Pengumuman nominasi penelitian Diktis tahun ini kembali mengingatkan saya pada sebuah peristiwa pada tahun 2017. Tahun itu saya bersama seorang teman masuk nominasi penelitian dan diundang untuk presentasi proposal di Surabaya. Tepatnya di hotel JW Marriot. Kami akhirnya lolos kompetisi penelitian. Namun bukan itu yang ingin saya ceritakan, tapi sepenggal kisah tentang liku perjalanan sebelum sampai di hotel JW Marriot.
Saya bersama seorang teman, Abdul Wadud namanya berangkat dari kampus, pagi hari sekitar pukul 08.00 kami naik bus ekonomi untuk menuju ke Surabaya. Karena di jalur pantura ini saya pikir tidak ada beda yang mencolok antara bus ekonomi atapun patas.Â
Sebetulnya pihak penyelenggara atau panitia, membolehkan untuk naik pesawat, terutama untuk peserta yang berasal dari luar Jawa Timur, tapi tentu saja selain selain Garuda. Tiketnya nanti akan diganti oleh panitia. Tapi karena kami pikir jaraknya yang tidak terlalu jauh kami putuskan naik bus. Itung-itung biar biar bisa lebih mengenal seluk-beluk kota Surabaya.
Saya sampai di terminal Bungurasih sekitar pukul 12.00 WIB. Setelah shalat (shalat dzuhur dan ashar dijama') kami makan di sebuah warung yang ada di terminal. Saya atau tepatnya kami tidak begitu memahami seluk-beluk Surabaya. Kami awalnya ngobrol-ngobrol dengan pemilik warung yang seorang ibu-ibu. Ngobrol-ngobrol entah apa saja.Â
Sampai akhirnya menayakan tentang taksi ke arah hotel  JW Marriot. Akhirnya sampai pada tahap akhir ibu itu bisa menyakinkan kami untuk memesankan taksi kenalannya. Setelah kami mengiyakan, ibu itu langsung memanggil seorang sopir taksi yang tak jauh dari warung tersebut. Seorang sopir taksi berbadan kekar dan tampangnya agak sangar menghampiri kami.Â
Kami pun bernegosiasi. Ketika itu kami pikir dari pada pakai tarif argo mending langsung kesepakatan kami harus bayar berapa untuk sampai ke hotel. Takutnya kalau pakai argo kami dibawa muter-muter tak jelas arahnya. Meski bisa saja kami pakai GPS atau google map, tapi nyatanya kami tidak memahami arah dan rutenya.Â
Selain takut ditipu kami juga dikejar waktu. "Pak ke hotel Marriot berapa?". Dengan gayanya yang sok pengalaman dia spontan menjawab, "ya seratus lima puluh mas". Dengan mimk seolah menunjukkan bahwa jaraknya cukup jauh. Buset...pikirku, tariff segitu bisa untuk naksi dari Semarang sampai Salatiga pikirku. "Kalau seratus gimana?" saya coba menawar. Akhirnya dia menyanggupi "Ok" sambil mengangguk. Kami pun naik taksi tersbut.
Saat di perjalanan, beberapa kali saya minta teman saya untuk membuka GPS. Sejak awal saya agak curiga dengan si sopir. Belum sampai tiga puluh menit si sopir bilang, "Hotel Marriot itu ya?". Dia pun berbalik dan menyebrang, karena letak hotel ada di seberang jalan. Ketika turun saya berkata ke sopir, "Seratus pak ya?". "Seratus lima puluh mas?" Jawabnya keras. Dengan nada agak mengancam. "lho tadi kesepakatannya kan seratus!" Saya coba membantahnya.
"Lho siapa bilang?" nadanya agak keras. Dia mencoba berkilah. Sebetulnya saya ingin berdebat dengan si sopir, tapi akhirnya ditahan teman saya. Tentu saja kami tak ingin berdebat lebih lama. Selain saya pikir tidak ada gunanya kami juga harus segera registrasi. Takutnya telat. Kami juga memikirkan kalau-kalau dia membuat masalah atau mengancam. Akhirnya saya keluarkan uang 150 dari dompet. "Tapi saya minta bukti pembayarannya?"
Dia langsung menjawab, "Wah saya gak punya mas". Saya berpikir sejenak. Lalu saya minta teman saya untuk mengambil secarik kertas. "Ya sudah kalau gitu kamu tanda tangan di sini pak". Awalnya dia agaknya enggan takutnya mungkin saya jadikan bukti penipuan dia. Padahal niatan kami hanyalah agar bukti itu bisa kami tukarkan ke panitia. Akhirnya dia mau tanda tangan. Dan setelah uang saya kasihkan. sopir itu langsung menyetir mobilnya.Â
Dia ngacir begitu saja. Saya sebetulnya agak nyesel karena tahu ditipu. Tapi bagaimana lagi. Situasinya sama sekali tidak memungkinkan. Dan keputusan itulah yang saya kira paling tepat waktu itu. Saya biasa naik taksi di Semarang di Solo atau di beberapa kota lain. Meski dengan jarak yang lebih jauh, tak pernah semahal itu.Â