Bahkan, padi-padi yang kualitasnya rendah mereka manfaatkan juga untuk pakan hewan ataupun kerajinan.Â
Beberapa rumah juga membedakan saluran antara yang terkena sabun atau pewangi dengan saluran yang memang benar-benar murni.Â
Saya belajar membuat olahan atau makanan khas bersama dengan mertua saya di sana.
Cara pembuatannya tidak menggunakan kipas angin melainkan masih dengan udara segar untuk mendinginkan ketannya.
 Saat saya berjalan-jalan saya melihat tumpukan berwarna hitam, konon katanya itu adalah kotoran manusia yang sudah betahun-tahun.Â
Kotoran tersebut terolah menjadi biogas yang ramah lingkungan, anehnya perempuan-perempuan yang aktif melestarikan daerah malah jarang berpartisipasi menyusun kebijakan Energi Baru Terbarukan (EBT).Â
Saya jadi teringat oleh berita  Staf Ahli Kementrian (KLH), seorang wanita yang marah ke warga karena menyalahkan gajah yang merusak fasilitas masyarakat dan perilaku membunuh gajah, sebenarnya keadaan gajah tersebut akibat habitatnya rusak.Â
Sikap peduli terhadap makhluk hidup menjadi awal sosialisasi dan edukasi lingkungan.Â
Balik lagi ke kisah saya, di sana belajar membuat kerupuk dan memanfaatkan energi surya, jadi budaya di sana yaitu, "Tananian Lanjeng,"
 Artinya pelataran rumah yang panjang untuk kebutuhan berjemur makanan, padi, atau kegiatan lingkungan lainnya di depan rumah.Â
Apalagi ketika perempuan di sana mengajarkan kepada anak, cucu, menantunya sehingga kebiasaan positif ini terus menjadi Transisi Energi Adil.