"Tidak, Nak," Jaka menjawab dengan tenang. "Justru kehilangan itu yang membuka mataku. Aku belajar bahwa nikmat Tuhan itu tidak hanya dalam bentuk harta, tetapi juga dalam hal-hal sederhana seperti kesehatan, keluarga, dan ketenangan hati. Ketika kau bisa menghargai hal-hal kecil itu, kau akan menemukan kebahagiaan yang sejati."
Pemuda itu mengangguk pelan, merasa tercerahkan oleh nasihat Jaka. "Terima kasih, Pak Jaka. Saya akan selalu mengingat kata-kata Bapak."
Setelah pemuda itu pergi, Jaka kembali merenung di bawah pohon besar itu. Ia mengingat kembali perjalanan hidupnya, dari masa-masa kesederhanaan, ke masa kekayaan, hingga kembali lagi ke kesederhanaan. Ia mengingat pengemis tua yang pernah datang kepadanya, yang kini ia sadari mungkin adalah utusan Tuhan untuk mengingatkannya.
Jaka mengangkat tangannya ke langit, bersyukur kepada Tuhan atas segala pelajaran yang telah ia terima. Di hatinya, Jaka merasa bahwa hidupnya kini telah lengkap. Ia tidak lagi merindukan kekayaan materi, karena ia telah menemukan kekayaan yang lebih berharga---yaitu kedamaian dan rasa syukur.
Beberapa hari kemudian, desa kecil itu diguncang oleh berita bahwa Pak Wiryo mengalami kebangkrutan. Perusahaan yang selama ini menjadi sumber kekayaannya runtuh akibat krisis ekonomi. Orang-orang di desa melihat bagaimana Pak Wiryo yang dulu hidup mewah, kini harus menghadapi kenyataan pahit.
Namun, Jaka yang mendengar kabar itu, merasa iba dan ingin membantu. Ia mendatangi rumah Pak Wiryo dan menemukan tetangganya itu duduk terdiam di beranda, wajahnya penuh dengan kecemasan.
"Pak Wiryo, aku mendengar kabar tentang apa yang terjadi," kata Jaka sambil duduk di sebelahnya. "Aku tahu ini saat yang sulit bagimu, tapi ingatlah bahwa ini adalah bagian dari ujian hidup."
Pak Wiryo menatap Jaka dengan mata yang mulai berair. "Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi ini, Jaka. Semua yang aku bangun bertahun-tahun hancur begitu saja. Aku kehilangan segalanya."
Jaka menepuk bahu Pak Wiryo dengan lembut. "Aku pernah mengalami hal yang serupa, Pak Wiryo. Aku juga pernah kehilangan segalanya, tapi dari situ aku belajar bahwa ada sesuatu yang lebih penting daripada harta yaitu kebahagiaan yang berasal dari rasa syukur dan keikhlasan menerima takdir Tuhan."
Pak Wiryo terdiam sejenak, merenungi kata-kata Jaka. "Tapi bagaimana aku bisa bersyukur ketika aku kehilangan semua yang aku miliki?"
"Karena di balik kehilangan itu, Tuhan masih memberi kita nikmat lain yang mungkin sering kita lupakan. Lihatlah keluargamu, mereka masih bersamamu, dalam keadaan sehat. Itulah nikmat yang tak ternilai. Harta bisa dicari kembali, tapi kedamaian hati hanya bisa didapat dengan bersyukur."