Mohon tunggu...
Awaluddin aceh
Awaluddin aceh Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah di SMAN 1 Kluet Timur

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maka Nikmat Tuhan Manakah yang Engkau Dustakan

22 Agustus 2024   12:35 Diperbarui: 22 Agustus 2024   12:38 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber gambar: https://www.detik.com)

Di sebuah desa yang dikelilingi hutan lebat, tinggallah seorang lelaki bernama Jaka. Jaka adalah seorang petani sederhana yang setiap hari menggarap sawah miliknya. Tanah yang subur dan air yang mengalir dari sungai menjadikan sawah Jaka selalu menghasilkan panen yang melimpah. Namun, meski hidup berkecukupan, hati Jaka sering diliputi rasa iri. Ia selalu memandang tetangganya, Pak Wiryo, yang hidup serba kecukupan dengan rumah besar dan sawah yang luas.

Suatu hari, Jaka mengeluh kepada istrinya, Siti, yang selalu setia mendampinginya. "Mengapa hidup kita begini-begini saja, Siti? Lihatlah Pak Wiryo, segala hal ada padanya. Rumah besar, sawah luas, bahkan anak-anaknya selalu terlihat bahagia dan tidak pernah kekurangan apa pun."

Siti, yang selalu sabar, menatap suaminya dengan senyuman. "Mas Jaka, kita sudah diberi kehidupan yang cukup. Panen kita tidak pernah gagal, kita punya tempat tinggal, dan anak-anak kita sehat. Apa lagi yang harus kita minta?"

Namun, kata-kata Siti tidak mampu menghilangkan rasa iri dalam hati Jaka. Setiap kali ia melewati rumah Pak Wiryo, ia merasa bahwa hidupnya tidak adil. "Mengapa Tuhan tidak memberikan aku lebih? Mengapa aku harus hidup sederhana sementara yang lain hidup mewah?"

Pada suatu malam, Jaka bermimpi. Dalam mimpinya, ia bertemu dengan seorang lelaki tua yang bijaksana. Lelaki tua itu bertanya kepadanya, "Jaka, mengapa kau selalu mengeluh tentang hidupmu? Tidakkah kau lihat betapa banyak nikmat yang sudah kau terima?"

Jaka menjawab, "Tapi aku ingin lebih. Aku ingin hidup seperti Pak Wiryo, memiliki kekayaan dan kebahagiaan yang melimpah."

Baca juga: Mencari Tuhan

Lelaki tua itu hanya tersenyum dan berkata, "Besok pagi, pergilah ke hutan dan carilah pohon yang paling besar di sana. Di bawahnya, kau akan menemukan sesuatu yang berharga."

Keesokan paginya, Jaka terbangun dengan perasaan penasaran. Ia segera bersiap-siap dan berjalan menuju hutan, mengikuti petunjuk dalam mimpinya. Setelah berjam-jam berjalan, akhirnya ia menemukan pohon besar yang dimaksud. Di bawahnya, ia melihat sebuah peti kayu yang terkubur setengah. Dengan susah payah, ia menggali dan membuka peti tersebut.

Di dalam peti, Jaka menemukan sekantong emas, permata, dan selembar surat. Dengan tangan bergetar, ia membuka surat tersebut dan membacanya.

"Jaka, ini adalah hadiah untukmu. Jika kau mengambil emas ini, kau akan mendapatkan kekayaan yang selama ini kau impikan. Namun ingatlah, semua yang kau terima ini akan datang dengan konsekuensi. Maka berpikirlah dengan bijak."

Tanpa berpikir panjang, Jaka mengambil emas tersebut dan segera pulang ke rumah. Setibanya di rumah, ia menunjukkan harta tersebut kepada Siti. Siti terkejut melihat kekayaan yang tiba-tiba ada di depan matanya.

"Mas Jaka, dari mana semua ini?" tanya Siti dengan wajah cemas.

"Ini adalah hadiah dari Tuhan," jawab Jaka sambil tersenyum. "Akhirnya, kita akan hidup seperti Pak Wiryo!"

Sejak saat itu, kehidupan Jaka berubah. Ia mulai membangun rumah yang lebih besar, membeli sawah-sawah milik tetangga, dan hidup dengan kemewahan. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Jaka mulai kehilangan kesederhanaan dan kerendahan hati yang dulu ia miliki. Ia menjadi serakah, ingin lebih dan lebih lagi.

Suatu hari, ketika Jaka sedang duduk di beranda rumahnya yang baru, seorang pengemis tua datang menghampirinya. "Tuan, tolonglah saya. Saya lapar dan tidak punya apa-apa," kata pengemis itu dengan suara lirih.

Jaka menatap pengemis itu dengan mata sinis. "Pergilah dari sini! Aku tidak punya apa-apa untukmu," katanya dengan kasar.

Pengemis itu mengangguk lemah dan pergi dengan langkah tertatih. Namun, sebelum pergi, ia menoleh ke arah Jaka dan berkata, "Tuan, ingatlah bahwa nikmat Tuhan yang kau terima bisa diambil kembali kapan saja."

Malamnya, Jaka kembali bermimpi. Ia melihat lelaki tua bijaksana yang pernah ditemuinya. "Jaka, apakah kau merasa bahagia sekarang?"

Jaka mengangguk ragu. "Aku punya segalanya yang aku inginkan, tapi... mengapa aku merasa ada yang hilang?"

Lelaki tua itu tersenyum. "Karena kau lupa bersyukur, Jaka. Kekayaan dan kemewahan bisa memberikan kebahagiaan sementara, tapi tanpa rasa syukur, hatimu akan selalu merasa kurang."

Pagi harinya, Jaka terbangun dengan perasaan gelisah. Ia menyadari bahwa meskipun ia memiliki segala yang ia inginkan, hatinya tidak pernah merasa puas. Ia selalu merasa ada yang kurang, ada yang hilang.

Suatu hari, musibah menimpa. Sawah-sawah yang Jaka beli tiba-tiba mengalami kekeringan. Hujan yang biasanya melimpah, tahun ini tidak turun. Tanaman yang sudah siap panen gagal total. Bahkan, harta yang ia simpan mulai terkuras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedikit demi sedikit, Jaka kehilangan semua yang ia miliki. Rumah besar yang ia bangun dijual untuk membayar utang, dan pada akhirnya, Jaka kembali hidup sederhana seperti dulu.

Namun, kali ini ada yang berbeda. Setelah semua yang terjadi, Jaka mulai menyadari satu hal penting. "Maka nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?" ia bergumam pada dirinya sendiri.

Jaka menyadari bahwa selama ini ia terlalu sibuk memikirkan apa yang tidak ia miliki, sampai lupa bersyukur atas apa yang sudah Tuhan berikan. Kesehatan, keluarga, dan hidup yang sederhana tapi bahagia semua itu adalah nikmat yang tak ternilai harganya.

Di akhir hidupnya, Jaka menjadi seorang yang lebih bijak. Ia kembali ke sawahnya yang dulu, bekerja dengan sepenuh hati, dan selalu mengucap syukur atas setiap butir padi yang ia tanam. Ia mengajarkan anak-anaknya untuk selalu bersyukur, apa pun yang terjadi dalam hidup.

Tahun-tahun berlalu, dan Jaka yang kini sudah menua, menjalani hidupnya dengan penuh kedamaian. Kehidupan sederhana di desanya membawa kebahagiaan yang selama ini ia cari. Meskipun kekayaan yang pernah ia miliki telah lama hilang, hati Jaka kini penuh dengan rasa syukur. Ia kembali menjadi petani yang bersahaja, bekerja dengan tekun dan selalu berserah kepada Tuhan.

Suatu hari, saat Jaka sedang duduk di bawah pohon besar yang dulu ia temukan dalam mimpinya, seorang pemuda datang menghampirinya. Pemuda itu adalah anak dari tetangganya, Pak Wiryo, yang sejak kecil sering bermain di sekitar rumah Jaka.

"Pak Jaka, bolehkah saya bertanya sesuatu?" pemuda itu bertanya dengan sopan.

"Tentu saja, Nak. Apa yang ingin kau tanyakan?" Jaka menanggapi dengan ramah.

"Saya sering mendengar cerita dari orang-orang di desa tentang masa lalu Pak Jaka. Katanya dulu Bapak pernah menjadi orang kaya, tetapi kemudian kehilangan semuanya. Namun, Bapak tidak pernah terlihat sedih atau menyesal. Bagaimana Bapak bisa tetap bahagia meski kehilangan segala-galanya?"

Jaka tersenyum mendengar pertanyaan itu. Ia menatap pemuda itu dengan mata yang penuh kebijaksanaan dan berkata, "Nak, kebahagiaan sejati bukanlah tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi tentang seberapa banyak kita bersyukur atas apa yang kita punya. Dahulu, aku selalu merasa tidak pernah cukup. Aku ingin lebih, ingin hidup mewah, tetapi lupa untuk bersyukur. Ketika Tuhan mengambil kembali apa yang Ia berikan, barulah aku menyadari bahwa semua yang aku butuhkan sebenarnya sudah ada di hadapanku."

Pemuda itu terdiam sejenak, merenungi kata-kata Jaka. "Jadi, Bapak tidak pernah menyesal kehilangan kekayaan itu?"

"Tidak, Nak," Jaka menjawab dengan tenang. "Justru kehilangan itu yang membuka mataku. Aku belajar bahwa nikmat Tuhan itu tidak hanya dalam bentuk harta, tetapi juga dalam hal-hal sederhana seperti kesehatan, keluarga, dan ketenangan hati. Ketika kau bisa menghargai hal-hal kecil itu, kau akan menemukan kebahagiaan yang sejati."

Pemuda itu mengangguk pelan, merasa tercerahkan oleh nasihat Jaka. "Terima kasih, Pak Jaka. Saya akan selalu mengingat kata-kata Bapak."

Setelah pemuda itu pergi, Jaka kembali merenung di bawah pohon besar itu. Ia mengingat kembali perjalanan hidupnya, dari masa-masa kesederhanaan, ke masa kekayaan, hingga kembali lagi ke kesederhanaan. Ia mengingat pengemis tua yang pernah datang kepadanya, yang kini ia sadari mungkin adalah utusan Tuhan untuk mengingatkannya.

Jaka mengangkat tangannya ke langit, bersyukur kepada Tuhan atas segala pelajaran yang telah ia terima. Di hatinya, Jaka merasa bahwa hidupnya kini telah lengkap. Ia tidak lagi merindukan kekayaan materi, karena ia telah menemukan kekayaan yang lebih berharga---yaitu kedamaian dan rasa syukur.

Beberapa hari kemudian, desa kecil itu diguncang oleh berita bahwa Pak Wiryo mengalami kebangkrutan. Perusahaan yang selama ini menjadi sumber kekayaannya runtuh akibat krisis ekonomi. Orang-orang di desa melihat bagaimana Pak Wiryo yang dulu hidup mewah, kini harus menghadapi kenyataan pahit.

Namun, Jaka yang mendengar kabar itu, merasa iba dan ingin membantu. Ia mendatangi rumah Pak Wiryo dan menemukan tetangganya itu duduk terdiam di beranda, wajahnya penuh dengan kecemasan.

"Pak Wiryo, aku mendengar kabar tentang apa yang terjadi," kata Jaka sambil duduk di sebelahnya. "Aku tahu ini saat yang sulit bagimu, tapi ingatlah bahwa ini adalah bagian dari ujian hidup."

Pak Wiryo menatap Jaka dengan mata yang mulai berair. "Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi ini, Jaka. Semua yang aku bangun bertahun-tahun hancur begitu saja. Aku kehilangan segalanya."

Jaka menepuk bahu Pak Wiryo dengan lembut. "Aku pernah mengalami hal yang serupa, Pak Wiryo. Aku juga pernah kehilangan segalanya, tapi dari situ aku belajar bahwa ada sesuatu yang lebih penting daripada harta yaitu kebahagiaan yang berasal dari rasa syukur dan keikhlasan menerima takdir Tuhan."

Pak Wiryo terdiam sejenak, merenungi kata-kata Jaka. "Tapi bagaimana aku bisa bersyukur ketika aku kehilangan semua yang aku miliki?"

"Karena di balik kehilangan itu, Tuhan masih memberi kita nikmat lain yang mungkin sering kita lupakan. Lihatlah keluargamu, mereka masih bersamamu, dalam keadaan sehat. Itulah nikmat yang tak ternilai. Harta bisa dicari kembali, tapi kedamaian hati hanya bisa didapat dengan bersyukur."

Pak Wiryo mulai menyadari kebenaran dalam kata-kata Jaka. "Terima kasih, Jaka. Aku tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya."

Sejak hari itu, Pak Wiryo mulai belajar untuk menerima kenyataan dengan lapang dada. Ia mengikuti jejak Jaka, kembali ke kehidupan sederhana dan lebih menghargai nikmat-nikmat kecil yang ada di sekitarnya. Mereka berdua sering bertemu, berbagi cerita, dan saling menguatkan satu sama lain.

Waktu terus berjalan, dan desa itu pun berubah. Namun, persahabatan antara Jaka dan Pak Wiryo tetap kuat. Mereka telah melalui banyak hal bersama, dan keduanya menemukan bahwa kekayaan sejati tidak diukur dari harta benda, melainkan dari hati yang selalu bersyukur.

Di penghujung hidupnya, Jaka kembali merenung di bawah pohon besar tempat ia pernah menemukan peti emas itu. Kini, ia tahu bahwa emas itu hanyalah ujian dari Tuhan, untuk melihat apakah ia bisa menjaga hatinya tetap bersyukur. Dan ia tahu, bahwa ia telah lulus dari ujian itu.

Dengan senyum di wajahnya, Jaka mengucapkan doa terakhirnya, "Ya Tuhan, terima kasih atas segala nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku. Maka nikmat Tuhan manakah yang aku dustakan? Aku tidak akan pernah mendustakan nikmat-Mu lagi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun