu mau saya ambilkan air minum hangat? Wajahmu pucat sekali! Kemarilah, duduk di kursi sebentar."

"Tidak, terima kasih. Aku akan baik-baik saja. Terima kasih, Bu Darmi." Zarpa telah hilang untuk selamanya.

Dia menoleh karena mendengar Giring memangilnya. Suaminya sedang bergegas menyeberang jalan.

"Ampun deh Kirana. Ada apa? Kan cuma lampu tidur. Kalau memang kamu enggak bisa tidur tanpa lampu, nanti kita beli lagi yang baru," kata suaminya sambil menggaruk janggut pendeknya yang belum dicukur.

Kirana menarik suaminya ke bawah pohon mahoni rindang, jauh dari Bu Darmi yang mencoba mendengarkan dengan telinganya yang yang masih tajam di usianya yang lebih dari tiga perempat abad.

Matahari yang tadinya bersinar garang ketika Kirana keluar mencari Zarpa kini tertutup awan mendung kelabu yang bergulung-gulung mengantar kegelapan.

***

"Mereka akan datang malam ini," bisiknya pelan, saat air matanya jatuh bersamaan dengan tetesan hujan.

"Sayang, kau benar-benar membuatku gugup. Siapa yang datang?" Giring memeluknya sambil menyeka air mata dari wajah istrinya dengan telapak tangan.

"Papeuting," bisik Kirana menatap mata suaminya yang melebar dan seringainya yang mengejek.

"Papeu... Apa? Kau harus berhenti nonton sinetron horor!"

"Aku serius!" Kirana menghentakkankan kaki dan menjauh dari pelukan suaminya.

"Baiklah ... baiklah," Giring mencoba menatapnya dengan serius sambil kembali memeluknya. Kirana menghargai usaha lelakinya itu, tetapi itu tidaklah cukup.

"Papeuting adalah hantu pendendam yang mampu berubah bentuk. Mereka berkeliaran di dunia untuk mencari musuh mereka, untuk mencabik-cabik dan memangsa jiwa manusia. Setiap kali Papeuting menelan korban jiwa, kekuatannya bertambah."

"Baiklah, aku percaya," ucap Giring sambil tertawa pelan.

"Giring, ini benar-benar serius!" Kirana mendengus kesal.

"Ini wajah seriusku. Lanjutkan, "Giring menunjuk mukanya sendiri yang menunjukkan ekspresi tegas dibuat-buat.

"Papeuting muncul dari alamnya yang gelap gulita dan memasuki dunia kita untuk menyebabkan kekacauan hingga akhirnya menjadi kehancuran total."

"Mengapa Pa ... Papeuting akan datang untuk kau? Maksudku kita?"

"Semasa hidupnya sebagai manusia, mereka dibunuh secara kejam."

"Apa hubungannya dengan kau, Sayang?"

"Zarpa bukan lampu tidur biasa. Dia adalah Parayuga, semacam mojo, pelindung. Dia mencegah Papeuting masuk ke dunia kita ... rumah kita."

Ekspresi tak percaya semakin jelas di wajah suaminya.

"Sayang, bagaimana kau tahu begitu banyak tentang Papeuting dan mengapa kau butuh azimat untuk melindungi kita dari mereka?"

"Giring, aku bukan seperti yang kamu pikirkan ... masa laluku ... hal-hal yang harus kulakukan." Kirana memeluk suaminya semakin erat.

"Maaf ..." Bu Darmi berdeham. Dia menyela sambil menepuk pundak Kirana.

Kirana berbalik, mengira bahwa Bu Darmi meminta bantuan mereka untuk membatu membereskan meja-meja tempat barang garage sale sebelum hujan semakin deras.

"Lelaki ganteng itu kembali dan dia ingin bertemu denganmu." Bu Darmi melambai-lambaikan tangannya seolah-olah sedang mengarahkan pesawat terbang untuk mendarat.

Kirana mendongak dan terkesiap.

Tatapan kejam berkedip-kedip seperti nyala api lilin redup, liar dihembus angin.Bulu lengan Kirana berdiri. Dia tahu, akhir sudah tiba.

Seluruh kehidupannya berkelebat di matanya, dan kemudian makhluk itu mendarat tepat di depannya.

Apa yang dilihat Bu Darmi sebagai pria ganteng, mata Kirana melihat sesuatu yang jauh berbeda.

Dia lebih tinggi dari yang dulu pernah ditemui Kirana, menjulang hampir tiga meter. Rambutnya panjang, putih bagai ijuk tergerai di dadanya yang membusung. Caping gunung besar berwarna merah darah menyembunyikan sebagian raut wajah tengkorak kristal. Kukunya runcing-runcing panjang melengkung. Jari-jarinya dihiasi cincin batu akik besar berkilau merah-hitam.

Tubuh Kirana bergidik ketika makhluk itu meletakkan ujung jari telunjuknya ke mulut Kirana. Dia tak kuasa untuk biasa. Bibirnya bagai terkunci.

Dengan tangannya yang gemetar, Giring meremas jari-jari istrinya. Dia memejamkan mata dan berbisik pelan, "Maafkan-"

Sebelum lelaki itu mengucapkan kata terakhirnya, kegelapan menelan seluruh komplek perumahan beserta semua yang ada di dalamnya.

TAMAT

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun