Mohon tunggu...
steven kambey
steven kambey Mohon Tunggu... Ilmuwan - Tulisan adalah kata yang abadi

Mencintai Kebenaran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Implementasi Trilogi Prinsip Polluter Pay, Negligence, dan Strict Liability

5 Juni 2017   08:57 Diperbarui: 5 Juni 2017   09:42 2635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Tahun 1972 Konferensi PBB tentang Lingkungan Manusia di Stockholm, Swedia telah melahirkan Deklarasi yang menempatkan lingkungan hidup sebagai unsur penting dan utama dalam konsep pembangunan yang dilakukan manusia. Sebelumnya,  di bulan Mei Tahun 1972 negara-negara anggota The Organization for Economic Cooperation and Development  (OECD) telah melakukan konsili  dengan  rekomendasi  yang dihasilkan  yaitu Guiding Principles concerning the international economic aspects of environmental policies, rekomendasi ini memperkenalkan polutter pays principles sebagai satu di antara asasnya.

Transformasi paradigma pembangunan dari antroposentris menuju kepada ekosentris merupakan pergerakan global dan telah menempatkan Indonesia di antara arak-arakan negara yang menganut prinsip-prinsip sustainable development dengan jargon terbarunya “the future we want”. Ratifikasi  terhadap  konvensi  Stockholm  telah dimulai sejak di tetapkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan  Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ratifikasi ini  sebagai lonceng penanda dimulakannya pergeseran bandul yang bergerak mendekati kepentingan ekologis yang saat ini telah melewati rezim Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan masuk ke dalam rezim Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Implementasi rezim Perundang-undangan terakhir agaknya telah menstimulasi terciptanya kondisi stabilitas yang baru dalam konteks interaksi antara trias pilar (pemerintah, koorporasi dan masyarakat) serta pihak-pihak terkait dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dorongan menuju stabilitas baru sebagai babak lanjutan dari urgensitas reposisi paradigma ekosistem dinilai sebagai instabilitas bagi kalangan pengusaha. Pihak koorporasi yang adalah badan hukum, bahkan menganggap telah terjadi pelanggaran hak konstitusional terhadap penegakan hukum lingkungan perdata yang dilakukan oleh pemerintah  sehingga melakukan  judicial review  terhadap beberapa pasal dalam UU PPLH 2009 dan UU Kehutanan 1999. 

Permohonan  judicial review  yang diajukan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan di Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit di Indonesia (GAPKI) kepada Mahkamah Konstitusi RI dalam rangka Pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 69 ayat (2), Pasal 88, dan Pasal 99 dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan  (Pasal 49) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 D.

Sehubungan dengan hal itu, semua pihak perlu mempersiapkan sebanyak mungkin pertimbangan dalam menanggapi uji materi tersebut agar ditemukan kebenaran-kebenaran komprehensif sebagai dasar pernyataan sikap pemerintah. Bukankah sejatinya kebenaran telah terbagi-bagi ke dalam pikiran banyak orang? karenanya, untuk menemukan kebenaran yang seutuhnya perlu mengumpulkan dan mengkontruksikan kembali  kepingan puzzle yang tercerai itu.

Materi Judicial Review

Pemohon,  dalam hal ini yang merupakan asosiasi yang mewakili pengusaha hutan dan pengusaha kepala sawit merasa dirugikan dengan keberadaan pasal-pasal yang dimohonkan, antara lain :(1)

  • Pertama kearifan lokal yang dimaksud dalam UU PPLH 2009 Pasal 69, menurut pemohon, ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal dua hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi  oleh  sekat bakar sebagai pencegah penjalaran  api ke wilayah sekelilingnya.  Pemohon dalam hal ini mempermasalahkan masih dibolehkannya    pembakaran hutan yang dilakukan oleh pihak-pihak lain dan nanti dikaitkan dengan permohonan pasal-pasal berikutnya, kalau pembakaran tersebut kemudian meluas dan kemudian menyebabkan kerugian atau kemudian menyebabkan pencemaran lingkungan, maka Pemohon anggota asosiasi Pemohon ini yang harus bertanggung jawab, yaitu mereka yang pemegang konsesi. Tujuan dari permohonan ini adalah agar  menghapuskan ketentuan masih dibolehkannya pembakaran hutan, sehingga tujuan dari permohonan ini adalah tidak ada ruang bagi pembakaran hutan baik oleh pemegang konsesi maupun oleh orang-orang yang kebetulan berada di wilayah konsesi tersebut.  
  • Kemudian yang kedua terkait bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan  (strict liability)  dalam  UU PPLH 2009  Pasal 88 dan terkait atau sama dengan UU Kehutanan 1999 Pasal 49. Menurut pemohon, seharusnya  siapa yang berbuat, dia yang bertanggung jawab. Tapi dengan doktrin ini   memungkinkan Pemohon yang merupakan wadah asosiasi-asosiasi pengusaha itu bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak dilakukan. Jadi kalau ada  fenomena  sebagaimana disebutkan ini,  perkara apakah itu dilakukan oleh Pemohon atau pihak lain, yang jelas pemegang konsesi harus bertanggung jawab.  
  • Berikutnya adalah  unsur kelalaian  (negligence)  dalam UU PPLH 2009  Pasal 99,  Sebagai contoh misalnya kebakaran hutan, sering sekali yang namanya api itu belum tentu berasal dari kegiatan yang dilakukan pihak Pemohon karena memang Pemohon dalam hal ini secara strict dilarang untuk melakukan pembakaran hutan kecuali oleh masyarakat yang tadi kami sebutkan. Lalu kemudian terjadi kebakaran  hutan, sumber api bisa saja karena musim kemarau panjang, bisa saja kemudian dari sumber di luar wilayah konsesi  yang kebetulan menyeberang ke wilayah konsesi. Nah, dengan pertanggungjawaban strict liability tadi maka tanpa pembuktian Pemohon harus bertanggung jawab terhadap kerugian-kerugian yang timbul.  

Trilogi Prinsip Polluter Pay, Negligencedan Strict Liability

Prinsip ke-21  dari Deklarasi Lingkungan Hidup PBB di Stockholm pada tahun 1972 berbunyi “state have, in accordance with the charter of the United Nation and the principles of International law, the sovereign rights to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their juridiction or control do not cause damage to the environment of other state or of areas beyond the limits of national jurisdiction”,  prinsip ini menegaskan kedaulatan masing-masing negara terhadap pengelolaan sumber daya alam sekaligus menempatkan negara sebagai penanggungjawab pengelolaan lingkungannya, yang dapat diartikan juga bahwa negara bertanggungjawab terhadap hal untuk mencegah dan apabila terjadi pencemaran dalam wilayah hukumnya.(2) 

Sebagai pihak yang pertama kali memperkenalkan polluter pays principle, OECD Pada bulan Mei 2007, menjadikan Indonesia bersama dengan negara Brazil, India, China dan Afrika Selatan  sebagai  “Mitra Utama”  untuk melaksanakan program-programnya  dan mendorong prinsip ini  kemudian  diadopsi ke dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 2 Huruf j dengan asas “pencemar membayar”  dan  dengan  penjelasan bahwa yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.  

Prinsip  negligence  adalah Pencemar bertanggungjawab jika tidak optimal mengambil langkah-langkah pencegahan (optimal care)  (bandingkan Pasal 99 UU PPLH 2009), sehingga calon pencemar yang rasional akan mengambil langkah optimal sepanjang biaya-biaya ganti rugi lebih besar dari pada biaya pencegahan optimal.  

Sedangkan prinsip  strict liability  adalah  Pencemar bertanggungjawab  apabila terjadi kerugian tanpa melihat apakah ia telah mengambil langkah pencegahan secara optimal atau tidak(bandingkan Pasal 88 UU PPLH 2009).  Hal ini dimaksudkan agar calon pencemar akan melakukan pencegahan  semaksimal  mungkin karena kerugian akan semakin  minimal ketika pencegahan maksimal dilakukan.

Bahwa setiap pencemaran  yang terjadi harus dipertanggungjawabkan maka asas pencemar membayar  (polluter pays  principles)  menderivasikan tanggungjawab pencemaran lingkungan dari negara kepada pihak pemegang konsesi, sekaligus menegaskan bahwa resiko pencemaran yang terjadi dari  dan  atau akibat  setiap kegiatan usaha menjadi tanggungjawab pemegang izin baik akibat kelalaiannya  (negligence)  maupun karena tanggungjawab mutlak (strict liability) yang melekat atas perizinan.  Implementasi Trilogi prinsip pertanggungjawaban pencemaran dan kerusakan lingkungan tersebut, dapat dibuat urutan mekanisme penegakan hukumnya sebagai berikut :  

upaya-upaya preventif oleh negara  melalui penerapan  polluter pays principles  (dalam mekanisme/syarat perizinan dan internalisasi biaya resiko lingkungan)  –  upaya-upaya pencegahan maksimal oleh pemegang konsesi  di bawah pengawasan pemerintah guna menghindari  kelalaian  (negligence)  –  upaya penegakan hukum perdata lingkungan dengan menggunakan prinsip strict liability.

Hak Menguasai Negara Melalui Instrumen Perizinan

Sebagaimana di kutip dari  Muchtar Affandi  dalam tulisan  I Gde Pantja Astawa  dan Suprin Na’a, menurut  Paul Laband  dan  George Jellinek,  kekuasaan tertinggi terdapat pada pemimpin Negara karena itu Negara adalah satu satunya sumber segala kekuasaan. Sudah menjadi kodrat alam bahwa daratan bumi yang dihuni manusia telah dibagi habis oleh organisasi Negara secara  geografis. Oleh karenanya, negaralah satu-satunya merupakan sumber kedaulatan. Penerapan hukum mengikat disebabkan karena dikehendaki oleh negara yang menurut kodrat memiliki kekuasaan mutlak.(3)

Pasal 33 UUD NRI 1945 yang memberikan hak kepada Negara untuk menguasai sumber daya alam  demi  kesejahteraan rakyat.  Selanjutnya hak menguasai negara menjadikan negara satu-satunya pemegang kewenangan terhadap pengelolaan sumber daya alam.(4) Implementasi kewenangan pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan secara mandiri maupun melalui tangan pihak lain yaitu perorangan, kelompok maupun koorporasi melalui instrumen hukum perizinan.  

Perizinan sejatinya merupakan instrumen negara melalui pemerintah untuk menjalankan kewajiban menghadirkan kesejahteraan rakyat yang melekat bersamaan dengan hak menguasai sumber daya alam. Karena keterbatasan daya dan dana yang dimilikinya maka pemerintah melibatkan pihak lain untuk mengelola dengan  sistem profit share melalui PNBP, Royalti dan Pajak yang dikenakan kepada pemegang izin. Pemberian perizinan kepada pihak tertentu tidak melepaskan tanggungjawab negara(5)  terhadap pengelolaan SDA karena  itu dibutuhkan sistem pengawasan yang memadai(6)  sebagai  early warning  terhadap potensi pelanggaran dan guna memastikan terpenuhinya tujuan utama diberikannya suatu konsesi. Sistem pengawasan pemerintah yang efektif menjadi penilaian awal, periodik dan berjenjang untuk menilai motivasi dan kinerja koorporasi pemegang izin sehingga sejak awal penegakan sanksi administratif dapat diterapkan guna mencegah pelanggaran yang lebih jauh dengan resiko kerusakan lingkungan yang lebih parah  atau pencemaran lingkungan.  Dalam kerangka menggapai keadilan yang proporsional, penerapan hukum administrasi merupakan tahapan yang seharusnya wajib dilewati sebelum melakukan tuntutan ganti rugi perdata dan pidana. Pelaksanaan sistem pengawasan yang lemah menempatkan pemerintah sebagai pihak yang sama bertanggungjawab terhadap pencemaran atau kerusakan lingkungan yang terjadi.

Indonesia telah memasuki fase  green growth strategy,(7)  dalam fase ini penerapan kewenangan pengelolaan Negara terhadap SDA yang dilakukan melalui konsesi kepada koorporasi,  seharusnya telah dilakukan secara selektif  dengan syarat yang  ketat.  Hanya perusahaan yang layak secara finansial, manajemen dan memiliki orientasi kelola lingkungan yang baik yang dapat diberikan konsesi.  Pemanfaatan SDA untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan meminimalisir sekecil mungkin dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan demi menjamin terwujudnya  intergenerational equity principles.(8) Oleh karenanya, instrumen pengendalian lingkungan hidup melalui dokumen Tata Ruang,  KLHS dan AMDAL yang merupakan kesepakatan para pihak yang berkepentingan merupakan wujud keadilan kontekstual yang dicapai pada waktu tertentu melalui toleransi semua pihak terhadap sebuah kegiatan pembangunan, dengan demikian harus secara optimal dan berkesinambungan terjaga kualitasnya.

Dokumen-dokumen tersebut diletakkan pada tahap perencanaan sebagai upaya pencegahan dini kerusakan dan pencemaran lingkungan yang diprediksi akan terjadi dikemudian hari dan merupakan  bentuk kehati-hatian pemerintah  (precautionary principle)  dalam menerbitkan perizinan. Kesalahan yang terjadi dalam penyusunan dokumen-dokumen tersebut dapat menyebabkan sistemic error yang berujung pada perusakan lingkungan dan seharusnya menjadi tanggungjawab bersama antara pemberi izin dan pemegang konsesi.  

Kualitas kebenaran dokumen terkait lingkungan sangat menentukan terhindarnya suatu kegiatan eksploitasi SDA dari peristiwa pelanggaran hukum dan kejahatan lingkungan. Jika dokumen-dokumen lingkungan telah disusun dengan kualitas tinggi dan diimplementasikan dengan baik dan benar, maka seharusnya bila terjadi kasus misalnya kebakaran hutan dan lahan di dalam areal konsesi  yang  disebabkan oleh alam maupun pihak lain dan  menimbulkan pencemaran udara, maka hal tersebut merupakan tanggungjawab bersama stakeholder yang ada dan dapat dikategorikan sebagai bencana alam (unprediction/disaster)sehingga koorporasi yang bersangkutan  dapat  terhindar dari tuntutan hukum. Namun pencemaran asap yang disebabkan oleh kebakaran yang terjadi di dalam areal konsesi akibat dari kelalaian koorporasi (negligence) melakukan upaya-upaya pencegahan sebagaimana tercantum dalam dokumen-dokumen lingkungan dapat dikenakan tuntutan sebagai konsekuensi dari penerapan  polutter pays principles.Dengan demikian prinsip  strict liabilityhanya dapat diterapkan apabila pengawasan oleh pemerintah telah dilakukan secara optimal namun pihak koorporasi tetap melalaikan kewajibannya untuk melakukan pencegahan-pencegahan  terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan yang telah ditentukan.

Integrasi Hukum Lingkungan  

Menurut Mochtar Kusumaatmadja,salah satu persoalan mendasar dari perkembangaan hukum lingkungan adalah memahami hukum sebagai sarana pembaharuan/pembangunan. Para ahli hukum harus memahami dan memperhatikan bahwa adanya interrelasi yang erat antara hukum dengan faktor-faktor ekonomi, sosial dan kebudayaan. Kurangnya interrelasi diatas menimbulkan dikotomi diantara ekonomi dan masalah lingkungan.

Alasan yang dikemukakan  oleh Pemohon terkait vonis denda yang melebihi nilai investasinya membuktikan bahwa keadilan holistik (ekologi, ekonomi dan sosial) yang ingin dicapai dalam konsep  sustainable development  belum terintegrasi dalam penegakan hukum lingkungan khususnya pada kasus kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan pencemaran udara dan kerusakan lingkungan. Padahal usaha untuk memenuhi keberlanjutan fungsi ekologis dilakukan tanpa mengorbankan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan fungsi sosial dalam suatu kegiatan pembangunan.

Mencermati beberapa kasus yang telah dijatuhkan vonis pada waktu belakangan ini, dapat diinterpretasikan bahwa penegakan hukum saat ini masih  incomprehensive dan cenderung menciptakan antagonisme dalam interrelasi rezim hukum lingkungan. Jika pemerintah “menang”, maka keadilan ekologis terpenuhi, sebaliknya kekalahan pemerintah dianggap sebagai simbol supremasi kepentingan ekonomi; seolah-olah ada dikotomi diantara kepentingan terkait. Pemerintah yang mewakili kepentingan rakyat seakan sedang berhadapan dengan koorporasi dan kekuasaan yudikatif sebagai penengahnya. Padahal seyogyanya persoalan lingkungan hidup yang terkait kawasan hutan harus mengedepankan prinsip holistik, integrasi dan keberlanjutan.(9) Merujuk pada konsep  sustainable development,  idealnya interrelasi antara ekologis, ekonomi dan sosial harus setimbang dan harmonis dalam keberlanjutan guna memberi manfaat bagi manusia dan alam semesta.  

Agar tercipta keadilan yang bersumber dari pertimbangan yang komprehensif maka hukum haruslah mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap dimensi secara proporsional. Hukum harus mampu mencegah perampasan hak ekologis dan hak sosial terhadap sumber daya alam yang melewati ambang batas daya dukung dan daya tampungnya sekaligus juga mencegah terputusnya pemenuhan hak ekonomi yang ada diatasnya. Menghukum pelaku perusakan lingkungan sekaligus menjamin hak ekonomi dan hak sosial si pelaku.(10)

SARAN KEBIJAKAN  

Terhadap permasalahan yang ada serta berdasarkan paparan  analisis  diatas, kami berpendapat sebagai berikut :

  1. Polutter pay, negligence,  dan  strict liability  merupakan prinsip  terintegrasi  yang mengkaitkan negara sebagai penanggungjawab pengelolaan lingkungan hidup dengan koorporasi sebagai pihak yang diderivasikan tanggungjawab melalui instrumen perizinan sehingga perlu  melakukan penguatan, pemilahan dan pencermatan  terhadap implementasinya  dengan memperhatikan kualitas dokumen pengendalian (al.Tata Ruang, KLHS, dan AMDAL) serta ketaatan koorporasi  dalam melaksanakan kewajibannya atau kelalaian  atau  kesengajaan  pemegang konsesi untuk menghindari tanggungjawab,  agar tercipta keadilan.
  2. Penerapan prinsip  strict liability  adalah  upaya preventif terkemudian setelah ditemukan adanya kelalaian yang dilakukan pemegang konsesi dengan merujuk kepada dokumen-dokumen hasil pengawasan yang telah dilakukan pemerintah. Apabila telah dilakukan upaya maksimal dalam hal pencegahan, tetapi tetap terjadi kebakaran, peristiwa tersebut harus dimaknai sebagai fakta yang terjadi diluar kehendak manusia.
  3. Untuk menghindari penerapan prinsip  strict liability  secara serampangan dikemudian hari, misalnya  jika terjadi kebakaran dan pencemaran di areal kerja kawasan hutan yang dikelola pemerintah, selaku unit manajemen pihak pengelola dapat dituntut ganti rugi  dan  atau pidana  demi keadilan,  ini akan menimbulkan problem  di  internal pemerintahan, sehingga perlu  menegaskan  bahwa  Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan  lex specialis  dari Pasal  88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan mengusulkan pembatasan terhadap Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,  sehingga memuat unsur pengecualian terhadap orang/pihak yang telah memenuhi  terlaksananya  upaya-upaya pencegahan sebagaimana tertuang dalam dokumen-dokumen lingkungan dengan pengawasan pemerintah sesuai kewenangannya.
  4. Dalam rangka memenuhi tanggungjawab negara yang dijalankan pemerintah terkait perizinan dan menjamin rasa keadilan, semangat penegakan hukum lingkungan harus diikuti dengan peningkatan kualitas dokumen lingkungan serta optimalisasi pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan izin lingkungan dilapangan,  dan memprioritaskan upaya-upaya preventif melalui rezim hukum administrasi sebagai pilihan pertama.
  5. Bahwa filosofi perizinan di bidang pengelolaan sumber daya alam adalah dalam rangka mengusahakan kesejahteraan  bersama yang sejatinya merupakan tanggungjawab negara;  melalui pengecualian terhadap hal yang seharusnya dilarang. Guna  menjamin keadilan ekologis, keadilan ekonomi, dan keadilan sosial secara holistik, maka pengajuan perhitungan tuntutan ganti rugi ekologis seharusnya fokus kepada kerugian riil dengan mempertimbangkan keberlanjutan fungsi ekonomi dan fungsi sosial terkait serta menghindari bias hitung misalnya  memasukan  nilai  kerusakan dalam hutan konsesi dengan fungsi  tata ruang produksi.

Referensi dan footnote:

1Berdasarkan Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perkara No. 25/PUU-XV/2017 perihal Pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 69 ayat (2), Pasal 88, dan Pasal 99 dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Pasal 49) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 D, dengan Acara Pemeriksaan Pendahuluan pada hari senin, 29 Mei 2017

2Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan dalam rangka Pengelolaan (termasuk Perlindungan) Sumber Daya Alam yang Berbasis Pembangunan Sosial dan Ekonomi, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 2003

bandingkan dengan pendapat Daud Silalahi yang menyatakan bahwa “dari prinsip 21 diatas terdapat dua hal mendasar dari perkembangan hukum baru yang perlu dicermati, yaitu pertama perkembangan hukum bertalian dengan hak berdaulat (sovereign right) terhadap sumber daya alam yang menimbulkan masalah hukum yang bersifat lintas batas negara (hukum internasional),  kedua, keterkaitan eksploitasi sumberdaya (sebagai bagian dari kegiatan pembangunan) dengan kebijakan pengelolaan lingkungan sebagai tanggung jawab negara (state responsibility)”.

3I Gde Pantja Astawa & Suprin Na’a, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, 2012, Refika Aditama , Bandung, hal. 112,113

4Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstistusi Suatu Negara,Mandar Maju, Bandung, hal. 12

Bagir Manan merumuskan cakupan pengertian dikuasai oleh negara atau hak penguasaan negara, sebagai berikut : Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara melalui Pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk menentukan hak wewenang atasnya, termasuk di sini bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya; Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan; Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara untuk usaha-usaha tertentu. Dimana untuk kekuasaan tertinggi negara mempunyai hak untuk : Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya; Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air, dan ruang angkasa itu; Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

5Penjelasan prinsip tanggungjawab negara dalam UUPPLH No. 32 2009 adalah negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan  dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan.

6Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, 2013, hal. 197, 199

Ridwan HR mengutip N. M. Spelt dan J. B. J. M. Ten Berg membagi pengertian izin dalam arti luas yaitu “izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam Hukum  Administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya.

7Pertumbuhan hijau berarti mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sambil memastikan bahwa sumber daya alam terus memberikan manfaat ekologis dan jasa lingkungan sebagai sumber utama kesejahteraan.

8Intergenerational Equity Principle (Prinsip Keadilan Antargenerasi) merupakan satu di antara 27 prinsip dalam konsep sustainable development yang tertuang dalam Deklarasi UNCED (United Nations Conference on Environment and Development) Rio de Janeiro Tahun 1992 dimana Negara dalam hal ini harus melestarikan dan menggunakan lingkungan serta sumber daya alam bagi kemanfaatan generasi sekarang dan mendatang. Prinsip keadilan antargenerasi ini terumuskan dalam prinsip ke-3 yang menyatakan bahwa hak untuk melakukan pembangunan dilakukan dengan memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. (The right to development must be fulfilled so as to equitably meet developmental and environmental needs of present and future generations).

9Iskandar, 2015, Hukum Kehutanan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan Berkelanjutan,Mandar Maju, Bandung, hal. 21

Menurut Iskandar, kebijakan pengelolaan kawasan hutan dan atau kebijakan perubahan kawasan hutan harus mengedepankan prinsip pelestarian fungsi lingkungan hidup diantaranya prinsip keutuhan (holistic), prinsip keterpaduan (intregated), prinsip keberlanjutan/kelestarian (sustainability).

10Jerremy Bentham, Teori Perundang-undangan, 2016, Nuansa, Bandung, hal. 421

Menurut Bentham, dalam perkara ganti rugi resmi yang paling diutamakan adalah kepentingan pihak yang dirugikan, tetapi bahkan pelaku pelanggaran sekalipun memperoleh keuntungan dalam cara ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun