Aku tak pernah berpikir bahwa kita akan seperti ini. Setiap kali Rayyan bertengkar dengan pacarnya, aku adalah orang pertama yang dia cari. Dari masalah kecil seperti salah paham soal pesan singkat, hingga drama besar yang membuatnya hampir menangis, aku selalu mendengarkan. Itu sudah jadi rutinitas aku pendengar setianya, tempat dia mencurahkan isi hati.
"Aku tuh nggak ngerti lagi sama dia, aku mau putus aja, aku gamau pacaran dulu," keluhnya lagi, suatu malam. Aku hanya tersenyum kecil, meski dalam hati, aku ingin berkata, Mungkin karena kamu terlalu baik, Ray. Terlalu baik... untuk dia.
Awalnya, aku tak pernah merasa aneh. Bukankah itu yang teman baik lakukan? Tapi semakin sering dia datang, semakin sulit rasanya menekan perasaan yang perlahan muncul. Ironis, bukan? Aku mendengarkannya mencintai orang lain, sementara aku diam-diam jatuh cinta padanya.
Namun, bagaimana aku bisa mengungkapkan semuanya tanpa menghancurkan hubungan yang sudah ada? dan akhirnya aku memlih diam daripada aku menghancurkan semuanya.
Hari itu, dia kembali menemuiku dengan wajah murung. "Kayaknya ini benar-benar berakhir deh," katanya, seraya menyandarkan tubuhnya ke bangku taman tempat kami biasa duduk. Aku terdiam, menahan diri untuk tidak menunjukkan rasa lega yang muncul tanpa sadar.
"Kami bertengkar lagi. Kali ini lebih buruk dari sebelumnya. Aku capek, Nay. Capek harus selalu mengalah dan terus memaklumi kesalahan nya terus," lanjutnya.
Aku ingin berkata, Lalu kenapa kamu masih bertahan? Tapi kata-kata itu hanya tertahan di tenggorokanku. Aku tahu, dia masih mencintainya. Dan aku? Aku hanya seorang teman yang mendengarkan.
Namun, aku tetap berkata kepada dia, "Kenapa masih bertahan?" Lalu dia menjawab "Aku kasihan sama dia, kalo aku selesai sama dia terus bagaimana dengan keluarganya? mereka udah nitipin dia ke aku".
Aku menelan ludah, mencoba meredam gejolak perasaanku. Dan aku berkata "Ya berarti itu udah menjadi pilihan kamu, lalu kenapa kamu terus-menerus minta buat selesaiin hubungan itu?" jawabku pelan. "Sekarang mending kamu jalanin aja, sampai diri kamu merasa cape dengan semua itu."
Dia terdiam, tatapannya terasa lebih dalam dari biasanya. "iya, aku akan usahain itu," katanya sambil tersenyum kecil.
Aku hanya bisa membalas senyum itu, meski di dalam hati, aku bertanya-tanya: kapan dia akan menyadari bahwa tempat yang benar selama ini ada di sini, di sebelahnya?
Hari-hari berikutnya, Rayyan semakin sering datang kepadaku. Tak lagi hanya untuk mengeluh soal pacarnya, tapi juga sekadar berbicara tentang hal-hal kecil yang dulu jarang dia bagi. Kami mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama---di taman sepulang sekolah, di kelas saat jam istirahat, bahkan di malam hari melalui pesan singkat yang tiba-tiba terasa lebih intens.
Aku seharusnya bahagia, bukan? Tapi ada bagian dari diriku yang takut. Takut kalau ini hanya sementara. Bahwa ketika dia akhirnya melupakan sakit hatinya, dia akan kembali menjadi Rayyan yang dulu---teman sekelas yang melihatku hanya sebagai tempat curhat.
Namun, sesuatu berubah pada suatu sore yang mendung. Kami sedang duduk di bawah pohon besar di taman sekolah. Hujan gerimis mulai turun, memaksa kami untuk berlindung di bawah ranting yang tidak terlalu rapat. Dia menatap langit, seperti sedang berpikir keras.
"Aku dan dia sudah selesai, Nay," Aku terkejut ketika dia berkata seperti itu. "Kadang aku merasa bodoh, Nay," katanya tiba-tiba. "Aku terlalu lama bertahan di tempat yang nggak bikin aku bahagia."
Aku menatapnya, bingung harus merespons apa. "Mungkin kamu cuma terlalu sayang, Ray," jawabku, mencoba menutupi rasa gelisah.
Dia menggeleng pelan, lalu menoleh ke arahku. "Bukan itu. Aku bodoh karena nggak sadar... ada seseorang yang jauh lebih peduli sama aku."
Aku merasakan jantungku berhenti sejenak. Nafasku tercekat, tapi aku tetap mencoba bersikap biasa. "Maksud kamu?" tanyaku pelan.
Dia tersenyum kecil, senyum yang membuatku tak bisa berpaling. "Aku tahu selama ini kamu selalu ada, Nay. Jujur, aku nggak tahu gimana aku bisa lepas dari semua ini kalau bukan karena kamu."
Aku hanya bisa menatapnya, tak mampu berkata apa-apa. Hujan mulai turun lebih deras, tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin tahu, apakah kata-katanya barusan benar-benar mengarah ke perasaan yang sama dengan yang kupendam selama ini.
"Tapi aku nggak mau kehilangan kamu. Jadi, boleh nggak kalau kita mulai pelan-pelan?" tanyanya, suaranya hampir tenggelam dalam bunyi hujan.
Aku tersenyum, merasa harapan kecil dalam hatiku akhirnya menemukan jalannya. "Pelan-pelan, ya?" jawabku, setengah bercanda untuk menyembunyikan rasa gugup.
Rayyan mengangguk, lalu kami tertawa kecil di tengah hujan yang semakin lebat. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa mungkin, kami akhirnya berada di tempat yang benar.
Sejak hari itu, semuanya terasa berbeda. Kami tetap berteman seperti biasa---tertawa di kelas, berbagi cerita di taman, dan saling melempar candaan yang dulu terasa ringan. Tapi kini, ada sesuatu yang tidak lagi sama. Pandangannya terasa lebih lama saat dia melihatku, caranya menyebut namaku terdengar lebih lembut, dan sentuhan kecil di bahuku saat dia lewat menjadi lebih berarti.
Namun, hubungan kami tetap berjalan pelan, seperti yang dia minta. Tidak ada pengakuan resmi, tidak ada janji-janji besar. Hanya kami berdua yang mencoba memahami apa arti kita sebenarnya.
Tapi, tak semua orang melihatnya seperti itu. Bisikan kecil mulai terdengar di kelas. Teman-teman kami mulai bertanya, "Kalian pacaran, ya?" atau "Sejak kapan deket banget?" Aku hanya tertawa kecil, mencoba mengabaikan. Tapi di dalam hati, aku tahu---aku takut.
Bagaimana jika hubungan ini tak berakhir seperti yang kuharapkan? Bagaimana jika aku hanya menjadi tempat singgahnya sebelum dia benar-benar menemukan orang lain?
"Kenapa diem aja?" suara Rayyan memotong pikiranku. Dia duduk di hadapanku, dengan wajahnya yang terlihat sedikit serius.
Aku tersentak. "Enggak, cuma lagi mikir aja."
Dia menatapku lama, membuatku gelisah. "Nay, kalau ada yang ngganggu, bilang aja. Jangan disimpen sendiri, ya?"
Aku mengangguk pelan, tapi kali ini, aku tidak tahu bagaimana harus mengatakan apa yang ada di pikiranku.
Malam harinya, saat aku sedang melamun di tempat tidur, ponselku berbunyi. Pesan dari Rayyan.
"Aku tahu kamu masih ragu sama aku, Nay. Tapi aku mau kamu tahu satu hal: aku nggak main-main sama kita. Aku cuma butuh waktu buat ngeyakinin kamu, dan ngeyakinin diri aku sendiri juga. Tapi aku janji, aku nggak akan nyakitin kamu."
Aku membaca pesan itu berulang-ulang, mencoba memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi.
Malam itu, aku memutuskan untuk percaya. Percaya bahwa mungkin, untuk sekali ini saja, cinta tidak perlu terburu-buru. Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa bahagia karena menjadi diri sendiri---bersamanya.
Hubunganku dengan Rayyan perlahan terasa lebih serius. Kami tidak pernah benar-benar mengumumkan apa yang terjadi di antara kami, tapi teman-teman terdekat mulai menyadari kedekatan kami. Semua berjalan baik---setidaknya hingga suatu malam ketika aku sedang bersantai di kamar, sebuah pesan masuk dari Rayyan.
"Besok ada hal yang mau aku bicarakan"
Aku mengerutkan dahi, bingung dia mau ngomongin tentang apa. Tapi sebelum aku sempat membalas, pesan lain masuk:
 "Ini menyangkut Aiza."
Hatiku langsung berdegup kencang. Aku menatap layar ponsel, tak tahu harus berkata apa.
Keesokan harinya, Rayyan terlihat canggung saat kami bertemu. "Ada apa?" tanyaku, curiga dengan sikapnya.
Dia menghela napas. "Aiza tahu tentang kita."
"Tahu dari mana?" tanyaku panik.
Dia menggaruk kepalanya. "Sepertinya dari aplikasi."
"Aplikasi?"
"Tiktok," jawabnya, sambil menunjukkan layar ponselnya. Ternyata, Aiza menghack akun tiktok rayyan dan dia melihat isi pesan ku dengan rayyan.
Aku merasa darahku mendidih. "Kamu udah ngomong apa ke dia?"
"Dia nanya, dan aku bilang yang sebenarnya. Tapi dia nggak percaya. Dia bilang, aku putus sama dia karena aku pengen sama kamu, dan dia juga ngiranya kalo kita udah jadian."
Aku mencoba menahan air mata, tapi rasa takut dan sakit bercampur menjadi satu.
Masalah semakin rumit ketika Aiza mengirimiku pesan.
 "Aku akan terus mengganggu kalian, dan dia juga deketin kamu cuma buat lupain aku."
Pesan itu menghancurkanku. Apakah benar selama ini aku hanya pelarian?
Aku memutuskan untuk bertanya langsung kepada Rayyan. "Kamu masih ngehubungin dia?"
Dia terkejut dengan pertanyaanku. "Aku nggak pernah hubungin dia lagi, Nay. Kalau dia bilang begitu, itu cuma karena dia nggak terima aku udah move on."
"Tapi gimana aku bisa tahu kamu nggak bohong?"
Rayyan terdiam lama sebelum akhirnya menjawab, "Kamu nggak harus percaya omongan aku, Nay. Tapi aku bisa tunjukin semua isi ponselku kalau itu bikin kamu yakin."
Aku menatapnya lama, mencoba mencari kejujuran di matanya.
Rayyan menyerahkan ponselnya tanpa ragu. Aku memeriksa percakapannya, dan benar saja---tidak ada pesan dari Aiza.
"Lihat, aku nggak main-main sama kamu," katanya, suaranya terdengar tulus.
Aku mengembalikan ponselnya dengan perasaan campur aduk. "Aku cuma nggak mau jadi alasan orang lain sakit hati, Ray. Aku nggak mau jadi pengganti."
"Kamu bukan pengganti, Nay," ucapnya pelan. "Aku sama kamu karena aku peduli. Kalau aku masih mikirin dia, aku nggak bakal ada di sini."
Butuh beberapa hari bagiku untuk memproses semuanya. Tapi akhirnya, aku memilih untuk percaya. Aku tahu hubungan kami tidak akan selalu mudah, tapi aku ingin memberinya kesempatan---kesempatan untuk menunjukkan bahwa aku lebih dari sekadar pelarian.
Hari-hari setelah insiden itu berjalan dengan penuh ketegangan. Aku dan Rayyan jarang berbicara, meskipun kami tetap duduk berdekatan di kelas. Ada rasa canggung yang mengalir di antara kami, seolah-olah sebuah dinding tak terlihat menghalangi komunikasi kami yang dulu begitu mudah. Namun, dalam hatiku, aku tahu aku perlu mengambil keputusan.
Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan hidup dalam keraguan. Aku ingin tahu, apakah perasaan Rayyan kepadaku benar-benar tulus, atau apakah aku hanya bagian dari masa lalunya yang belum bisa dia lupakan.
Pada suatu sore, saat kami berdua duduk di taman sekolah, aku memulai percakapan itu. "Ray, aku tahu kita nggak bisa terus seperti ini. Aku butuh kepastian."
Rayyan menatapku dengan ekspresi serius, seolah menunggu aku melanjutkan.
"Aku nggak mau jadi pengganti, dan aku nggak mau terus hidup dengan ketakutan. Jadi, kalau kamu masih punya perasaan untuk Aiza, atau masih ragu tentang kita, lebih baik kita berhenti sekarang."
Dia terdiam beberapa saat, matanya penuh dengan kebingungan dan rasa bersalah. "Nay, aku nggak pernah ingin kamu merasa seperti itu. Aku tahu aku salah karena nggak segera jelas sama kamu, dan karena itu, aku hampir kehilanganmu. Tapi aku cuma mau satu hal---kesempatan."
Aku menundukkan kepala, menahan air mata yang hampir jatuh. "Kesempatan untuk apa, Ray?"
"Kesempatan untuk membuktikan bahwa aku lebih dari sekadar hubungan masa lalu. Aku ingin kita lebih dari itu, Nay. Aku nggak bisa terus hidup di bayang-bayang Aiza. Aku cuma bisa berjanji, aku akan berjuang untuk kita."
Aku terdiam, meresapi kata-katanya. Untuk pertama kalinya, aku melihat kesungguhan di matanya. Perlahan, aku mengulurkan tanganku, dan dia meraihnya dengan penuh hati-hati.
"Jadi, kamu mau memberi kita kesempatan?" tanyanya dengan suara lembut.
Aku mengangguk, meskipun masih ada keraguan kecil di dalam hatiku. "Ya, aku mau. Tapi kita mulai dari awal, Ray. Tidak ada lebih banyak rahasia, tidak ada lebih banyak ketakutan. Aku hanya ingin kita jujur satu sama lain."
Rayyan tersenyum, wajahnya kembali cerah seperti dulu. "Aku janji, Nay. Kita mulai dari awal. Dan aku akan menunjukkan kalau kamu bukan pilihan kedua."
Hari itu, aku merasa sedikit lega. Kami masih punya perjalanan panjang di depan, tapi yang penting, kami memilih untuk berjalan bersama, dengan kejujuran dan komitmen. Dengan waktu, aku tahu kami bisa mengatasi rintangan yang ada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI