Mohon tunggu...
Muhammad Asif
Muhammad Asif Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and reseacher

Dosen dan peneliti. Meminati studi-studi tentang sejarah, manuskrip, serta Islam di Indonesia secara luas.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Sepenggal Kisah tentang Perjalanan Penelitian dan Taksi Nakal

24 Maret 2019   21:49 Diperbarui: 25 Maret 2019   13:17 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengumuman nominasi penelitian Diktis tahun ini kembali mengingatkan saya pada sebuah peristiwa pada tahun 2017. Tahun itu saya bersama seorang teman masuk nominasi penelitian dan diundang untuk presentasi proposal di Surabaya. Tepatnya di hotel JW Marriot. Kami akhirnya lolos kompetisi penelitian. Namun bukan itu yang ingin saya ceritakan, tapi sepenggal kisah tentang liku perjalanan sebelum sampai di hotel JW Marriot.

Saya bersama seorang teman, Abdul Wadud namanya berangkat dari kampus, pagi hari sekitar pukul 08.00 kami naik bus ekonomi untuk menuju ke Surabaya. Karena di jalur pantura ini saya pikir tidak ada beda yang mencolok antara bus ekonomi atapun patas. 

Sebetulnya pihak penyelenggara atau panitia, membolehkan untuk naik pesawat, terutama untuk peserta yang berasal dari luar Jawa Timur, tapi tentu saja selain selain Garuda. Tiketnya nanti akan diganti oleh panitia. Tapi karena kami pikir jaraknya yang tidak terlalu jauh kami putuskan naik bus. Itung-itung biar biar bisa lebih mengenal seluk-beluk kota Surabaya.

Saya sampai di terminal Bungurasih sekitar pukul 12.00 WIB. Setelah shalat (shalat dzuhur dan ashar dijama') kami makan di sebuah warung yang ada di terminal. Saya atau tepatnya kami tidak begitu memahami seluk-beluk Surabaya. Kami awalnya ngobrol-ngobrol dengan pemilik warung yang seorang ibu-ibu. Ngobrol-ngobrol entah apa saja. 

Sampai akhirnya menayakan tentang taksi ke arah hotel  JW Marriot. Akhirnya sampai pada tahap akhir ibu itu bisa menyakinkan kami untuk memesankan taksi kenalannya. Setelah kami mengiyakan, ibu itu langsung memanggil seorang sopir taksi yang tak jauh dari warung tersebut. Seorang sopir taksi berbadan kekar dan tampangnya agak sangar menghampiri kami. 

Kami pun bernegosiasi. Ketika itu kami pikir dari pada pakai tarif argo mending langsung kesepakatan kami harus bayar berapa untuk sampai ke hotel. Takutnya kalau pakai argo kami dibawa muter-muter tak jelas arahnya. Meski bisa saja kami pakai GPS atau google map, tapi nyatanya kami tidak memahami arah dan rutenya. 

Selain takut ditipu kami juga dikejar waktu. "Pak ke hotel Marriot berapa?". Dengan gayanya yang sok pengalaman dia spontan menjawab, "ya seratus lima puluh mas". Dengan mimk seolah menunjukkan bahwa jaraknya cukup jauh. Buset...pikirku, tariff segitu bisa untuk naksi dari Semarang sampai Salatiga pikirku. "Kalau seratus gimana?" saya coba menawar. Akhirnya dia menyanggupi "Ok" sambil mengangguk. Kami pun naik taksi tersbut.

Saat di perjalanan, beberapa kali saya minta teman saya untuk membuka GPS. Sejak awal saya agak curiga dengan si sopir. Belum sampai tiga puluh menit si sopir bilang, "Hotel Marriot itu ya?". Dia pun berbalik dan menyebrang, karena letak hotel ada di seberang jalan. Ketika turun saya berkata ke sopir, "Seratus pak ya?". "Seratus lima puluh mas?" Jawabnya keras. Dengan nada agak mengancam. "lho tadi kesepakatannya kan seratus!" Saya coba membantahnya.

"Lho siapa bilang?" nadanya agak keras. Dia mencoba berkilah. Sebetulnya saya ingin berdebat dengan si sopir, tapi akhirnya ditahan teman saya. Tentu saja kami tak ingin berdebat lebih lama. Selain saya pikir tidak ada gunanya kami juga harus segera registrasi. Takutnya telat. Kami juga memikirkan kalau-kalau dia membuat masalah atau mengancam. Akhirnya saya keluarkan uang 150 dari dompet. "Tapi saya minta bukti pembayarannya?"

Dia langsung menjawab, "Wah saya gak punya mas". Saya berpikir sejenak. Lalu saya minta teman saya untuk mengambil secarik kertas. "Ya sudah kalau gitu kamu tanda tangan di sini pak". Awalnya dia agaknya enggan takutnya mungkin saya jadikan bukti penipuan dia. Padahal niatan kami hanyalah agar bukti itu bisa kami tukarkan ke panitia. Akhirnya dia mau tanda tangan. Dan setelah uang saya kasihkan. sopir itu langsung menyetir mobilnya. 

Dia ngacir begitu saja. Saya sebetulnya agak nyesel karena tahu ditipu. Tapi bagaimana lagi. Situasinya sama sekali tidak memungkinkan. Dan keputusan itulah yang saya kira paling tepat waktu itu. Saya biasa naik taksi di Semarang di Solo atau di beberapa kota lain. Meski dengan jarak yang lebih jauh, tak pernah semahal itu. 

Bahkan saya biasa dari dekat terminal Terboyo Semarang sampai daerah Ngaliyan paling hanya sekitar 80 sampai 90an. Tapi taka pa-apalah. Toh nanti juga diganti oleh panitia. ak mencoba mengubur rasa jengkelku karena ditipu. Sampai di hotel ketika registrasi ternyata peserta yang diperbolehkan ikut dan dibiayai hanya satu orang untuk penelitian yang kolektif atau kelompok. Padahal sebelumnya tidak ada pemberitahuan. Karena berbagai pertimbangan dan kendala teknis akhirnya teman saya memutuskan balik. 

Dia percaya saya bisa mempresentasikan proposal dengan baik dan bisa lolos. Akhirnya sore hari saya antarkan dia sampai ke luar hotel. Dan saya meminta seorang satpam yang sedang jaga untuk memesankan taksi buat teman saya. "Ok. Ini sudah saya pesankan bapak. Bisa ditunggu sebentar. Biayanya nanti 45 Ribu". "Oh. Iya terima aksih pak" Jawab saya. 

Jawaban satpam itu membuat saya jadi tahu perbandingan tarif taksi online dengan taksi tadi, entah si satpam tadi pakai aplikasi apa. Saya pun jadi mengingat kembali sopir taksi yang mengantar kami tadi siang.

Setelah tiga hari di hotel. Acara pun selesai. Semua peserta pun chek out dari hotel. Oleh seorang kawan, kenalan dari sebuah perguruan tinggi di Jogjakarta saya dipesankan Grabb. Dia berasal dari Pati, bu Yusroh namanya. Dosen sastra Arab di Universitas Ahmad Dahlan. Saya sebelumnya memang tidak terbiasa dengan taksi online. 

Saya biasa menggunakan argo. "Sebantar lagi datang. Tarifnya 45 pak". Tak lama kemudian taksi pun datang. Dan berhenti persis di depan pintu hotel. Setelah bersalaman dengan teman-teman yang dari Yogja saya pun naik taksi itu. Suasananya sangat jauh beda dengan taksi yang saya ceritakan di awal. Sopirnya ramah. Kami pun ngobrol-ngobrol kesana kemari.

"Mau ke terminal ya mas. Tujuannya kemana?" dia mencoba membuka obrolan.

"O. Saya ke Rembang". Dia tanya lagi, "Habis acara apa di Marriot?". Saya ceritakan tentang presentasi proposal penelitian. Dia kemudian banyak cerita tentang tempat atau daerah asal dia. Sampai sudah berapa tahun di tinggal di Surabaya dan lain sebagainya.

 "Saya dulu sopir truk, sering ke Semarang. Sering lewat Rembang juga mas. Saya paham daerah Rembang". Saya kadang menimpalinya kalau perlu. Dan kadang hanya menjadi pendengar yang baik dan menganguk sebagai tanda setuju kalau ada obrolan yang perlu diiyakan. 

Dia akhirnya sampai cerita bagaimana dia memutuskan berhenti menjadi sopir di sebuah perusahaan dan mengkredit mobil untuk kemudian daftar jadi anggota sebuah perusahaan taksi online. "Hasilnya gimana pak?" saya ingin tahu apa beda penghasilan dia ketika menjadi sopir truk di sebuah perusahaan dan menjadi sopir taksi online. "Lumayan mas. Saya bisa ngredit mobil. Saya juga bisa nyekolahkan anak-anak".

Karena saking asyiknya ngobrol tahu-tahu kami sudah sampai di Bungurasih. "Sudah sampai sampai. Berhenti sini ya mas". "Berapa pak?" Saya mencoba tanya. "Empat puluh dua ribu" Jawabnya ramah. Karena terkesan dengan keramahan dan kejujurannya akhirnya saya kasih 50 Ribu. "Kembaliannya mas"

"Gak usah pak"

Dua kisah sopir di atas, meskipun mungkin sangat kasuistik dan mungkin tidak bisa digeneralisir tapi setidaknya bisa mewakili gambaran taksi online dan taksi konvensional . Saya pribadi untuk setiap bepergian ke luar kota berikutnya biasanya lebih memilih taksi online karena beberapa alasan. Selain lebih efisien dan praktis, biayanya lebih pasti. 

Selain tentu saja banyak sopir taksi online yang ramah dan mengutamakan pelayanan. Mungkin karena ingin dapat banyak bintang dan pada akhirnya bonus atau entahlah. Meski ada juga sopir taksi konvensional yang ramah dan jujur. Dan saya yakin masih sangat banyak. Tapi online lebih praktis dan efisien. Dan mudah tentu saja. Sementara taksi kovensional mestinya harus banyak berbenah jika tak ingin tertinggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun