Kau berjalan-jalan melihat ruangan luas yang penuh dengan galeri lukisan dan foto-foto, kedua bola matamu tersekat pada satu foto lusuh dan kurang pantas untuk dipajang. Tanganmu serasa kaku, kedua kakimu tak juga mau beranjak pergi, tersekat seperti patung, nafasmu yang naik turun, mulutmu terkunci rapat-rapat, alismu semakin mengerling, ayahmu dan mamamu serta Mr. Chen Cihong masih terus berbincang-bincang, mau berteriak tak sanggup, mau berlari tak kuat, hanya mematung dan kaku seperti robot. Seakan-akan perasaanmu terjerat masuk ke dalam lukisan itu. Lukisan hutan gundul dengan dikelilingi hewan-hewan yang naas dan beberapa bencana alam yang menerjang pemukiman ribuan rumah penduduk, mereka menangis, kelaparan, kehausan bahkan menjemput kematian, tanah-tanah tandus terhampar, kekeringan, tanah longsor dengan ratusan korban menghiasinya, ada mesin-mesin berat pengangkut gelondongan kayu dengan beberapa orang berpose menantang dengan gergaji sensonya ditangan kanan. Tubuhmu menjadi limbung, keringat dingin terus merembes membasahi telapak tangan dan dahimu, kau ketakutan, dan hanya ketakutan, kebahagiaan yang baru saja berputar-putar pada relung hatimu berubah drastis. Kau menjadi seperti anak yang terasuki iblis secara tiba-tiba, lalu kau menjerit sekencang-kencangnya.
      "Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak..." seisi ruanganpun menjadi kaget, sontak berlari mendekat dan memeluk tubuhmu yang telah basah oleh keringat dingin yang menghebat serta pucat pasi.
      "Ada apa Aura, kau kenapa? Kau sakit?" Tanya mamamu tergopoh-gopoh bingung. Kau masih saja diam, lalu menangis sesenggukan seperti menahan seribu godam kepedihan dalam hatimu.
      "Aura kau kenapa, Sayang, tiba-tiba kau histeris begini?" Tanya ayahmu khawatir sambil memegang dadamu yang masih tersengal-sengal.
      "Aura Wei Shenme?" Bicara Mr. Chen Cihong kaget.
      Dan kau masih terus menangis sesenggukan. Alunan musik terhenti. Semua menjadi kaget dan ikut menghampiri dirimu yang telah ketakutan. Tak lama kaupun diajak menuju kamar atas sesuai dengan pilihanmu. Kau menerawang jendela, kedua matamu tertuju pada danau dan patung naga raksasa. Perlahan-lahan suaramu keluar memecah hingar-bingar di kerajaan Mr. Chen Cihong.
      "Mama, kenapa ayah tega pada mereka?" Bicaramu pelan pada mama.
      "Ada apa Aura? Mereka siapa?" Jawab mama penasaran.
      "Mama tak lihat, ada beberapa deretan foto paling pojok, bahwa Ayah telah menghabisi hutan-hutan kita, hingga ada banyak monyet, burung, babi hutan, rusa, ayam hutan, merak, ular, tupai, dan lainnya mati karena rumahnya telah dihanguskan." Mata Aura berkaca-kaca.
      Mamamu terdiam seperti hilang ingatan. Tak kuasa ia bicara, hanya desahan nafasnya ikut larut dalam bicaramu.
      "Belum lagi bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, terus terjadi setiap tahun, Ma. Ada banyak pohon-pohon harus ditebang, jati, mahoni, sengon, trembesi, akasia, sawo, randu, akasia, semuanya hampir dihabisi oleh Ayah. Ayah telah tega merusak hutannya sendiri namun yang lain harus mati. Dan di pelabuhan kota Shantou ini semua pohon-pohon itu terkumpul. Jutaan hektar setiap tahun hutan tropis kita tinggal kenangan, Ma." Aura terus bicara ngelantur seperti tutur orang dewasa.