Mohon tunggu...
Cerpen

Aura Ketika Berlibur di China

22 September 2017   16:24 Diperbarui: 22 September 2017   16:41 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aura Ketika Berlibur di China

Oleh. Rohmat Sholihin*

Aura, sekarang kau sudah naik kelas empat. Kau mendapatkan peringkat delapan dikelasmu. Tak apalah, peringkat delapan sudah bagus. Peringkat tak harus satu. Dan sesuai dengan janji ayahmu jika kau mendapatkan peringkat sepuluh besar kau akan diajak berlibur di China.

Betapa senangnya hatimu. Siang, malam selalu tersenyum riang gembira. Tak sabar ingin segera terbang berlibur kesana. Kenapa harus ke China? Karena ayahmu ada bisnis di China. Kebetulan bersamaan dengan libur sekolahmu. Ayahmu seorang pengusaha kayu dan akan mengirim kayu jati dalam jumlah besar dan berkualitas super dan terbaik didunia, jati Randublatung-Blora.

Waktu yang kau tunggu-tunggupun tiba. Dengan pesawat China Ailines kau terbang melintasi gunung dan samudera. Tinggi membius langit, memecah awan dan menerjang angin. Selang enam jam kaupun sampai. Wajah tegangmu dari efek perjalanan udara perlahan-lahan sirna. 

Senyum seutas manis kembali tersimpul dari bibirmu yang mungil. Dan kaupun bergegas menuju hotel untuk beristirahat dengan ayah dan mamamu. Melepas lelah, penat, dan rasa kantuk. Tapi kau terlihat tetap segar dan bahagia, rasa capek hilang termakan oleh rasa senang. Kini, kaki mungilmu telah berjejak di bumi Negeri Tirai Bambu. Negeri yang punya tembok besar. Dan negeri yang dengan jumlah penduduk terpadat didunia, 1 milyar lebih. Negeri yang terkenal dengan slogan tak perduli kucing warna apa yang penting bisa menangkap tikus, Mr. deng Xiaoping.

Malamnya kau bersama dengan ayah dan mamamu menikmati malam di kota Shenzen. Gemerlap dan mengasyikkan, seakan-akan kau berdiri mematung di kota Jakarta, tepatnya Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Kota Shenzen ini hampir mirip Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta, di Shenzen disebut (CFCV), China Folk Culture Villages lebih menonjolkan hasil kebudayaan-kebudayaan bangsa China. Shenzen dikemas menjadi pertunjukan budaya 56 suku bangsa China dan 24 kampung dalam ukuran yang sebenarnya, lengkap dengan berbagai kesenian, tradisi, dan arsitektur berbagai macam suku China.

Tak henti-hentinya kau tersenyum bahagia, bisa menikmati kota Shenzen dengan ayah dan mamamu. Dan kau menjadi banyak tahu suku-suku yang ada di China. Persis juga di negerimu sendiri punya banyak suku-suku bangsa yang sulit kita sebutkan satu-persatu karena terlalu banyak. Lebih dari 300 suku bangsa sebagai saudaramu sendiri di bumi pertiwi, Indonesia. Juga mempunyai kebudayaan-kebudayaan serta tradisi yang unik dan eksotis.

"Aura, dinegeri kita sendiri juga punya banyak suku-suku bangsa. Dan itu semua adalah saudara kita. Kita hidup dalam satu naungan negara besar yaitu Indonesia." Jelas ayahmu dengan memegang pundakmu dengan pelan.

            "Oh iya, Ayah."

            Mama yang dari tadi hanya tersenyum gembira kini mulai ikut bicara.

            "Manusia telah terpecah menjadi bangsa-bangsa dan suku-suku, tapi setidaknya itu bukan berarti menjadi alasan untuk saling menguasai namun lebih indah untuk saling mengenal dan bekerja sama dengan bahasa dan karakter sebagai manusia."

            "Betul itu, Ma. Ayah setuju. Kita berlibur disini bukan hanya untuk jalan-jalan dan bersenang-senang tapi Ayah ada urusan bisnis dengan Mr. Chen Cihong dan besok akan kita temui dirumahnya."

            "Kenapa dirumahnya, Ayah? Tidakkah dikantor atau diruang pertemuan khusus?" Tanya Aura penasaran.

            "Sengaja Mr. Chen Cihong mengundangku dirumahnya. Ia sudah kenal dengan Ayah lebih dari dua puluh tahun dan hubungan Ayah dengan Mr. Chen Cihong sudah sangat dekat, Aura. Dan tentu saja ia akan menjamu kita, spesial lagi untukmu, Aura. Tepat di hari liburan sekolahmu." Jawab ayah tenang.

Di kota Shenzen kau juga menikmati pertunjukan CFC, Carnival Parade atau Pawai Karnaval Budaya. Kau menjerit-jerit histeris ketika melihat tari-tarian tradisional yang diperagakan dengan main egrang, lincah dan menjentik-jentik, lucu namun energik. Tak kalah hebat Dewa Monyet, Sun Go Kong juga muncul dengan adegan-adegannya yang agresif dan penuh atraktif, meloncat-loncat kesana-kemari, lincah tiada tanding persis seperti suasana dalam stasiun televisi swasta yang biasa kau lihat sore menjelang maghrib dirumah. Kau menjadi bagian dan berperan sebagai penonton.

            "Ayah, itu Sun Go Kong, hebat." Teriak Aura.

            "Iya. Luar biasa." Jawab ayah.

            "Itu ada lagi putri-putri kerajaan, Ayah. Cantik-cantik seperti karnaval dibulan Agustus di kota kita."

            "Itu, selir-selir dari Dinasti Tang, Aura."

            "Apa itu selir?"

            "Selir itu istri raja, Aura." Jawab mama.

            "Istri sebanyak itu."

            "Iya, karena suami-suami mereka ada yang telah gugur dipertempuran dan seorang raja harus bertanggung jawab. Akhirnya Raja menjadikan perempuan-perempuan itu menjadi selir." Jawab ayah sekenanya.

            "Kasihan."

            "Kenapa, Aura?"

            "Suaminya telah mati dimedan pertempuran."

            "Lihat, itu ada suku-suku dari Mongolia, Korea, Mancuria, dan Miao. Dan suku Miao itu persis dengan tipikal suku Jawa, baik kulit dan wajahnya." Ayah mengalihkan pembicaraan.

            "Persis ya, Ayah seperti kita. Suku Jawa."

            "Kau bukan hanya dari suku Jawa saja, Nak. Kau ada beberapa darah keturunan dalam dirimu. Ayah keturunan dari Jawa-Arab-Mongolia, Mamamu ada darah Jawa-Portugis-Sunda." Terang ayah dengan mendekapmu mesra. Sedangkan Mama memegang tangan Ayah erat sekali. Keluarga kecil bahagia yang sedang menikmati liburan bersama di China.

Setelah menikmati kota Shenzen hingga puas dengan segala keluh kesah keramaiannya, kaupun diajak singgah oleh ayahmu ke kota Shantou yang terletak di Guang Dong, China bagian selatan. Dikota inilah teman ayahmu Mr. Chen Cihong sebagai pengusaha besar kayu tinggal. Tak tanggung-tanggung hampir berapa juta kubik kayu setiap pengiriman ke China. Ayahmu menjadi pemasok utama kebutuhan akan ekspor kayu dibawah kendali Mr. Chen Cihong bahkan kebutuhan kayu seluruh daratan China pusatnya ada di pelabuhan kota Shantou. 

Meski juga sebagai pusat Guang Dong Goward China Circuit Tekhnology Corporation atau perusahaan pembuat layar, juga dekat dengan gedung DPR. Menarik bukan? Kau mengikuti ayahmu dengan perlahan memasuki rumah yang mirip istana, seluas 25.400 meter persegi, rumah seluas ukuran satu kecamatan, ruangan kamarnya ada 506 kamar, dan kau memilih kamar dibagian atas yang menghadap danau buatan yang dikelilingi dua patung naga raksasa dengan lidahnya yang menjulur-julur seperti api, bola matanya yang merah marah, cakar-cakar kakinya yang tajam, siungnya yang selalu basah oleh air liur, dan tubuhnya yang panjang meliuk-liuk, konon patung naga raksasa itu dibuat untuk menghormati keluarga kerajaan pada masa Dinasti Ming sebagai pemimpin yang berwibawa seperti naga.

"Huan Ying, Aura." Sapa Mr. Chen Cihong dengan bahasa mandarin sambil tersenyum lebar. Lalu menjulurkan tangan kanannya untuk mengajakmu berjabat tangan. Dan kau hanya senyum kecil sambil meraih tangannya namun kau sedikitpun tak tahu maksud dan arti ucapannya. Ayah dan mamamu mengikuti untuk berjabat tangan dengan akrab. Ayah dan Mr. Chen Cihong duduk dengan santai diruang depan yang luas dengan banyak aneka minuman dan makanan, sepertinya lebih pas dibuat ruang kafe, musik mandarin yang mendayu-dayu perlahan-lahan mulai terdengar dari piano yang telah dimainkan oleh musisi perempuan cantik, putih dan menawan. Serasa kau seperti bidadari yang baru saja turun dari langit. Asing namun bahagia.

Kau berjalan-jalan melihat ruangan luas yang penuh dengan galeri lukisan dan foto-foto, kedua bola matamu tersekat pada satu foto lusuh dan kurang pantas untuk dipajang. Tanganmu serasa kaku, kedua kakimu tak juga mau beranjak pergi, tersekat seperti patung, nafasmu yang naik turun, mulutmu terkunci rapat-rapat, alismu semakin mengerling, ayahmu dan mamamu serta Mr. Chen Cihong masih terus berbincang-bincang, mau berteriak tak sanggup, mau berlari tak kuat, hanya mematung dan kaku seperti robot. Seakan-akan perasaanmu terjerat masuk ke dalam lukisan itu. Lukisan hutan gundul dengan dikelilingi hewan-hewan yang naas dan beberapa bencana alam yang menerjang pemukiman ribuan rumah penduduk, mereka menangis, kelaparan, kehausan bahkan menjemput kematian, tanah-tanah tandus terhampar, kekeringan, tanah longsor dengan ratusan korban menghiasinya, ada mesin-mesin berat pengangkut gelondongan kayu dengan beberapa orang berpose menantang dengan gergaji sensonya ditangan kanan. Tubuhmu menjadi limbung, keringat dingin terus merembes membasahi telapak tangan dan dahimu, kau ketakutan, dan hanya ketakutan, kebahagiaan yang baru saja berputar-putar pada relung hatimu berubah drastis. Kau menjadi seperti anak yang terasuki iblis secara tiba-tiba, lalu kau menjerit sekencang-kencangnya.

            "Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak..." seisi ruanganpun menjadi kaget, sontak berlari mendekat dan memeluk tubuhmu yang telah basah oleh keringat dingin yang menghebat serta pucat pasi.

            "Ada apa Aura, kau kenapa? Kau sakit?" Tanya mamamu tergopoh-gopoh bingung. Kau masih saja diam, lalu menangis sesenggukan seperti menahan seribu godam kepedihan dalam hatimu.

            "Aura kau kenapa, Sayang, tiba-tiba kau histeris begini?" Tanya ayahmu khawatir sambil memegang dadamu yang masih tersengal-sengal.

            "Aura Wei Shenme?" Bicara Mr. Chen Cihong kaget.

            Dan kau masih terus menangis sesenggukan. Alunan musik terhenti. Semua menjadi kaget dan ikut menghampiri dirimu yang telah ketakutan. Tak lama kaupun diajak menuju kamar atas sesuai dengan pilihanmu. Kau menerawang jendela, kedua matamu tertuju pada danau dan patung naga raksasa. Perlahan-lahan suaramu keluar memecah hingar-bingar di kerajaan Mr. Chen Cihong.

            "Mama, kenapa ayah tega pada mereka?" Bicaramu pelan pada mama.

            "Ada apa Aura? Mereka siapa?" Jawab mama penasaran.

            "Mama tak lihat, ada beberapa deretan foto paling pojok, bahwa Ayah telah menghabisi hutan-hutan kita, hingga ada banyak monyet, burung, babi hutan, rusa, ayam hutan, merak, ular, tupai, dan lainnya mati karena rumahnya telah dihanguskan." Mata Aura berkaca-kaca.

            Mamamu terdiam seperti hilang ingatan. Tak kuasa ia bicara, hanya desahan nafasnya ikut larut dalam bicaramu.

            "Belum lagi bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, terus terjadi setiap tahun, Ma. Ada banyak pohon-pohon harus ditebang, jati, mahoni, sengon, trembesi, akasia, sawo, randu, akasia, semuanya hampir dihabisi oleh Ayah. Ayah telah tega merusak hutannya sendiri namun yang lain harus mati. Dan di pelabuhan kota Shantou ini semua pohon-pohon itu terkumpul. Jutaan hektar setiap tahun hutan tropis kita tinggal kenangan, Ma." Aura terus bicara ngelantur seperti tutur orang dewasa.

            Mamamu masih terus menggeleng-geleng tak percaya dan tak kuasa ia terus menangis. Kemudian menutup kedua matanya dengan tangannya yang telah menyesal. Sedangkan ayahmu tak juga datang menghampiri kamarmu karena masih sibuk berbincang-bincang dengan koleganya. Hanya ada wanita muda, cantik, rapi, menarik dengan berpakaian hitam putih mengetuk pintu kamarmu lalu masuk dan menyodorkan minuman dingin dimejamu.

Bangilan, 21 September 2017.

*Penulis anggota Komunitas Kali Kening.

             

           

           

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun