Mohon tunggu...
Awang Setiawan
Awang Setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Prof. Dr. Apollo Daito, SE., M.Si., Ak Nama : Awang Setiawan NIM : 46119010169

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB 2, Diskursus Gaya Kepemimpinan Catur Murti RMP Sastrokartono pada Upaya Pencegahan Korupsi di Indonesia

12 November 2023   10:44 Diperbarui: 12 November 2023   10:44 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : Awang Setiawan

NIM : 46119010169

Mata Kuliah Pendidikan Anti Kourpsi dan Etik UMB

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak. 

Riwayat Hidup

 R. M. P. Sosrokartono merupakan nama Raden Mas Panji Sosrokartono hanya sedikit individu yang mengetahui dalam diskursus kebangsaan, ke-Indonesian, ke-Islaman, maupun dalam pemikiran falsafah. Publik lebih banyak mengenal nama Raden Ajeng Kartini dibanding dengan mengenl R. M. P. Sosrokartono. Nama lengkapnya merupakan Raden Mas Panji Sosrokartono.   Dilahirkan di Mayong, Kabupaten Jepara pada hari Rabu Pahing tanggalan 10 April 1877 M, dan bertepatan pada tanggal 17 Rabi'ul Awwal 1297 H. Beliau merupakan putra ketiga dari delapan bersaudara dari yaitu Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Samingoen Sosroningrat dengan pasangannya Ngasirah, yang merupakan putri kyai Mudirono yang berasal dari Teluk Awur. R. M. Adipati Ario Samingoen merupakan putra ketiga dari P. A. Tjondronegoro IV yang pernah memimpin Kabupaten Kudus selama 21 tahun (1835-1856 M) dan juga memimpin Kabupaten Demak berlangsung selama 10 tahun (1856-1866). Jika ditarik pada masa lampau, maka Sosrokartono masih memiliki silsilah Dyah Kertawijaya, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Brawijaya (Raja Majapahit 1447- 1451).

Di dalam lingkungan, Sosrokartono memilik nama  panggilan dengan sebutan Kartono. Sosrokartono sendiri ialah kakak kandung dari sosok inisiasi pada emansipasi wanita Indonesia yang terkenal melalui karyanya "Habis Gelap Terbitlah Terang" ia merupakan Raden Ajeng Kartini. Mereka berdua sama-sama terlahir di Mayong, Jepara. Tiga adik perempuan Sosrokartono adalah Kartini, Kardinah, dan Roekmini. Di tahun 1988, saat Sosrokoartono memiliki usia 7 tahun, beliau menempuh pendidikan ke sekolah Europeesche Lagere School (E.L.S) merupakan sekolah yang dimiliki Belanda berada di Kabupaten Jepara. Adapun awalnya, sekolah E.L.S ini merupakan peruntukkan untuk anak-anak keturunan Belanda. Anak-anak bumi pertiwi bisa masuk ke sekolah tersebut jika terdapat bangku kosong. Yang bisa masuk hanya anak-anak bangsawandari bumi pertiwi yang dapat menempuh pendidikan di E.L.S. Sosrokartono terlahir dari keturunan bangsawan, memungkinkan beliau untuk mengenyam pendidikan di sekolah yang hanya berisi oleh keturunan Belanda dan anak-anak keturunan bangsawan bumi pertiwi. Semangat dalam pencarian terhadap ilmu pengetahuan itu didasari pada pesan ayahandanya yang mengatakan: "Tanpa pengetahuan, kalian kelak tidak akan merasakan kebahagiaan dan dinasti kita akan makin mundur". Adapun tahun 1892, Sosrokartono dapat menyelesaikan pendidikan di E.L.S dengan nilai Bahasa Belanda yang tinggi. Hal itulah merupakan suatu hal yang melatarbelakangi Sosrokartono diterima dan dapat melanjutkan studinya ke Hogere Burger School (H.B.S) terlekat Semarang. H.B.S sendiri, hanya terdapat 3 dikota di seluruh Indonesia. Yaitu, Batavia (Jakarta), Surabaya, terdapat juga di Semarang. Adapun tahun 1897, Sosrokartono dapat menyelesaikan pendidikannya dari H.B.S dengan predikat nilai yang tinggi.

Pada tahun ke-1898, beliau melanjutkan pendidikannya ke Belanda. Dia masuk pada sekolah Teknik Sipil yang memiliki nama Polytechnische School, di Kota Delft, Belanda. Dengan harapan, kelak jika dia lulus, dia bisa membantu upaya dalam peningkatan penggunaan air untuk meningkatkan pertanian di Kabupaten Demak. Pada saat itu Kota Demak merupakan salah satu penghasil beras terbesar di Pulau Jawa. Selama dua tahun menjadi mahasiswa Teknik Sipil di Delft, Sosrokartono mengambil keuputusan untuk keluar dari jurusan tersebut karena merasa tidak  ada kecocokan dengan jurusan tersebut. Dia merasa bakatnya bukan di bidang Teknik pengairan, melainkan ada pada Bahasa dan Sastra sehingga dia memutuskan untuk pindah ke Faculteit Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Bahasa-Bahasa Ketimuran) di Universitas Leiden, Belanda. Agar menjadi mahasiswa pada Universitas Leiden Belanda, Sosrokartono harus terlebih dahulu dapat melalui ujian yang diadakan oleh negara. Bahasa yang digunakan dalam ujian tersebut merupakan bahasa Latin, dan Yunani. Dalam jangka waktu belajar di HBS, Sosrokartono tidak pernah mempelajari mata pelajaran tersebut. Dengan tekad dan kemampuan Sosrokartono, dalam waktu yang tidak lebih 6 bulan, Sosrokartono dapat menguasai kedua bahasa klasik tersebut. Sosrokartono adalah mahasiswa Indonesia pertama yang bisa melanjutkan pendidkan ke negeri Belanda. Dia lulus pada tahun 1901 dengan mendapat gelar Doctorandus in de Oosterche Talen (Doktor dalam bidang Bahasa). Dia dapat menguasai 44 bahasa, adapun rinciannya 9 bahasa Asing Timur, 17 bahasa Asing Barat, dan 18 bahasa Daerah. Setelah selesai masa pendidikan dari Universitas Leiden, Sosrokartono memilih lanjutkan karir di Eropa dengan menjadi koresponden The New York Herald. Langkah awal inilah yang menajdikan Sosrokartono menjadi diketahui di tataran dunia Internasional dengan menjadi wartawan perang dunia ke-I, ahli bahasa, dan menjadi penerjemah di Persekutuan Bangsa Bangsa (PBB).

Pada tahun 1925, dia memutuskan untuk balik ke Indonesia. Tetapi, kehidupan seorang Sosrokartono di negerinya sendiri mengalami keterbalikan dengan saat pada hidup di Eropa. Banyak petinggi pemerintah kolonial Hindia Belanda yang tidak menyukainya bahkan sampai membenci dan mewaspadainya, karena pihak Belanda dapat mengenali bahwa Sosrokartono bukanlah orang sembarangan. Beberapa kali Sosrokartono mendapat tawaran pekerjaan di pemerintahan, namun dia selalu menolak tawaran tersebut. Karena Sosrokartono ingin bekerja untuk memajukan rakyat tidak harus meminta belas kasihan pada pemerintah kolonial Belanda.

Di Bandung, dia mendirikan Yayasan bernama Dar-Oes-Salam merupakan tempat pengobatan untuk membantu rakyat kecil. Di sini juga dia menyebut dirinya sebagai Mandhor Klungsu (Biji Asam), dan Joko Pring (Perjaka Bambu).

Mandhor Klungsu yang berarti, mandor merupakan kepala regu atau pengawas, dan mandor bukanlah pemilik tetapi loyalitas kepada yang memiliki kehidupan (Tuhan atau Tuan) yang bertugas mengawasi atas perintah dari atasan, dan memiliki tanggung jawab kepada atasan, contohnya jika atasan memerintahkan untuk  korupsi menggunakan uang masyarakat atau berbohong ketika pemilihan ketua desa, itu merupakan tindakan yang tidak benar bukan ? maka hal yang harus dilakukan adalah mengikuti kata Tuhan kita, walaupun harus mengikuti perintah atasan tetapi mandor yang seharusnya individu takuti merupakan Tuhan, karena Tuhan merupakan mandor tertinggi, namun jika individu tidak beragama tidak apa - apa cukup ikuti kata hati kamu saja, karena bawahan tidak pernah salah. Sedangkan klungsu merupakan biji asam, Sosrokartono memiliki keinginan menjadi seperti biji buah asam, yang semua bagiannya bermanfaat, kokoh, rindang dapat meneduhkan. Tugas sebagai mandor merupakan "Namung madosi barang ingkang sae, sedaya kula sumanggakan dhateng gusti" yang memiliki arti "Hanya mencari segala hal yang baik, lalu semuanya kupersembahkan kepada Tuhan". Dia juga memiliki konsep yang disebut Ilmu Catur Murti, sebuah falsafah hidup yang digunakan sebagai pegangan untuk menjalankan tujuan hidupnya sebagai seorang hamba.

Joko Pering, Joko merupakan gairah muda, murni dan pering artinya bambu, jenis peringnya merupakan pering tanpa nyanding (kesamaaan martabat manusia). Pering atauapun pemberian, hidup itu tentang memberi manfaat tekait hal yang baik, dalam kepemimpinan atau leadership memiliki peran yang sama hanya terdapat perbedaan pada fungsunya saja, contohnya mobil, memiliki fungsinya masing -- masing jika semua dalam keadaan bagus maka mobil itu dapat berjalan dengan baik, namun jika ada satu saja yang tidak berfungsi mobil itu tidak berguna lagi.

Sosrokartono menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Jum'at Pahing, 8 Februari 1952 di kediamannya di Jalan Pungkur Nomo 19 Bandung. Tanpa meninggalkan istri, anak, dan murid. Kemudian dia dimakamkan di Desa Kaliputu Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus Jawa Tengah.

Catur Murti 

Ilmu yang dibawa oleh Raden Mas Sosrokartono ini merupakan ajaran ketasawufan yang khas berasal dari tanah Jawa yaitu dengan menyatunya empat faal, yakni pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan. Catur Murti sendiri berarti penjelmaan empat hal menjadi satu kesatuan. Jadi keempatnya itulah yang diubah menjadi satu yang dalam bahasa Belanda disebutnya "Een in denken, en in voelen, en in spreken, en in handelen". (Satu dalam pikiran, perasaan, perkataan dan tindakan). jaran Catur Murti merupakan ajaran yang relevan dengan kehidupan modern saat ini. Ajaran ini mengajarkan pentingnya keseimbangan antara pikiran, perasaan, perkataan dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari.

1. Pikiran Benar

Pikiran adalah kemampuan untuk memahami, memilih, dan menilai. Berpikir benar berarti menerima kebenaran, terutama yang terkait dengan agama dan Kitab Suci. Pikiran yang baik akan mendorong tindakan yang baik. contoh pikiran benar dalam kehidupan sehari-hari : Berpikir positif dan optimis, berpikir untuk kepentingan bersama dan Bberpikir untuk masa depan

2. Perasaan Benar

Perasaan merupakan komponen halus dalam diri manusia yang memungkinkan kontak dengan Tuhan. Perasaan benar adalah keadaan menerima yang baik, benar, dan suci tanpa curiga dan menolak yang jahat. contoh perasaan benar dalam kehidupan sehari-hari: Berpikir positif dan optimis, berpikir untuk kepentingan bersama dan berpikir untuk masa depan

3. Perkataan Benar

Perkataan adalah cara manusia menyampaikan pikiran dan perasaan melalui bahasa. Berkata benar berarti menggunakan kata-kata yang baik dan benar, yang berasal dari pikiran yang baik. contoh perkataan benar dalam kehidupan sehari-hari: Berkata jujur dan benar, berkata sopan dan santun dan berkata positif dan membangun

4. Perbuatan Benar

Perbuatan adalah tindakan manusia yang muncul sebagai akibat dari pikiran, perasaan, dan perkataan tentang suatu persoalan. Dengan menjalankan Catur Murti, seseorang terbiasa berpikir, berperasaan, berkata, dan berbuat dengan benar. contoh perbuatan benar dalam kehidupan sehari-hari: Membantu orang lain, menjaga lingkungan dan membangun persatuan dan kesatuan

Sosrokartono menjadikan Ilmu Catur Murti sebagai landasan dan pegangan hidup untuk membaktikan hidupnya sebagai hamba Allah. Melalui Catur Murti, manusia akan mendapatkan ketenangan jiwa, keharmonisan, hidup, dan kebahagiaan akhirat. Dalam Islam, Catur Murti menunjukkan ciri orang beriman, yakni tidak berfikir kecuali yang benar, tidak berperasaan kecuali yang benar, tidak berkata kecuali yang benar, tidak berbuat kecuali yang benar. Catur Murti mengarahkan manusia untuk menjadi bijak, terarah kepada perbuatan yang benar, terarah kepada sesama yang membutuhkan pertolongan, mengusahakan belas kasih, pengampunan, dan cinta kasih. Dengan demikian, manusia paripurna adalah manusia yang selalu dekat dengan Allah. Untuk dekat dengan Allah, maka manusia harus dekat dengan ciptaan-Nya. Dalam menjalankan ilmu Catur Murti seseorang harus senantiasa menganggap bahwa yang dimilikinya semua diabdikan dan diberikan kepada sesama dengan tulus ikhlas sebagai bentuk ibadah dan baktinya kepada Allah Swt. Untuk dapat melaksanakan ilmu Catur Murti tersebut, seseorang harus melakukan cara hidup bertarak brata yang luar biasa, yaitu meninggalkan kepentingan pribadi yang bersifat duniawi. Menurut aksan, seseorang yang sudah menghayati Ilmu Catur Murti maka ia adalah orang yang bijaksana.4 Bijaksana dalam berfikir, bijaksana dalam perasaan, bijaksana dalam berkata dan bijaksana dalam perilaku.

Dasar kepemimpinan dan falsafah jawa

Jawa, sebagai salah satu pusat kearifan budaya Indonesia, membawa bersamaan suatu falsafah hidup yang melandasi cara hidup dan kepemimpinan masyarakatnya. Dalam esai ini, kita akan mengulik sejarah dasar kepemimpinan dan falsafah Jawa yang telah membimbing generasi-generasi sepanjang waktu, membentuk karakter masyarakatnya, dan menempatkan fondasi untuk kepemimpinan yang menghargai tradisi dan merangkul inovasi.

Watak Keseimbangan sebagai Identitas Jawa:

Sejarah dasar kepemimpinan dan falsafah Jawa mengakar pada prinsip keseimbangan, dikenal dalam bahasa Jawa sebagai "Tenggara." Pemimpin Jawa, melalui pengaruh Hindu-Buddha, memahami pentingnya mengelola kontrast dan keharmonisan dalam setiap aspek kehidupan. Ini mencakup keseimbangan antara materi dan spiritual, antara tuntutan individual dan kebutuhan bersama, serta antara kemajuan dan pelestarian budaya.

Sejak masa Kerajaan Majapahit hingga Mataram, pemimpin Jawa telah mempraktikkan keseimbangan sebagai kearifan lokal yang memastikan keberlanjutan dan keberagaman masyarakat. Watak keseimbangan menjadi panduan untuk memastikan kelangsungan hidup dan perkembangan tanpa meninggalkan akar budaya yang kuat.

Bhinneka Tunggal Ika: Perjalanan Keberagaman yang Berkesinambungan:

Sejarah kepemimpinan dan falsafah Jawa mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, prinsip keberagaman yang menjadi moto nasional Indonesia. Dari masa Kerajaan Majapahit yang menggabungkan berbagai etnis dan agama, hingga era Mataram yang menonjolkan toleransi, Bhinneka Tunggal Ika telah mengukir jejak sejarah dalam kepemimpinan Jawa.

Pemimpin seperti Sultan Agung Hanyokrokusumo dan Sultan Hamengkubuwono X di Yogyakarta memperjuangkan semangat Bhinneka Tunggal Ika melalui kebijakan yang mendukung harmoni antaragama dan kerukunan sosial. Semangat ini terus berkembang dan mengilhami upaya kepemimpinan modern untuk merangkul keberagaman sebagai kekuatan, bukan sebagai pembeda.

Kontribusi Kepekaan terhadap Rasa dan Wawasan Masyarakat:

Seiring berjalannya waktu, sejarah kepemimpinan dan falsafah Jawa memberikan pengakuan terhadap pentingnya kepekaan terhadap "Rasa," suatu konsep yang mencakup kebijaksanaan dan kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat. Pemimpin Jawa memahami bahwa untuk memimpin dengan efektif, mereka perlu memahami dan merasakan aspirasi serta kebutuhan rakyatnya.

Sejak masa Mataram hingga masa kontemporer, sejarah ini memberikan contoh bagaimana pemimpin yang peka terhadap "Rasa" masyarakatnya mampu menciptakan kebijakan dan program-program yang merespons dinamika sosial dan budaya. Pemimpin yang memiliki wawasan ini mampu menempatkan kebijakannya dalam konteks yang lebih luas, menciptakan dampak positif yang berkelanjutan.

 

Korupsi

Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik atau posisi jabatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok, seringkali dengan cara-cara yang melanggar norma-norma etika atau hukum. Dalam konteks korupsi, orang yang memegang kekuasaan atau jabatan pemerintah dapat menyalahgunakan wewenangnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi, seperti uang atau fasilitas, yang seharusnya tidak dimiliki atau diperoleh melalui cara yang tidak sah atau tidak etis.

Korupsi dapat terjadi di berbagai tingkatan, dari tingkat individu hingga tingkat institusi, dan dapat melibatkan berbagai bentuk tindakan, termasuk suap, nepotisme, kolusi, dan penyuapan. Korupsi dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan dengan menghambat perkembangan ekonomi, memperburuk pelayanan publik, dan menciptakan ketidaksetaraan.

Berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga internasional, dan organisasi masyarakat sipil, secara aktif berusaha untuk melawan korupsi melalui upaya hukum, transparansi, pendidikan, dan reformasi kebijakan. Di banyak negara, lembaga khusus seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan untuk menangani kasus-kasus korupsi dan memastikan penegakan hukum yang adil. Meskipun banyak negara telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi korupsi, ini tetap menjadi masalah global yang kompleks dan menantang.

Korupsi pada masa kolonial

Pada era kolonial di Indonesia, praktik korupsi tidak terlepas dari konteks pemerintahan Belanda dan penjajahan yang berlangsung selama berabad-abad. Beberapa bentuk korupsi yang terjadi selama masa kolonial melibatkan pejabat-pejabat pemerintah Belanda yang memegang kendali administrasi dan ekonomi di kepulauan ini. Berikut adalah beberapa poin yang merinci aspek korupsi pada era kolonial di Indonesia:

Monopoli dan Eksploitasi Sumber Daya:

Pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem monopoli atas banyak sektor ekonomi, termasuk perdagangan rempah-rempah, hasil bumi, dan pertambangan.
Para pejabat kolonial yang terlibat dalam administrasi dan pelaksanaan monopoli ini memiliki kesempatan untuk menyalahgunakan posisi mereka dengan memperkaya diri sendiri melalui eksploitasi sumber daya Indonesia.
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel):

Sistem tanam paksa adalah kebijakan pertanian yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia pada abad ke-19.
Para petani diwajibkan menanam tanaman tertentu (seperti nila atau kopi) yang kemudian dijual oleh pemerintah Belanda. Sistem ini menciptakan peluang besar untuk korupsi, karena pejabat-pejabat pemerintah yang terlibat dalam distribusi dan penjualan tanaman bisa memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi.
Pemungutan Pajak dan Beban Ekonomi:

Pemungutan pajak oleh pemerintah kolonial terkadang dilakukan dengan cara yang merugikan masyarakat pribumi.
Beberapa pejabat pajak atau pemungut cukai mungkin menyalahgunakan kewenangan mereka dengan cara memperbesar jumlah yang harus dibayar atau mengalihkan sebagian pembayaran untuk keuntungan pribadi mereka.
Penyalahgunaan Wewenang dan Diskriminasi:

Pejabat kolonial memiliki kekuasaan besar dan sering kali menggunakan wewenang mereka dengan sewenang-wenang.
Penyalahgunaan wewenang dapat mencakup penyalahgunaan kekuasaan hukum, administratif, dan politik untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Eksploitasi Buruh:

Pada sektor pertambangan dan perkebunan, pekerja pribumi sering kali dieksploitasi secara ekstensif.
Gaji rendah, kondisi kerja yang buruk, dan ketidaksetaraan dalam hak-hak buruh menjadi dampak dari sistem eksploitasi ini.
Korupsi di Tingkat Lokal:

Selain korupsi oleh pejabat kolonial, ada juga kasus korupsi di tingkat lokal di antara para kepala desa atau pemimpin lokal yang berkolaborasi dengan pemerintah kolonial.
Praktik-praktik korupsi ini menjadi salah satu aspek yang menyumbang pada ketidakpuasan dan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Meskipun ada elemen-elemen korupsi, resistensi terhadap penjajahan Belanda juga melibatkan perlawanan atas aspek-aspek eksploitatif lainnya.

Gaya Kepemimpinan Catur Murti R.M. Sosrokartono dalam Upaya Pencegahan Korupsi di Indonesia: Sebuah Eksplorasi Mendalam

Gaya kepemimpinan merupakan pilar utama dalam membentuk dan mengarahkan suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, tantangan pencegahan korupsi memerlukan pemimpin yang tidak hanya efektif dalam manajemen, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan etika. Tulisan ini menggali lebih dalam tentang kontribusi Gaya Kepemimpinan Catur Murti R.M. Sosrokartono, seorang budayawan dan tokoh spiritual terkemuka, dalam upaya pencegahan korupsi di Indonesia.

Gaya Kepemimpinan Sosrokartono dan Konsep Catur Murti:

Sosrokartono memperkenalkan konsep Catur Murti, yang terdiri dari kebijaksanaan, keadilan, kasih sayang, dan keberanian. Gaya kepemimpinan beliau terbentuk dari fondasi nilai-nilai ini, menciptakan kerangka kerja yang holistik dan berkelanjutan untuk memandu sebuah negara. Gaya kepemimpinan yang dipengaruhi oleh Catur Murti mempromosikan integrasi nilai-nilai budaya ke dalam kebijakan dan tindakan pemimpin.

Pentingnya Gaya Kepemimpinan dalam Pencegahan Korupsi:

Korupsi telah menjadi penyakit kronis dalam sejarah pemerintahan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Gaya kepemimpinan Sosrokartono menyoroti pentingnya kebijakan dan langkah-langkah pencegahan korupsi yang bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga didorong oleh etika dan moralitas. Pemimpin yang terinspirasi oleh Catur Murti berupaya menciptakan budaya organisasi yang bersih, di mana nilai-nilai tersebut menjadi panduan utama dalam pengambilan keputusan.

Pengaruh Gaya Kepemimpinan pada Masyarakat:

Dalam konteks masyarakat, Gaya Kepemimpinan Sosrokartono memberikan dampak yang signifikan. Masyarakat yang terpapar oleh pemimpin berbasis nilai memiliki kecenderungan untuk menginternalisasi dan mereproduksi nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pemimpin yang menerapkan prinsip-prinsip Catur Murti tidak hanya membawa perubahan di tingkat kebijakan, tetapi juga pada tingkat kultural dan sosial.

Integrasi Nilai-nilai Budaya dalam Pendidikan:

Pentingnya integrasi nilai-nilai budaya dalam pencegahan korupsi juga tercermin dalam pendidikan. Sosrokartono mengadvokasi perlunya sistem pendidikan yang mendorong pemahaman mendalam tentang Catur Murti. Sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan harus berperan dalam membentuk karakter siswa, memastikan bahwa nilai-nilai kebijaksanaan, keadilan, kasih sayang, dan keberanian ditanamkan dalam pembentukan generasi masa depan.

Tantangan dan Hambatan:

Meskipun nilai-nilai budaya seperti Catur Murti menawarkan kerangka kerja yang kuat, implementasinya tidak selalu mulus. Hambatan dan tantangan muncul dalam menjalankan prinsip-prinsip ini dalam lingkungan yang kompleks. Ketidaksetaraan, resistensi terhadap perubahan, dan kendala sistemik dapat menjadi tantangan utama dalam menerapkan Gaya Kepemimpinan berbasis nilai.

Kesuksesan dan Prestasi dalam Pencegahan Korupsi:

Namun, sejarah mencatat beberapa keberhasilan ketika Gaya Kepemimpinan Sosrokartono dan prinsip-prinsip Catur Murti diterapkan dengan sungguh-sungguh. Kasus-kasus di berbagai tingkatan pemerintahan menunjukkan bahwa pemimpin yang mengintegrasikan nilai-nilai budaya dalam kebijakan dan tindakan mereka dapat mencapai kemajuan yang signifikan dalam pencegahan korupsi.

Pemimpin Masa Depan: Pewarisan Nilai-Nilai Budaya:

Penting untuk memahami bahwa pencegahan korupsi bukanlah upaya instan. Mewariskan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya adalah kunci untuk membentuk pemimpin masa depan yang berkomitmen terhadap integritas dan keadilan. Pendidikan, pelatihan, dan pembinaan kepemimpinan yang mengadopsi nilai-nilai Catur Murti harus menjadi fokus untuk menjamin kontinuitas perubahan positif.

Kesimpulan:

Gaya Kepemimpinan Catur Murti R.M. Sosrokartono memiliki dampak yang dalam dalam upaya pencegahan korupsi di Indonesia. Konsep Catur Murti yang terdiri dari kebijaksanaan, keadilan, kasih sayang, dan keberanian menciptakan landasan untuk transformasi positif. Meskipun tantangan tetap ada, pemimpin yang berbasis nilai dapat menjadi katalisator perubahan menuju masyarakat yang bersih, adil, dan berintegritas.

Daftar Pustaka :

Ricklefs, M. C. (2008). Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions (c. 1830-1930). NUS Press.

Transparency International Indonesia. (2020). Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2019. https://transparency.id/indeks-persepsi-korupsi/ 

Adisasmita, K. S. (1971). Djiwa Besar Kaliber Internasional Drs. Sosrokartono dengan Mono Perjuangannya Lahir-Batin yang Murni. Yogyakarta: Paguyuban Trilogi.

Syuropati, M. A., & Taufik, I.  (2022). Eksplorasi Diskursif Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam Dalam Buku "Ajaran-Ajaran Adiluhung" R.M.P Sosrokartono. [Universitas Negeri Islam Prof. K.H. Saiffudin Zuhri.

Syuropati, M. A., & Taufik, I. (NIM 1617402107). (Tahun belum diketahui). Eksplorasi Diskursif Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam Dalam Buku "Ajaran-Ajaran Adiluhung" R.M.P Sosrokartono. [Nama Universitas Negeri Islam Prof. K.H. Saiffudin Zuhri].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun