"Wajah mulus tanpa pori-pori dalam semalam!"
"Putih cerah dalam tujuh hari!"
Klaim-klaim semacam ini kerap menghiasi iklan produk skincare, terutama di media sosial seperti TikTok dan Instagram. Bagi sebagian besar orang, klaim semacam ini memicu rasa penasaran.
Dengan pendekatan antropologi budaya, kita dapat melihat bahwa overclaim adalah cerminan budaya konsumsi modern, di mana citra diri dan ekspetasi sosial turut membentuk pola konsumsi masyarakat.
Apa Itu Overclaim dan Bagaimana Kaitannya dengan Budaya?
Dalam konteks pemasaran, overclaim adalah praktik membuat klaim yang terlalu muluk atau berlebihan tentang manfaat suatu produk tanpa dasar ilmiah yang memadai. Dalam produk skincare praktik ini sering diwujudkan dalam bentuk janji hasil instan atau solusi universal.
Dari sudut pandang antropologi budaya, overclaim tidak berdiri sendiri. Hal tersebut terkait dengan budaya tentang kecantikan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
1. Standar Kecantikan yang Seragam
Budaya modern, terutama di Indonesia, masih sering mengidealkan kulit putih, mulus, dan bebas noda sebagai standar kecantikan wanita. Standar ini diperkuat oleh media dan iklan, sehingga banyak konsumen merasa harus membeli produk tertentu untuk memenuhi ekspetasi ini.
2. Tekanan Sosial dan FOMO