Salah satu kasus yang viral adalah sebuah serum yang menjanjikan noda hitam akan pudar dalam 7 hari, tetapi kemudian ditemukan mengandung hidrokuinon dalam kadar berlebihan yang dapat merusak kulit.
Skincare dan Budaya Konsumsi: Perspektif Antropologi Budaya
Dari perspektif antropologi, pola konsumsi skincare tidak hanya tentang membeli produk, melainkan juga mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.
1. Simbol Status dan Identitas
Produk skincare yang mahal atau viral seringkali dianggap sebagai simbol status, yang menunjukkan bahwa seseorang "peduli" terhadap penampilan mereka.Â
2. Personal Branding melalui Media Sosial
Dalam budaya digital, citra diri sering kali dibangun melalui apa yang kita tampilkan di media sosial. Oleh karena itu, membeli produk yang "trendy" dianggap sebagai cara untuk memperbaiki citra tersebut.
3. Narasi Kecantikan yang Dikonstruksi
Antropolog Elizabeth Haiken (2000) dalam bukunya Venus Envy: A History of Cosmetic Surgery mencatat bahwa standar kecantikan selalu dikonstruksi secara sosial, tergantung pada konteks budaya dan ekonomi suatu masyarakat.
Di Indonesia, standar kecantikan sering kali berpatokan pada wajah yang berkulit putih, mulus, dan bebas noda.
Bagaimana Menjadi Konsumen Skincare yang Cerdas?
Untuk menghindari jebakan overclaim dan pengaruh budaya konsumsi berlebihan, berikut beberapa langkah yang dapat diambil sebagai konsumen: