Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Perempuan Itu

1 September 2017   07:19 Diperbarui: 1 September 2017   09:09 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kakaknya tak meneruskan pembicaraan lagi dalam hatinya menangkap kejanggalan yang belum juga ia omongkan. Ia pendam dalam-dalam dan berharap semoga hanya pikiran buruk saja yang ada pada batok kepalanya.

Setelah itu aku tak tahu pembicaraan apa lagi yang mereka bincangkan.

Hari-hari berjalan biasa tak ada yang aneh. Masih saja aku dan kawan-kawan menghabiskan waktu bermain disekitar rumah benih itu. Namun, beberapa hari aku tidak bertemu perempuan itu. Biasanya menyodorkan air minum dalam kendi tanah liat yang segar, tak pernah ada lagi. Desas-desus, ia telah pergi dari rumah tanpa pamit. Karena ia telah hamil. Dan benar apa yang dicemaskan kakaknya. Kang I-lah biangnya. Laki-laki yang telah bersuami dan beranak-pinak itu pelakunya, laki-laki yang juga bekerja sebagai kuli harian merangkap asisten mantri pertanian yang tega menodai perempuan lugu itu. Kakaknya menjadi marah, ia selalu mencari kang I, tentu saja ia ingin melukainya bahkan membunuhnya.

Beberapa bulan perempuan itu belum juga pulang ke rumah. Dan hari-hari tetap seperti biasa. Rumah tua dengan bangunan arsitektur kolonial Belanda masih tetap utuh, asri, dan sejuk. Angin sawah yang selalu berhembus lirih seakan-akan membawakan kabar damai sepanjang hari. Bumi pertiwi yang asri dan kaya selalu memberikan hasil bumi yang melimpah-ruah. 

Benih-benih selalu tumbuh dengan baik, air tetap jernih berkilau, burung-burung terus berkicau riang seriang hatiku dan kawan-kawan yang selalu menghiasi hari-harinya. Padi panen, berganti tanam jagung, jagung panen, berganti tanam kacang hijau begitu seterusnya. Hingga suatu pagi aku melihat sosok perempuan dengan perut buncit sedang termenung didepan rumah bambu. Pandangannya kosong. Aku bisa menebak siapa dia. Tapi aku tak berani menyapa karena dari raut wajahnya, terlihat ia sedang galau. Aku hanya mengawasi dari jauh sambil menunggu kawan-kawan datang untuk menyapa hari dengan main, main, main sepuasnya.

Kabarnya ia telah dinikahi oleh kang I, meski pernikahan tak resmi secara pemerintahan, tapi sah menurut agama, perkawinan siri. Namun, Kang I masih sangat jarang terlihat karena takut pada kakaknya, bisa-bisa ia dibunuh. Awalnya berlagak mengobati penyakit epilepsinya, lama-lama tergoda dengan molek tubuhnya. Akhirnya kasus pun terjadi. Ia hamil. Dan kini usia kehamilannya semakin tua. Celoteh orang-orang kampung semakin menggila, namun perempuan itu tetap seperti biasa. Ia telah menjadi dirinya sendiri dengan keterbatsan-keterbatasan yang ia miliki sebagai manusia perempuan pada umumnya. 

Hanya saja, kakak dan keluarganya yang kurang begitu suka. Ia tetap tegar dan tak pernah menyesali hasil perbuatannya. Masa bodoh dengan itu semua. Ia tetaplah perempuan yang punya naluri keibuan meski terkadang perempuan lain mencampakkan sifat itu, rela membuang bayi yang masih orok, menggugurkan janin demi menutupi aib. Ia juga ingin seperti perempuan-perempuan yang lain, menggendong anak, menyuapi anak, bersenda gurau dengan keluarga, tapi keadaan yang membuat ia harus tersisih dengan lingkungan ia hidup, sering kesurupan, gila, tak waras, epilepsi, aneh, bahkan akhir-akhir ini ia harus rela dengan julukan perempuan sundal. Ah terlalu naas sebutan itu.

Bulan Agustusan tiba. Tanaman jagung melambai-lambai menyambut rumah tua dengan mesra. Sebentar lagi dipanen dan masuk digudang. Segala hiburan digelar untuk memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Tentu saja tak ketinggalan konser musik dangdut di lapangan kecamatan. 

Penonton-penonton bergoyang dengan indahnya sesekali ada yang liar. Polisi dengan pentungan tak kuasa menahan itu semua, sebagai jalan keluar dibiarkan saja apa yang mereka suka, berjingkrak-jingkrak awuran, asal tak mengganggu para biduan yang sedang menghibur dipanggung. Tiba-tiba sekelompok orang berduyun-duyun menggerombol disuatu tempat. Semakin ramai dan ricuh. Aku penasaran untuk mendekatinya. 

"Astaghfirullohaladziim, perempuan dengan perut buncit menggelepar-gelepar kesurupan. Ya, itu kau. Apa yang baru saja terjadi? Tak ada yang tahu." Batinku bingung dan apa yang harus aku lakukan. Beberapa orang membopongnya menuju Puskesmas. Setelah itu aku tak tahu nasibnya. Hiburan dangdut tetap terus melaju, mendayu-dayu. Orang-orang masih sibuk menikmatinya.

Esoknya dan esoknya. Ia telah meninggal dalam proses persalinan bersama dengan bayi yang ada dalam rahimnya. "Innalillahiwainnalillahirojiun." Ia telah pergi bersama bayangan-bayangan yang belum pernah dicapainya. Menjadi perempuan yang ingin menggendong anak, menyuapi anak, merawat anak, dan bercengkerama dengan keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun