Mohon tunggu...
steven kambey
steven kambey Mohon Tunggu... Ilmuwan - Tulisan adalah kata yang abadi

Mencintai Kebenaran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Implementasi Trilogi Prinsip Polluter Pay, Negligence, dan Strict Liability

5 Juni 2017   08:57 Diperbarui: 5 Juni 2017   09:42 2635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedangkan prinsip  strict liability  adalah  Pencemar bertanggungjawab  apabila terjadi kerugian tanpa melihat apakah ia telah mengambil langkah pencegahan secara optimal atau tidak(bandingkan Pasal 88 UU PPLH 2009).  Hal ini dimaksudkan agar calon pencemar akan melakukan pencegahan  semaksimal  mungkin karena kerugian akan semakin  minimal ketika pencegahan maksimal dilakukan.

Bahwa setiap pencemaran  yang terjadi harus dipertanggungjawabkan maka asas pencemar membayar  (polluter pays  principles)  menderivasikan tanggungjawab pencemaran lingkungan dari negara kepada pihak pemegang konsesi, sekaligus menegaskan bahwa resiko pencemaran yang terjadi dari  dan  atau akibat  setiap kegiatan usaha menjadi tanggungjawab pemegang izin baik akibat kelalaiannya  (negligence)  maupun karena tanggungjawab mutlak (strict liability) yang melekat atas perizinan.  Implementasi Trilogi prinsip pertanggungjawaban pencemaran dan kerusakan lingkungan tersebut, dapat dibuat urutan mekanisme penegakan hukumnya sebagai berikut :  

Dok.pribadi
Dok.pribadi
upaya-upaya preventif oleh negara  melalui penerapan  polluter pays principles  (dalam mekanisme/syarat perizinan dan internalisasi biaya resiko lingkungan)  –  upaya-upaya pencegahan maksimal oleh pemegang konsesi  di bawah pengawasan pemerintah guna menghindari  kelalaian  (negligence)  –  upaya penegakan hukum perdata lingkungan dengan menggunakan prinsip strict liability.

Hak Menguasai Negara Melalui Instrumen Perizinan

Sebagaimana di kutip dari  Muchtar Affandi  dalam tulisan  I Gde Pantja Astawa  dan Suprin Na’a, menurut  Paul Laband  dan  George Jellinek,  kekuasaan tertinggi terdapat pada pemimpin Negara karena itu Negara adalah satu satunya sumber segala kekuasaan. Sudah menjadi kodrat alam bahwa daratan bumi yang dihuni manusia telah dibagi habis oleh organisasi Negara secara  geografis. Oleh karenanya, negaralah satu-satunya merupakan sumber kedaulatan. Penerapan hukum mengikat disebabkan karena dikehendaki oleh negara yang menurut kodrat memiliki kekuasaan mutlak.(3)

Pasal 33 UUD NRI 1945 yang memberikan hak kepada Negara untuk menguasai sumber daya alam  demi  kesejahteraan rakyat.  Selanjutnya hak menguasai negara menjadikan negara satu-satunya pemegang kewenangan terhadap pengelolaan sumber daya alam.(4) Implementasi kewenangan pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan secara mandiri maupun melalui tangan pihak lain yaitu perorangan, kelompok maupun koorporasi melalui instrumen hukum perizinan.  

Perizinan sejatinya merupakan instrumen negara melalui pemerintah untuk menjalankan kewajiban menghadirkan kesejahteraan rakyat yang melekat bersamaan dengan hak menguasai sumber daya alam. Karena keterbatasan daya dan dana yang dimilikinya maka pemerintah melibatkan pihak lain untuk mengelola dengan  sistem profit share melalui PNBP, Royalti dan Pajak yang dikenakan kepada pemegang izin. Pemberian perizinan kepada pihak tertentu tidak melepaskan tanggungjawab negara(5)  terhadap pengelolaan SDA karena  itu dibutuhkan sistem pengawasan yang memadai(6)  sebagai  early warning  terhadap potensi pelanggaran dan guna memastikan terpenuhinya tujuan utama diberikannya suatu konsesi. Sistem pengawasan pemerintah yang efektif menjadi penilaian awal, periodik dan berjenjang untuk menilai motivasi dan kinerja koorporasi pemegang izin sehingga sejak awal penegakan sanksi administratif dapat diterapkan guna mencegah pelanggaran yang lebih jauh dengan resiko kerusakan lingkungan yang lebih parah  atau pencemaran lingkungan.  Dalam kerangka menggapai keadilan yang proporsional, penerapan hukum administrasi merupakan tahapan yang seharusnya wajib dilewati sebelum melakukan tuntutan ganti rugi perdata dan pidana. Pelaksanaan sistem pengawasan yang lemah menempatkan pemerintah sebagai pihak yang sama bertanggungjawab terhadap pencemaran atau kerusakan lingkungan yang terjadi.

Indonesia telah memasuki fase  green growth strategy,(7)  dalam fase ini penerapan kewenangan pengelolaan Negara terhadap SDA yang dilakukan melalui konsesi kepada koorporasi,  seharusnya telah dilakukan secara selektif  dengan syarat yang  ketat.  Hanya perusahaan yang layak secara finansial, manajemen dan memiliki orientasi kelola lingkungan yang baik yang dapat diberikan konsesi.  Pemanfaatan SDA untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan meminimalisir sekecil mungkin dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan demi menjamin terwujudnya  intergenerational equity principles.(8) Oleh karenanya, instrumen pengendalian lingkungan hidup melalui dokumen Tata Ruang,  KLHS dan AMDAL yang merupakan kesepakatan para pihak yang berkepentingan merupakan wujud keadilan kontekstual yang dicapai pada waktu tertentu melalui toleransi semua pihak terhadap sebuah kegiatan pembangunan, dengan demikian harus secara optimal dan berkesinambungan terjaga kualitasnya.

Dokumen-dokumen tersebut diletakkan pada tahap perencanaan sebagai upaya pencegahan dini kerusakan dan pencemaran lingkungan yang diprediksi akan terjadi dikemudian hari dan merupakan  bentuk kehati-hatian pemerintah  (precautionary principle)  dalam menerbitkan perizinan. Kesalahan yang terjadi dalam penyusunan dokumen-dokumen tersebut dapat menyebabkan sistemic error yang berujung pada perusakan lingkungan dan seharusnya menjadi tanggungjawab bersama antara pemberi izin dan pemegang konsesi.  

Kualitas kebenaran dokumen terkait lingkungan sangat menentukan terhindarnya suatu kegiatan eksploitasi SDA dari peristiwa pelanggaran hukum dan kejahatan lingkungan. Jika dokumen-dokumen lingkungan telah disusun dengan kualitas tinggi dan diimplementasikan dengan baik dan benar, maka seharusnya bila terjadi kasus misalnya kebakaran hutan dan lahan di dalam areal konsesi  yang  disebabkan oleh alam maupun pihak lain dan  menimbulkan pencemaran udara, maka hal tersebut merupakan tanggungjawab bersama stakeholder yang ada dan dapat dikategorikan sebagai bencana alam (unprediction/disaster)sehingga koorporasi yang bersangkutan  dapat  terhindar dari tuntutan hukum. Namun pencemaran asap yang disebabkan oleh kebakaran yang terjadi di dalam areal konsesi akibat dari kelalaian koorporasi (negligence) melakukan upaya-upaya pencegahan sebagaimana tercantum dalam dokumen-dokumen lingkungan dapat dikenakan tuntutan sebagai konsekuensi dari penerapan  polutter pays principles.Dengan demikian prinsip  strict liabilityhanya dapat diterapkan apabila pengawasan oleh pemerintah telah dilakukan secara optimal namun pihak koorporasi tetap melalaikan kewajibannya untuk melakukan pencegahan-pencegahan  terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan yang telah ditentukan.

Integrasi Hukum Lingkungan  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun