Pak Wiryo mulai menyadari kebenaran dalam kata-kata Jaka. "Terima kasih, Jaka. Aku tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya."
Sejak hari itu, Pak Wiryo mulai belajar untuk menerima kenyataan dengan lapang dada. Ia mengikuti jejak Jaka, kembali ke kehidupan sederhana dan lebih menghargai nikmat-nikmat kecil yang ada di sekitarnya. Mereka berdua sering bertemu, berbagi cerita, dan saling menguatkan satu sama lain.
Waktu terus berjalan, dan desa itu pun berubah. Namun, persahabatan antara Jaka dan Pak Wiryo tetap kuat. Mereka telah melalui banyak hal bersama, dan keduanya menemukan bahwa kekayaan sejati tidak diukur dari harta benda, melainkan dari hati yang selalu bersyukur.
Di penghujung hidupnya, Jaka kembali merenung di bawah pohon besar tempat ia pernah menemukan peti emas itu. Kini, ia tahu bahwa emas itu hanyalah ujian dari Tuhan, untuk melihat apakah ia bisa menjaga hatinya tetap bersyukur. Dan ia tahu, bahwa ia telah lulus dari ujian itu.
Dengan senyum di wajahnya, Jaka mengucapkan doa terakhirnya, "Ya Tuhan, terima kasih atas segala nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku. Maka nikmat Tuhan manakah yang aku dustakan? Aku tidak akan pernah mendustakan nikmat-Mu lagi."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H