Menurut Mochtar Kusumaatmadja,salah satu persoalan mendasar dari perkembangaan hukum lingkungan adalah memahami hukum sebagai sarana pembaharuan/pembangunan. Para ahli hukum harus memahami dan memperhatikan bahwa adanya interrelasi yang erat antara hukum dengan faktor-faktor ekonomi, sosial dan kebudayaan. Kurangnya interrelasi diatas menimbulkan dikotomi diantara ekonomi dan masalah lingkungan.
Alasan yang dikemukakan oleh Pemohon terkait vonis denda yang melebihi nilai investasinya membuktikan bahwa keadilan holistik (ekologi, ekonomi dan sosial) yang ingin dicapai dalam konsep sustainable development belum terintegrasi dalam penegakan hukum lingkungan khususnya pada kasus kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan pencemaran udara dan kerusakan lingkungan. Padahal usaha untuk memenuhi keberlanjutan fungsi ekologis dilakukan tanpa mengorbankan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan fungsi sosial dalam suatu kegiatan pembangunan.
Mencermati beberapa kasus yang telah dijatuhkan vonis pada waktu belakangan ini, dapat diinterpretasikan bahwa penegakan hukum saat ini masih incomprehensive dan cenderung menciptakan antagonisme dalam interrelasi rezim hukum lingkungan. Jika pemerintah “menang”, maka keadilan ekologis terpenuhi, sebaliknya kekalahan pemerintah dianggap sebagai simbol supremasi kepentingan ekonomi; seolah-olah ada dikotomi diantara kepentingan terkait. Pemerintah yang mewakili kepentingan rakyat seakan sedang berhadapan dengan koorporasi dan kekuasaan yudikatif sebagai penengahnya. Padahal seyogyanya persoalan lingkungan hidup yang terkait kawasan hutan harus mengedepankan prinsip holistik, integrasi dan keberlanjutan.(9) Merujuk pada konsep sustainable development, idealnya interrelasi antara ekologis, ekonomi dan sosial harus setimbang dan harmonis dalam keberlanjutan guna memberi manfaat bagi manusia dan alam semesta.
Agar tercipta keadilan yang bersumber dari pertimbangan yang komprehensif maka hukum haruslah mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap dimensi secara proporsional. Hukum harus mampu mencegah perampasan hak ekologis dan hak sosial terhadap sumber daya alam yang melewati ambang batas daya dukung dan daya tampungnya sekaligus juga mencegah terputusnya pemenuhan hak ekonomi yang ada diatasnya. Menghukum pelaku perusakan lingkungan sekaligus menjamin hak ekonomi dan hak sosial si pelaku.(10)
SARAN KEBIJAKAN
Terhadap permasalahan yang ada serta berdasarkan paparan analisis diatas, kami berpendapat sebagai berikut :
- Polutter pay, negligence, dan strict liability merupakan prinsip terintegrasi yang mengkaitkan negara sebagai penanggungjawab pengelolaan lingkungan hidup dengan koorporasi sebagai pihak yang diderivasikan tanggungjawab melalui instrumen perizinan sehingga perlu melakukan penguatan, pemilahan dan pencermatan terhadap implementasinya dengan memperhatikan kualitas dokumen pengendalian (al.Tata Ruang, KLHS, dan AMDAL) serta ketaatan koorporasi dalam melaksanakan kewajibannya atau kelalaian atau kesengajaan pemegang konsesi untuk menghindari tanggungjawab, agar tercipta keadilan.
- Penerapan prinsip strict liability adalah upaya preventif terkemudian setelah ditemukan adanya kelalaian yang dilakukan pemegang konsesi dengan merujuk kepada dokumen-dokumen hasil pengawasan yang telah dilakukan pemerintah. Apabila telah dilakukan upaya maksimal dalam hal pencegahan, tetapi tetap terjadi kebakaran, peristiwa tersebut harus dimaknai sebagai fakta yang terjadi diluar kehendak manusia.
- Untuk menghindari penerapan prinsip strict liability secara serampangan dikemudian hari, misalnya jika terjadi kebakaran dan pencemaran di areal kerja kawasan hutan yang dikelola pemerintah, selaku unit manajemen pihak pengelola dapat dituntut ganti rugi dan atau pidana demi keadilan, ini akan menimbulkan problem di internal pemerintahan, sehingga perlu menegaskan bahwa Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan lex specialis dari Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan mengusulkan pembatasan terhadap Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga memuat unsur pengecualian terhadap orang/pihak yang telah memenuhi terlaksananya upaya-upaya pencegahan sebagaimana tertuang dalam dokumen-dokumen lingkungan dengan pengawasan pemerintah sesuai kewenangannya.
- Dalam rangka memenuhi tanggungjawab negara yang dijalankan pemerintah terkait perizinan dan menjamin rasa keadilan, semangat penegakan hukum lingkungan harus diikuti dengan peningkatan kualitas dokumen lingkungan serta optimalisasi pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan izin lingkungan dilapangan, dan memprioritaskan upaya-upaya preventif melalui rezim hukum administrasi sebagai pilihan pertama.
- Bahwa filosofi perizinan di bidang pengelolaan sumber daya alam adalah dalam rangka mengusahakan kesejahteraan bersama yang sejatinya merupakan tanggungjawab negara; melalui pengecualian terhadap hal yang seharusnya dilarang. Guna menjamin keadilan ekologis, keadilan ekonomi, dan keadilan sosial secara holistik, maka pengajuan perhitungan tuntutan ganti rugi ekologis seharusnya fokus kepada kerugian riil dengan mempertimbangkan keberlanjutan fungsi ekonomi dan fungsi sosial terkait serta menghindari bias hitung misalnya memasukan nilai kerusakan dalam hutan konsesi dengan fungsi tata ruang produksi.
Referensi dan footnote:
1Berdasarkan Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perkara No. 25/PUU-XV/2017 perihal Pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 69 ayat (2), Pasal 88, dan Pasal 99 dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Pasal 49) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 D, dengan Acara Pemeriksaan Pendahuluan pada hari senin, 29 Mei 2017
2Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan dalam rangka Pengelolaan (termasuk Perlindungan) Sumber Daya Alam yang Berbasis Pembangunan Sosial dan Ekonomi, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 2003
bandingkan dengan pendapat Daud Silalahi yang menyatakan bahwa “dari prinsip 21 diatas terdapat dua hal mendasar dari perkembangan hukum baru yang perlu dicermati, yaitu pertama perkembangan hukum bertalian dengan hak berdaulat (sovereign right) terhadap sumber daya alam yang menimbulkan masalah hukum yang bersifat lintas batas negara (hukum internasional), kedua, keterkaitan eksploitasi sumberdaya (sebagai bagian dari kegiatan pembangunan) dengan kebijakan pengelolaan lingkungan sebagai tanggung jawab negara (state responsibility)”.
3I Gde Pantja Astawa & Suprin Na’a, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, 2012, Refika Aditama , Bandung, hal. 112,113
4Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstistusi Suatu Negara,Mandar Maju, Bandung, hal. 12