Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Perempuan Itu

1 September 2017   07:19 Diperbarui: 1 September 2017   09:09 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangunan megah bergaya kolonial Belanda itu masih megah berdiri. Hanya orang-orangnya saja yang berganti-ganti. Orang lama pindah lalu mati. Orang baru datang menggantikan orang lama dan melakukan aktifitas seperti yang dulu. Mengurusi lumbung pangan dari berbagai macam hasil bumi. Padi, jagung, kedelai, serta kacang hijau. Masih ingat, dilantai pojok sebelah kanan dekat pohon kelapa tertera tulisan angka Agustus 1921. Mungkin pada tahun tersebut bangunan rumah ini mulai dibangun. Sudah ada sebelum negeri ini merdeka.

Bangunan rumahnya masih seperti dulu, baik warna cat, halaman, taman, dan juga tanah lapang yang telah diplester untuk mengeringkan padi. Lebih tepatnya rumah pertanian: rumah untuk pembenihan benih padi. Hanya saja kita tak bisa menyamakan suasana dan empati para penghuninya. Dulu ketika aku usia belasan tahun sering bermain dan menghabiskan waktu senja dengan teman-teman dengan bermain bola ditanah lapang itu. Asyik dan riang. 

Masa kecil yang menyenangkan. Ditemani pohon kelapa yang berjejer-jejer, pohon mangga, pohon pisang, dan tentu saja tanaman padi yang hijau menghampar. Kaki-kaki kecil kita berlari-larian mengejar bola dan harapan hingga suatu saat kita sadar, kita telah hidup dan dibesarkan pada alam yang luar biasa, indah dan menawan. Tak ada persaingan, kecuali bersaing melesakkan bola plastik ke gawang yang terbuat dari batu. Kita menyebutnya dengan sebutan "gooool", hadiah terindah dari permainan bola. Kita berteriak-teriak gembira. Seakan-akan dunia kita genggam seutuhnya. 

Bermain bola ditengah-tengah sawah yang sejuk dengan perkampungan yang sulit kita lupakan yaitu, kampung halaman. Rumah warga pinggir sawah yang berjejer-jejer dan berdempet-dempet memberikan kesan kedamaian. Suara bel kereta api kuno yang akan singgah di stasiun Bangilan menambah suasana kehidupan desaku yang permai seperti dalam kehidupan di negeri dongeng.

Setelah beberapa tahun hingga aku menginjak dewasa rumah itu masih seperti semula, masih berdiri kokoh. Hanya saja anak-anak bermain disekitar halaman tak aku temukan lagi. Anak-anak riang bermain bola juga tak aku dapati. Anak-anak bermain layang-layang juga tak tampak, apalagi anak-anak mencari ikan disungai-sungai kecil disekitarnya, juga tak ada. Yang aku lihat semua sibuk bekerja, tanah lapang bersemen ada lagi satu. Penuh dengan padi dan jagung yang lagi dikeringkan. Taman-tamannya yang penuh dengan pohon mangga, jambu, pisang, ketela berubah menjadi taman gersang, berganti garasi mobil disisi kanan beserta mobil baru. Suara kereta api pun telah lama sirna beserta stasiunnya.

Bangunan rumah dari bambu dan sumur dibelakang tak aku temukan juga. Dulu sewaktu aku bermain petak umpet sering masuk dirumah itu dan bersembunyi ditumpukan jerami. Aman seaman-amannya. Sampai berjam-jam kawanku tak kan bisa menemukanku, hingga menjadi kesal lalu ditinggal pulang. Tinggal aku sendiri kasak-kusuk menahan rasa gatal akibat alergi jerami. Tak sadar ternyata kawanku telah lama pulang. Sungguh kasihan, tak apa, hatiku tetap merasa senang, bisa bermain sepuas-puasnya sampai petang.

Lama-kelamaan rumah bambu itu mulai berpenghuni. Seorang buruh tani dan berperan ganda menjadi penjaga rumah megah itu. Hingga awal tragedi bermula. Cerita ini sulit aku lupakan karena ada dan nyata menghiasi kehidupanku, menghiasi masa kanak-kanakku yang begitu bahagia. Seorang buruh tani mempunyai anak perempuan yang telah berumur. Namun tak juga laki-laki datang untuk melamarnya dan menikahinya. Berlarut-larut waktu itu terus berlalu. 

Tak juga ada laki-laki yang datang melamarnya. Menurut orang-orang disekitarku jika perempuan yang telah berumur dua lima tahun ke atas belum juga menikah ada dua arti, pertama: ia tak laku, kedua: ia kadaluarsa sehingga para lelaki merasa enggan untuk menikahinya. Apalagi perempuan itu dianggap oleh banyak orang ia mempunyai keanehan dan kejanggalan. Namun, aku sendiri tak pernah melihat gelagat itu karena memang aku tak paham, belum cukup umur. 

Hanya menurutku perempuan itu baik, sering memberikanku minum di saat kelelahan bermain bola. Dan aku tak melihat suatu kejanggalan pada dirinya. Menurutku semua baik-baik saja. Tapi, pemuda-pemuda sering mengartikan ia kelainan. Apanya? Aku juga tidak tahu ia masih menjadi perempuan yang baik sebagaimana perempuan pada umumnya, memasak, menimba air, menyapu rumahnya, berpenampilan sewajarnya, belanja, dan membantu kedua orangtuanya di sawah. Tak ada tanda-tanda kejanggalan, lebih tepatnya perempuan aneh. Tapi aku pernah sekali melihat beberapa pertengkaran terjadi antara perempuan itu dengan kakaknya pada suatu siang yang lengang.

"Kau semalam kemana, Ti? Anak perempuan suka kelayapan."

"Itu urusanku, kak, kenapa kau ikut campur?"

"Aku ini kakakmu, tahu? Kalau sampai terjadi sesuatu hal padamu, siapa yang tanggung jawab? Kau ini anak perempuan harus tahu bagaimana menjaga kehormatan keluargamu."

"Kehormatan apa, kak? Sok tahu kamu tentang kehormatan."

"Kehormatan sebagai anak perempuan, agar orang lain tak menganggap macam-macam padamu, Ti."

"Macam-macam...."

"Iya kau ini sudah waktunya menikah tapi belum juga datang pria yang ingin melamarmu."

"Lantas..."

"Semua pria enggan, Ti, jika melihat kau berkelakuan seperti tidak wajar, malam-malam keluar sendirian dan pulang tengah malam."

"Aku tak butuh pria yang akan menikahiku kalau menikah itu hanya urusan bawah perut, saja. Kalau sudah melakukan itu kenapa harus menikah."

"Kau ini ngawur ya, Ti. Huuus,..jangan teruskan ucapanmu. Kau ini perempuan, kenapa harus ngomong begitu?"

"Suka-suka aku, kehidupanku adalah aku sendiri, segala sesutau resiko juga aku sendiri yang menanggung, segala perbuatan yang aku lakukan aku yang merasakan, bukan kau."

"Tapi aku kakakmu, saudaramu."

"Dari dulu aku sudah tahu, kakak."

"Kau memancing kemarahanku, Ti."

"Kau sendiri yang merasa terpancing."

Perempuan itu masih saja terus menanggapi bicara kakaknya dengan memasak didapur.

"Kau itu sering kesurupan, Ti. Jika keluar sendirian berbahaya. Siapa nanti yang akan menolongmu?"

"Aku baik-baik saja. Aku sudah sembuh, ada kang I yang telah mengobatiku."

"Siapa?"

"Kang I."

Kakaknya tak bertanya lagi. Terdiam sejenak kemudian memandangi wajah adiknya  dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ada perasaan cemas dalam hati laki-laki itu. Ia pandangi wajah adiknya lagi. Ia merasa iba pada adiknya yang lama menderita penyakit epilepsi. Tubuhnya sering kejang-kejang tak ada sebab.

"Kau diobatinya?" lalu ia tanya lagi.

"Iya, kenapa?"

Kakaknya tak meneruskan pembicaraan lagi dalam hatinya menangkap kejanggalan yang belum juga ia omongkan. Ia pendam dalam-dalam dan berharap semoga hanya pikiran buruk saja yang ada pada batok kepalanya.

Setelah itu aku tak tahu pembicaraan apa lagi yang mereka bincangkan.

Hari-hari berjalan biasa tak ada yang aneh. Masih saja aku dan kawan-kawan menghabiskan waktu bermain disekitar rumah benih itu. Namun, beberapa hari aku tidak bertemu perempuan itu. Biasanya menyodorkan air minum dalam kendi tanah liat yang segar, tak pernah ada lagi. Desas-desus, ia telah pergi dari rumah tanpa pamit. Karena ia telah hamil. Dan benar apa yang dicemaskan kakaknya. Kang I-lah biangnya. Laki-laki yang telah bersuami dan beranak-pinak itu pelakunya, laki-laki yang juga bekerja sebagai kuli harian merangkap asisten mantri pertanian yang tega menodai perempuan lugu itu. Kakaknya menjadi marah, ia selalu mencari kang I, tentu saja ia ingin melukainya bahkan membunuhnya.

Beberapa bulan perempuan itu belum juga pulang ke rumah. Dan hari-hari tetap seperti biasa. Rumah tua dengan bangunan arsitektur kolonial Belanda masih tetap utuh, asri, dan sejuk. Angin sawah yang selalu berhembus lirih seakan-akan membawakan kabar damai sepanjang hari. Bumi pertiwi yang asri dan kaya selalu memberikan hasil bumi yang melimpah-ruah. 

Benih-benih selalu tumbuh dengan baik, air tetap jernih berkilau, burung-burung terus berkicau riang seriang hatiku dan kawan-kawan yang selalu menghiasi hari-harinya. Padi panen, berganti tanam jagung, jagung panen, berganti tanam kacang hijau begitu seterusnya. Hingga suatu pagi aku melihat sosok perempuan dengan perut buncit sedang termenung didepan rumah bambu. Pandangannya kosong. Aku bisa menebak siapa dia. Tapi aku tak berani menyapa karena dari raut wajahnya, terlihat ia sedang galau. Aku hanya mengawasi dari jauh sambil menunggu kawan-kawan datang untuk menyapa hari dengan main, main, main sepuasnya.

Kabarnya ia telah dinikahi oleh kang I, meski pernikahan tak resmi secara pemerintahan, tapi sah menurut agama, perkawinan siri. Namun, Kang I masih sangat jarang terlihat karena takut pada kakaknya, bisa-bisa ia dibunuh. Awalnya berlagak mengobati penyakit epilepsinya, lama-lama tergoda dengan molek tubuhnya. Akhirnya kasus pun terjadi. Ia hamil. Dan kini usia kehamilannya semakin tua. Celoteh orang-orang kampung semakin menggila, namun perempuan itu tetap seperti biasa. Ia telah menjadi dirinya sendiri dengan keterbatsan-keterbatasan yang ia miliki sebagai manusia perempuan pada umumnya. 

Hanya saja, kakak dan keluarganya yang kurang begitu suka. Ia tetap tegar dan tak pernah menyesali hasil perbuatannya. Masa bodoh dengan itu semua. Ia tetaplah perempuan yang punya naluri keibuan meski terkadang perempuan lain mencampakkan sifat itu, rela membuang bayi yang masih orok, menggugurkan janin demi menutupi aib. Ia juga ingin seperti perempuan-perempuan yang lain, menggendong anak, menyuapi anak, bersenda gurau dengan keluarga, tapi keadaan yang membuat ia harus tersisih dengan lingkungan ia hidup, sering kesurupan, gila, tak waras, epilepsi, aneh, bahkan akhir-akhir ini ia harus rela dengan julukan perempuan sundal. Ah terlalu naas sebutan itu.

Bulan Agustusan tiba. Tanaman jagung melambai-lambai menyambut rumah tua dengan mesra. Sebentar lagi dipanen dan masuk digudang. Segala hiburan digelar untuk memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Tentu saja tak ketinggalan konser musik dangdut di lapangan kecamatan. 

Penonton-penonton bergoyang dengan indahnya sesekali ada yang liar. Polisi dengan pentungan tak kuasa menahan itu semua, sebagai jalan keluar dibiarkan saja apa yang mereka suka, berjingkrak-jingkrak awuran, asal tak mengganggu para biduan yang sedang menghibur dipanggung. Tiba-tiba sekelompok orang berduyun-duyun menggerombol disuatu tempat. Semakin ramai dan ricuh. Aku penasaran untuk mendekatinya. 

"Astaghfirullohaladziim, perempuan dengan perut buncit menggelepar-gelepar kesurupan. Ya, itu kau. Apa yang baru saja terjadi? Tak ada yang tahu." Batinku bingung dan apa yang harus aku lakukan. Beberapa orang membopongnya menuju Puskesmas. Setelah itu aku tak tahu nasibnya. Hiburan dangdut tetap terus melaju, mendayu-dayu. Orang-orang masih sibuk menikmatinya.

Esoknya dan esoknya. Ia telah meninggal dalam proses persalinan bersama dengan bayi yang ada dalam rahimnya. "Innalillahiwainnalillahirojiun." Ia telah pergi bersama bayangan-bayangan yang belum pernah dicapainya. Menjadi perempuan yang ingin menggendong anak, menyuapi anak, merawat anak, dan bercengkerama dengan keluarga.

Dan rumah tua bergaya kolonial Belanda itu masih tegak berdiri, manis, pahitnya kehidupan tak pernah merobohkan dindingnya.

Bangilan, 31 Agustus 2017.

*Penulis anggota Komunitas Kali Kening.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun