Bangunan megah bergaya kolonial Belanda itu masih megah berdiri. Hanya orang-orangnya saja yang berganti-ganti. Orang lama pindah lalu mati. Orang baru datang menggantikan orang lama dan melakukan aktifitas seperti yang dulu. Mengurusi lumbung pangan dari berbagai macam hasil bumi. Padi, jagung, kedelai, serta kacang hijau. Masih ingat, dilantai pojok sebelah kanan dekat pohon kelapa tertera tulisan angka Agustus 1921. Mungkin pada tahun tersebut bangunan rumah ini mulai dibangun. Sudah ada sebelum negeri ini merdeka.
Bangunan rumahnya masih seperti dulu, baik warna cat, halaman, taman, dan juga tanah lapang yang telah diplester untuk mengeringkan padi. Lebih tepatnya rumah pertanian: rumah untuk pembenihan benih padi. Hanya saja kita tak bisa menyamakan suasana dan empati para penghuninya. Dulu ketika aku usia belasan tahun sering bermain dan menghabiskan waktu senja dengan teman-teman dengan bermain bola ditanah lapang itu. Asyik dan riang.
Masa kecil yang menyenangkan. Ditemani pohon kelapa yang berjejer-jejer, pohon mangga, pohon pisang, dan tentu saja tanaman padi yang hijau menghampar. Kaki-kaki kecil kita berlari-larian mengejar bola dan harapan hingga suatu saat kita sadar, kita telah hidup dan dibesarkan pada alam yang luar biasa, indah dan menawan. Tak ada persaingan, kecuali bersaing melesakkan bola plastik ke gawang yang terbuat dari batu. Kita menyebutnya dengan sebutan "gooool", hadiah terindah dari permainan bola. Kita berteriak-teriak gembira. Seakan-akan dunia kita genggam seutuhnya.
Bermain bola ditengah-tengah sawah yang sejuk dengan perkampungan yang sulit kita lupakan yaitu, kampung halaman. Rumah warga pinggir sawah yang berjejer-jejer dan berdempet-dempet memberikan kesan kedamaian. Suara bel kereta api kuno yang akan singgah di stasiun Bangilan menambah suasana kehidupan desaku yang permai seperti dalam kehidupan di negeri dongeng.
Setelah beberapa tahun hingga aku menginjak dewasa rumah itu masih seperti semula, masih berdiri kokoh. Hanya saja anak-anak bermain disekitar halaman tak aku temukan lagi. Anak-anak riang bermain bola juga tak aku dapati. Anak-anak bermain layang-layang juga tak tampak, apalagi anak-anak mencari ikan disungai-sungai kecil disekitarnya, juga tak ada. Yang aku lihat semua sibuk bekerja, tanah lapang bersemen ada lagi satu. Penuh dengan padi dan jagung yang lagi dikeringkan. Taman-tamannya yang penuh dengan pohon mangga, jambu, pisang, ketela berubah menjadi taman gersang, berganti garasi mobil disisi kanan beserta mobil baru. Suara kereta api pun telah lama sirna beserta stasiunnya.
Bangunan rumah dari bambu dan sumur dibelakang tak aku temukan juga. Dulu sewaktu aku bermain petak umpet sering masuk dirumah itu dan bersembunyi ditumpukan jerami. Aman seaman-amannya. Sampai berjam-jam kawanku tak kan bisa menemukanku, hingga menjadi kesal lalu ditinggal pulang. Tinggal aku sendiri kasak-kusuk menahan rasa gatal akibat alergi jerami. Tak sadar ternyata kawanku telah lama pulang. Sungguh kasihan, tak apa, hatiku tetap merasa senang, bisa bermain sepuas-puasnya sampai petang.
Lama-kelamaan rumah bambu itu mulai berpenghuni. Seorang buruh tani dan berperan ganda menjadi penjaga rumah megah itu. Hingga awal tragedi bermula. Cerita ini sulit aku lupakan karena ada dan nyata menghiasi kehidupanku, menghiasi masa kanak-kanakku yang begitu bahagia. Seorang buruh tani mempunyai anak perempuan yang telah berumur. Namun tak juga laki-laki datang untuk melamarnya dan menikahinya. Berlarut-larut waktu itu terus berlalu.
Tak juga ada laki-laki yang datang melamarnya. Menurut orang-orang disekitarku jika perempuan yang telah berumur dua lima tahun ke atas belum juga menikah ada dua arti, pertama: ia tak laku, kedua: ia kadaluarsa sehingga para lelaki merasa enggan untuk menikahinya. Apalagi perempuan itu dianggap oleh banyak orang ia mempunyai keanehan dan kejanggalan. Namun, aku sendiri tak pernah melihat gelagat itu karena memang aku tak paham, belum cukup umur.
Hanya menurutku perempuan itu baik, sering memberikanku minum di saat kelelahan bermain bola. Dan aku tak melihat suatu kejanggalan pada dirinya. Menurutku semua baik-baik saja. Tapi, pemuda-pemuda sering mengartikan ia kelainan. Apanya? Aku juga tidak tahu ia masih menjadi perempuan yang baik sebagaimana perempuan pada umumnya, memasak, menimba air, menyapu rumahnya, berpenampilan sewajarnya, belanja, dan membantu kedua orangtuanya di sawah. Tak ada tanda-tanda kejanggalan, lebih tepatnya perempuan aneh. Tapi aku pernah sekali melihat beberapa pertengkaran terjadi antara perempuan itu dengan kakaknya pada suatu siang yang lengang.
"Kau semalam kemana, Ti? Anak perempuan suka kelayapan."
"Itu urusanku, kak, kenapa kau ikut campur?"