SUP KASPAROV
Oleh. Rohmat Sholihin*
Keahlian caturmu itu kau dapatkan dari penjara. Ceritanya panjang. Dan kau belum genap berumur lima belas tahun saat itu. Ketika sebuah keputusan kau tentukan dengan pikiranmu yang belum matang. Menyudahi orang yang menuduhmu sebagai maling pisang. Ceritanya begini:
Pagi masih belum beranjak. Kaki kecilmu dengan kuat menarik sapi-sapi milik juraganmu, H. Abdul keluar kandang. Kau talikan sapi-sapi itu ditempat lapang dengan cekatan. Lalu masuk lagi mengambil cangkul, sapu dan ikrak. Kau dengan sabar membersihkan kandangnya. Kotoran-kotoran sapi itu kau tumpuk disamping kandang hingga menggunung. Bau kotoran dan air kencing sudah menjadi hal yang biasa pada lubang hidungmu, tak ada sedikitpun rasa  jijik dalam benakmu. Kau telah menikmati kerja menjadi tukang penggembala sapi milik H. Abdul semenjak kau berusia tujuh tahun. Terlalu kecil kau bekerja seperti itu. Dunia indah anak-anak yang penuh dengan bermain dan canda-tawa lenyap sudah. Tak pernah kau sedikitpun mengenyam dunia pendidikan seperti halnya anak-anak yang lain. Duniamu hanya sibuk dengan sapi-sapi, rumput, kotoran, ladang juga hutan. Bapakmu telah pergi beberapa tahun yang lalu karena disentri, ibumu menyusul setahun kematian bapakmu setelah pulang dari ladang karena kelelahan. Penderita hepatitis tak boleh terlalu lelah, namun siapa lagi yang akan menghidupimu? Jika tidak ibumu. Setelah kedua orang tuamu pergi tak ada lagi yang mengurus hidupmu. Kau ikut dan tinggal pada H. Abdul. Orang yang paling disegani di kampung Soko. Sapinya terbilang banyak dan tanahnya luas. Kau tumbuh dan kembang oleh naluri alam, belajar dengan pohon, belajar dengan angin, hujan, sawah, sapi bahkan sungai dan rerumputan. Tak tahu dunia aksara, kau menjadi anak yang buta huruf. Dan rasa kecewa pernah kau rasakan ketika teman-teman sebayamu sibuk dengan sekolah kau sibuk dengan sapi-sapi yang hanya bisa mengajari mengemeh itu.
Setelah kau bersihkan kandangnya hingga bersih. Lalu, dengan semangat membawa sapi-sapi itu menuju hutan. Dengan nyanyian hati yang suram kau berjalan menyusuri jalan-jalan setapak. Tak ada harapan dalam hatimu hanya sapi-sapi yang terlintas dalam otakmu meski tak ikut punya. Hanya sebagai tukang pangon[1]. Membaca tak kenal, apalagi menulis. Menghitung sedikit-sedikit bisa meski hanya menghitung nominal uang. Ia pun seperti biasa melewati ladang milik Kang Rojak yang terkenal sebagai jagoan di kampung Soko ini. Bertahun-tahun ia lewati tak pernah ada masalah, hanya pagi ini ketika ia sedang lewat ia melihat seekor burung betet bertengger di tandan pisang milik Kang Rojak. Ia berniat mengambil burung betet itu dengan tujuan akan ia jual. Lumayan uangnya bisa untuk minum kopi dan beli rokok diwarung Yu Minten dekat pohon-pohon bambu yang sejuk. Ia pun dengan cepat menghampiri burung betet itu. Dengan enteng ia meloncat. Namun burung betetnya kabur. Tak berhasil ia tangkap.
"Ah..sial." Katamu.
"Hei...Sup, mau apa kau? Kau mau ambil pisangku ya." Bentak Kang Rojak yang kebetulan ada diladangnya.
"Tidak, Kang, tadi ada burung betet bertengger disini ketika mau aku ambil, ia kabur." Jawab Sup.
"Alasan, kau kira aku buta. Oh berarti selama ini pisang-pisangku yang hilang itu kau yang ambil." Tuduh Kang Rojak.
"Ah, Kang, aku tak pernah mengambil pisangmu, Kang."
"Bohong, buktinya kau tertangkap basah oleh mataku yang masih sehat ini." Bentak Kang Rojak sambil menghampiri Sup. Lalu ditempeleng kepala bocah itu hingga terjungkal.
"Sumpah Kang, aku tak pernah mengambilnya." Sekali lagi Sup membantah dengan mengaduh karena kepalanya ditempeleng sambil berusaha bangkit.
"Biangsat, kau ya, kecil-kecil sudah pandai berbohong." Gertak Kang Rojak.
"Pergiiii." Bentaknya sekali lagi.
Tak ada alasan lain, iapun pergi dengan luka hati yang mendalam. Lalu menjadi dendam.
Ia pun mulai berpikiran jahat. Karena kecewa dalam hatinya telah bercampur dengan amarah dendam. Beberapa hari ia selalu mempelajari kebiasaan-kebiasaan Kang Rojak mulai warung kopi tempat ia mangkal, tempat duduknya, gaya bercandanya, dan tentu saja anak keturunan dan keluarganya. Bahkan juga kebiasaan-kebiasaan buruk yang sering dilakukan kepada banyak orang tak luput dari pengawasannya. Kang Rojak memang sungguh keterlaluan. Ia menjadi jagoan dikampungnya karena telah terdengar kabar bahwa ia sedang mencuri kayu di hutan pernah ia dikepung dirumahnya oleh beberapa polisi yang mengejarnya. Ia kabur lalu ditembak namun tembakannya hanya mengenai betisnya dan iapun berhasil lolos dan pergi bertahun-tahun tidak pulang hingga kasusnya pun ditutup. Ketika kembali ia pun menguasai kampungnya. Banyak orang segan kepadanya karena bedil polisi pun tak mempan menembus tubuhnya. Hanya kena kakinya, itupun ia masih bisa berjalan seperti biasa. Tak terlihat seperti pernah ditembak oleh polisi, masih tetap kuat dan tegar. Banyak orang berpikiran ia punya ilmu kebal.
Kemarahan Sup semakin menjadi-jadi hingga membuncah. Ketika Kang Rojak menyebar berita itu pada semua orang. Diwarung, dipasar, bahkan di mana-mana. Â Semua orang hanya diam tidak menanggapinya karena apalah arti setandan pisang. Dan itupun belum tentu benar kejadiannya, Sup telah berkata jujur di warung Yu Minten bahwa ia tidak mengambilnya hanya akan mengambil burung betet yang kebetulan bertengger dipohon pisang milik Kang Rojak.
"Aku dituduh ambil pisang Kang Rojak, uh, ngawur itu!" Katanya di warung Yu Minten sambil nyruput kopi suatu malam.
"Berani lo Sup kamu sama Kang Rojak?" Tanya temannya.
"Berani, Kang, aku tidak bersalah."
"Terus hanya berani saja, mau kau apakan? Percuma kau lawan dia, kecuali...." Temannya menimpali lagi.
"Kecuali apa kang?" Teman satunya lagi penasaran.
"Habisi."
"Hush, gak benar itu Sup. Sudah tak usah dimasukkan hati omongan-omongan itu. Simpan saja. Sabar."
Sup hanya diam. Memainkan rokoknya dengan tenang. Dalam hatinya semakin berteriak. "ku bunuh kau Rojak." Bisik hatinya.
Warung Yu Minten masih ia pandangi dengan seksama. Ruangannya yang tidak terlalu luas namun cukup nyaman. Letak duduknya dengan kursi warung yang terbuat dari papan kayu jati setebal empat centimeter, samping kanan, kiri dan depan. Kira-kira panjangnya dua meter. Yang paling menarik dalam pikirannya adalah pohon jambu batu depan warung. Ia membayangkan jika ia menghabisi Kang Rojak dari atas pohon jambu batu itu dengan menebaskan parangnya dari atas pada lehernya. Ia pasti akan mati. Tak berapa lama iapun pamit pada teman-temannya yang masih asyik ngobrol di warung.
"Halah, Sup baru jam segini kok sudah pulang. Awas lo dicegat Kang Rojak lo." Ledek temannya. Sup hanya diam saja, terus saja ia berjalan.
Esoknya, pagi setelah sholat shubuh, Sup sudah siap dirumah majikannya H. Abdul. Ia mulai dengan mengasah sabit dan parang dibelakang rumah majikannya yang besar itu. Sekitar satu jam lebih parang itu diasah dengan tekun. Rambut saja ditaruh diatas parang lalu ditiup, putus. Tajam tak terperikan. Ia membawa parang karena ketika ke hutan ia akan melewati ladang milik Kang Rojak. Siapa tahu Kang Rojak akan melukainya. Ia mulai terus waspada. Waspada dengan dendam yang membara.
"Sarapan dulu, Sup. Itu sudah disiapkan." Perintah H Abdul.
"Ya, Mbah, sebentar."
"Untuk apa mengasah parang setajam itu. Untuk apa, Sup?" Tanya H. Abdul pelan dan penasaran. Karena tak biasanya Sup mengasah parang dengan setajam itu.
"Ya buat jaga-jaga, Mbah. Di hutan juga banyak hewan buas."
"Hewan diusir pakai sabitmu itu sudah bisa tak harus parang, Sup."
"Aku ini dituduh Kang Rojak mencuri pisangnya, Mbah. Padahal sedikitpun tidak. Sepertinya Kang Rojak ini syirik terhadapku, Mbah. Ia telah menyebar fitnah diwarung-warung jika aku ini pencuri pisangnya yang sering hilang." Jelas Sup.
"Dan kau mau membunuhnya?"
"Iya, Mbah."
"Kamu berani, lo. Kang Rojak itu pengalaman dan disegani dikampung ini. Tak usah kau lakukan niatmu itu. Bisa kau yang mati, Sup."
"Jika kalau yang mati harus aku, tak masalah, Mbah. Aku tak punya apa-apa dan tidak punya siapa-siapa."
"Kalau kau masuk penjara?"
"Tak masalah, Mbah, aku tak takut penjara."
"Sudahlah urungkan saja niatmu itu. Kau itu masih kecil, belum mampu melukai Rojak apalagi bisa membunuhnya, Sup."
Tak ada balasan dari Sup. Ia langsung pergi meninggalkan H. Abdul yang masih berdiri mematung. Ia menuju dapur untuk mengambil sarapannya. Tak lama ia pun pergi meninggalkan rumah H. Abdul bersama dengan sapi-sapinya yang telah berjalan didepannya.
Berhari-hari Sup terus berlatih kekuatan tangannya dan kakinya. Ada bantalan karet dari ban dalam mobil yang telah diguntingi sesuai dengan ukuran yang ia butuhkan, lalu dipasang dipohon mangga belakang rumah H. Abdul, setiap latihan ia selalu menarik tali karet itu, tangan kanan, 50 kali dan tangan kiri,50 kali bergantian. Belum lagi push up-nya dibatu-batu kali lebih dari 100 kali jika ia akan mandi di kali. Semua itu demi kekuatan pada lengan tangannya dan tumpuan kuda-kuda pada kakinya. Ketika digunakan untuk menebas leher musuh dengan parang bisa sekali tebas langsung putus.
Dan berita ancaman Sup hanya ancaman yang remeh bagi Kang Rojak yang telah berpengalaman dalam hal bunuh-membunuh.
"Cah angon sampek sak piro nyaline,[2]bisanya cuma maling pisang." dalam hati Kang Rojak.
"Kang Rojak mau dicari Sup, Kang." Celetuk Tarnu dipojok warung sedang asyik dengan kopinya.
Â
"Iya, dimana dia?" Seketika raut mukanya berubah merah.
"Itu, ada dibelakang."
"Ajak sini, mau nantang saya."
"Sup, ini tadi katanya cari Kang Rojak."
Tak lama Sup pun masuk dari pintu belakang. Belum juga duduk tangan kekar Kang Rojak mendarat dipipi sebelah kanan hingga Sup meraung kesakitan.
"Bajingan tengik. Kecil-kecil sudah belajar mencuri." Bentak Kang Rojak.
"Siapa yang mencuri toh Kang. Aku hanya ambil burung betet."
Tangan kekar Kang Rojak mendarat lagi dipipi Sup.
"Bangsat kau, sudah pandai berbohong ya."
"Siapa yang berbohong, Kang."
"Kau."
"Bohong kau, Kang."
"Kau mau nantang aku ya. Anak ingusan."
Sup tak mau menjawab, ia pun keluar warung lagi dari pintu belakang. Lalu ia mengambil parang yang telah ia taruh didekat pohon pisang, ia pun segera naik pohon jambu depan sebelah kanan pintu.
"Ayo Kang Rojak kalau berani keluar, jangan di dalam warung, ayo diluar!" Tantang Sup. Tanpa pikir panjang Kang Rojak meloncat dari kursinya dan segera keluar tanpa pikir panjang jika Sup telah merancang untuk membunuhnya.
Ketika baru keluar berapa meter dari depan pintu. Dari atas pohon jambu Sup meloncat sambil mengayunkan parang tepat dileher Kang Rojak. Sekali tebas leher Kang Rojak hampir putus. Darah muncrat, tercecer-cecer ke tanah, semua orang menjerit pergi berlari meninggalkan warung, hanya ada Sup dan Kang Rojak yang menggelepar-gelepar. Tanpa bicara, Sup meninggalkan Kang Rojak dengan leher yang hampir putus. Ia pun pergi ke rumah H. Abdul.
Dengan parang yang masih terhunus Sup mendatangi rumah H. Abdul.
"Mbah, mulai sekarang aku sudah tak lagi bisa menggembalakan sapi-sapimu." Kata Sup.
"Kenapa?" Tanya H. Abdul kaget.
"Kang Rojak telah aku bunuh, Mbah. Aku minta uang Mbah untuk hidup dipenjara."
"Kau lapor dulu sama Mbah Lurah Nandar, baru nanti kesini lagi aku kasih uang. Bawa parangmu itu sebagai barang bukti." Perintah H. Abdul. Dan tanpa pikir panjang Sup segera menuju rumah Mbah Lurah Nandar. Dalam hati H. Abdul seakan tak percaya seorang jagoan Rojak harus mampus ditangan anak ingusan yang hanya bisa menggembala sapi.
'Tok...tok...tok..." suara pintu diketuk dengan keras.
"Mbah Nandar, ini aku Sup. Mbah Nandar, buka pintu!"
Tak lama pintu pun dibuka.
"Ada apa Sup? Kok gugup begitu."
"Itu Mbah Rojak aku habisi."
"Habisi apanya?"
"Ini parangnya, Mbah. Aku minta uang Mbah untuk bekal di hukuman."
"Tak takut kamu dihukum?"
"Tidak Mbah."
"Ya sudah tunggu sebentar lagi aku antarkan kau ke polisi."
"Kenapa Rojak kau habisi, Sup?"
"Ia menuduhku ambil pisangnya, padahal tidak, ya, aku bunuh saja." Jawabnya polos.
Lurah Nandar tak habis pikir. Masalah kecil harus berakhir dengan pembunuhan.
Setelah kau menyerah ke polisi tak ada lagi kabarmu bertahun-tahun. Apa yang telah kau lakukan orang tak lagi memperbincangkannya. Anak keturunan Kang Rojak sudah tak lagi mempermasalahkannya. Istri Kang Rojak bahkan telah menikah lagi dengan saudagar beras yang lebih baik perangainya dari Kang Rojak. Begitu juga anak-anaknya telah tumbuh kembang dengan baik dan penuh kebahagiaan bersama bapak barunya.
Dihari menjelang idul fitri. Kampung telah menjadi ramai. Banyak warga kampung yang telah bekerja dikotapun mudik. Berbaur kembali dengan suasana yang ceria dan canda, tawa dikampung Soko. Hampir semua seisi kampung pun terkejut kehadiran Sup yang telah berubah menjadi seorang pemuda yang matang. Ia telah berubah ketika aku lihat beberapa tahun yang lalu ketika dia menyerahkan diri pada polisi. Kini, ia terlihat tenang meski mulai pandai berbicara dan bercerita. Banyak ia bercerita tentang kisah-kisahnya selama dalam penjara. Mulai dari membunuh pimpinannya dipenjara sehingga masa tahanannya ditambah lagi tujuh tahun dan diungsikan ke LP Nusakambangan. Ada lagi kisah yang paling mengesankan yaitu keahlianmu dalam bermain catur, sungguh kau tak lagi seperti Sup yang dulu sebagai anak gembala sapi di H. Abdul. Kau begitu menguasai dalam bermain catur. Bahkan kau sering juara dalam bermain catur dalam penjara. Penampilan caturmu seperti Gary Kasparov. Ya, sepertinya jiwamu bertemu dengan jiwa Gary Kasparov selama dalam penjara. Kini, aku lebih suka menyebutmu Supyan Kasparov daripada nama pendek Sup.
Baru beberapa hari saja dirumah sudah banyak jago-jago catur diseluruh kampung Soko dan sekitarnya kau bantai. Tak terkecuali pecatur-pecatur kabupaten tak luput dari gaya mainmu seperti Sup Kasparov. Semua orang menjadi heran bakatmu yang menggila itu, catur. Ternyata selama dipenjara kau diwarisi oleh teman se-sel mu yang akan dihukum mati berupa bidak catur perak mini seukuran kalkulator sekolah, kau utak-atik bertahun-tahun hingga kau menemukan rumus cara mematikan langkah dalam bermain catur.
Lebih gila lagi menjelang bulan Agustus, sebagai bulan kemerdekaan Republik Indonesia, kau membuat kontes terheboh. Berpuluh-puluh pemain catur melawanmu seorang dengan hadiah yang memukau. Kulkas, sepeda onthel, tas, sepatu, sandal, rokok, bahkan hadiah uang. Modalnya darimana? Ternyata ada para pemodal yang telah membiayaimu demi taruhan yang besar-besaran ini. Luar biasa keahlianmu telah juga dieksploitasi oleh para penjudi. Mereka duduk memanjang dengan menghadapi bidak caturnya sendiri-sendiri, kurang lebih seratus pecatur, dan kau dengan santai memulai start dari awal lalu berikutnya sampai tuntas, tak ada yang bisa mengalahkanmu. Dari seratus pecatur hanya satu yang seri atau remis, lainnya tak berkutik. Benar-benar Sup Kasparov.
Namamu kembali melambung seperti artis. Terkenal sebagai manusia yang mempunyai keahlian catur super hebat. Apa yang kau lakukan dengan kehebatanmu. Ternyata penyakit dari penjara tak bisa hilang seutuhnya. Hobimu minum arak semakin menghebat. Apa ini salah satu akibat dari ketenaran? Banyak orang-orang yang menasehatimu tentang kebiasaan buruk itu, jawabmu juga sungguh aneh. "Dari arak ini aku menemukan cara bertahan yang baik dalam bermain catur." Meski semua orang tak paham tentang ungkapanmu itu. Yang hanya mereka tahu bahwa kau dengan arak hanya akan membuatmu celaka. Buktinya kau sebagai orang yang berani, pemain catur hebat, mati karena jatuh dari sepeda onthelmu ketika akan pulang ke rumah akibat mabuk arak. Sepeda onthelmu yang kau tunggangi nyungsep ke sungai dan kau yang dalam keadaan mabuk berat ikut nyungsep ke sungai dengan posisi kepalamu menancap ke lumpur. Ketika tubuhmu diangkat oleh orang-orang, mulutmu telah terkoyak-koyak dimakan hewan yuyu[3]. Oh, Sup telah berpulang dengan sebutan terakhir Sup Kasparov. Dan bidak catur mini perakmu juga ikut lenyap entah kemana? Tak ada yang tahu. Dan kau mati seperti diskak oleh kuda hingga nyungsep.
*Penulis anggota komunitas kali kening.
[1] Buruh menggembala hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing, dan sebagainya.
[2] Anak gembala sampai seberapa besar keberaniannya .
[3] Sejenis kepiting air tawar yang hidup disungai dan sawah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H